Pembentukan Karakter Anak Ala Rasulullah Saw
Zaman telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hal Ini ditandai dengan berkembangnya dan majunya berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknolgi. Selain itu, berkembang juga manusia dan karakter yang ada di dalamnya, baik dalam hal jasmaniah, rohaniah, ataupun aqliyah. Namun, ada hal yang tidak dapat dipungkiri dibalik semua perkembangan ini, yaitu terjadinya demoralisasi.
Demoralisasi yang Harus Dicegah
Demoralisasi terjadi pada berbagai kalangan manusia, dimulai dari kalangan anak-anak hingga kalangan dewasa. Ada indikasi yang menguatkan fakta ini. Banyak media–media cetak dan media elektronik—yang memberitakan hal-hal amoral yang terjadi; pelecehan seksual, penganiayaan, pembunuhan, pencurian, dan yang lainnya. Perlu ada elaborasi untuk memperbaiki demoralisasi ini, terkhusus pada kalangan kaum Muslimin. Sejak empat belas abad yang lalu Allah swt telah memberikan peringatan kepada kita melalui firman-Nya dalam al-Qur’an:
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka takut kepada Allah, dan hendaklah mereka berkata dengan tutur kata yang baik.” (QS. an-Nisa’ (4): 9)
Perbaikan moral dan karakter manusia harus dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan. Diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak-lembaga untuk membentuk moral dan karakter-karakter positif. Setidaknya ada tiga lembaga yang memiliki peranan penting dalam pendidikan moral dan karakter anak; infomal (keluarga), formal (sekolah-perguruan tinggi), dan non formal (lingkungan sekitar). Ketiga lembaga ini memiliki peranan yang urgen, terutama keluarga sebagai madrasatul ula’ bagi anak.
Teladan dalam Pembentukan Karakter Anak
Dalam agama Islam telah ada sosok teladan terbaik dalam membentuk karakter anak. Beliau dikenal dengan the living Qur’an, pendidik terbaik dan psikolog ulung sepanjang zaman, beliau adalah Rasulullah Muhammad saw. Oleh karena itu, setiap Muslim hendaknya menjadikan beliau sebagai referensi primer dalam hal pendidikan dan pembentukan karakter. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah swt dalam al-Qur’an:
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan yang banyak mengingat Allah”. (QS. al-Ahzab (33): 21)
Metodologi Nabi saw dalam Mendidik Anak
Pertama, menampilkan suri teladan yang baik. Rasulullah saw mengajarkan dan memerintahkan kepada setiap orangtua agar bisa menjadi suri teladan yang baik bagi anak-anaknya. karena keteladanan memberikan dampak yang besar pada perkembangan karakter anak. Sebab, mayoritas yang ditiru anak berasal dari kedua orangtuanya. Rasul saw bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudia kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, ataupun Nasrani.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, mencari waktu yang tepat untuk memberi pengarahan. Kedua orang tua dan pendidik perlu mengetahui kapan waktu yang tepat dalam memberikan pengajaran, karena waktu yang tepat akan memberikan pengaruh yang signifikan pada anak. Beberapa contoh yang diajarkan Rasulullah saw:
Ketika dalam perjalanan. Ini terjadi pada Ibnu Abbas, saat itu beliau menemani Rasul saw safar kemudian di tengah-tengah perjalanan Rasul Bersabda padanya, “Wahai anak kecil! Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”
Ketika sedang makan bersama. Ini terjadi pada Umar bin Abi Salamah, pada suatu kesempatan ia menemani makan Rasulullah saw. Namun, tidak sengaja ia berbuat kesalahan tangannya bergerak ke sana ke mari di nampan makanan. Kemudian Rasul menegurnya, “Hai anak kecil, ucapkanlah Basmalah, makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah apa yang ada di hadapanmu.”, sejak saat itu begitulah cara dia makan.
Pola Komunikasi
Waktu anak sedang sakit. Ketika sakit mayoritas jiwa manusia dalam keadaan lunak, terlebih pada anak, sehingga itu menjadi kesempatan dalam memberikan nasihat kepada anak. Ini terjadi pada seorang anak Yahudi yang kesehariannya menjadi pelayan Nabi saw, tetapi beliau tidak mengajak anak tersebut masuk Islam sampai datang waktu yang tepat.
Kemudian hari anak tersebut sakit, lalu Nabi saw menjenguknya dengan duduk di samping kepalanya, lalu menasehatinya dan mengajaknya masuk Islam. Padahal saat itu ada bapaknya, tetapi bapaknya malah menganjurkan agar mengikuti perintah Rasul, sehingga anak tersebut saat itu menjadi seorang Muslim.
Ketiga, bersikap adil. Bersikap adil di sini dalam aspek pemberian materi dan kasih sayang. Ketika orangtua ingin mendapatkan kelembutan dan rasa berbakti yang sama dari anak, maka orangtua memiliki kewajiban untuk berbuat adil pada anak-anaknya. Adil tidak harus sama, tetapi bisa menempatkan dan memberikan sesuatu kepada anak-anaknya secara proporsional. Rasul bersabda kepada Nu’man bin Basyir:
“Berlaku adillah kalian terhadap anak-anak kalian.” (mengulangi kata ini sampai tiga kali). (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Keempat, tidak marah dan mencela anak. Rasulullah saw tidak banyak mencela perilaku anak. Anas ra menjadi pembantu Rasul saw selama sepuluh tahun. Anas bercerita, “Tidak pernah beliau mempertanyakan tentang apa yang aku kerjakan, kenapa engkau lakukan ini? atau apa yang tidak aku lakukan, mengapa engkau tidak melakukan ini?.”
Kelima, membantu anak untuk berbakti dan mengerjakan ketaatan. Ada tanggung jawab besar di pundak kedua orang tua dalam membantu anak berbakti dan senantiasa menjadikannya anak yang taat dalam melaksanakan kewajiban agama. Di samping itu, orang tua juga memiliki kemampuan untuk melenyapkan sifat durhaka dari anak, yaitu dengan hikmah, nasihat yang baik di waktu yang tepat. Rasulullah saw bersabda dalam hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani:
“Bantulah anak-anak kalian untuk berbakti. Barang siapa yang mengkhendaki, dia dapat menegeluarkan sifat durhaka dari anaknya.”
Keenam, memerhatikan teknik bicara yang to the point, eye contact, dan ekspresi wajah dalam mendidik. Hal ini diceritakan oleh istri beliau, Aisyah ra berkata:
“Rasulullah saw tidak berbicara seperti cara kalian berbicara. Beliau berbicara
dengan ucapan yang terdapat jeda didalamnya. Sehingga orang yang duduk bersamanya akan dapat mengingat ucapan beliau.” (HR. at-Tirmidzi)
Cara Bicara untuk Mengubah
Selain itu ada intonasi. Intonasi merupakan hal penting dalam mengajar. Namun, memberat-beratkan (menfasih-fasihkan) ucapan adalah sikap yang tidak terpuji, baik secara syariat, indrawi, maupun logika. Di sisi lain, mengeraskan suara ketika mengajar adalah cara yang baik untuk menarik perhatian pendengar dan untuk menunjukkan ketidaksetujuan terhadap sesuatu, sebagaimana fi’liyah Rasulullah saw:
“Nabi SAW ketika berkhutbah dan memberikan peringatan tentang Hari Akhir, maka beliau akan terlihat sangat murka dan suaranya terdengar keras”. (HR. Muslim)
Ketujuh, menunaikan hak-hak anak. Menunaikan hak anak dan menerima kebenaran yang disampaikannya dapat menumbuhkan perasaan positif dalam diri anak, serta sebagai pembelajaran bahwa hidup itu mengenai persoalan memberi dan menerima. Di antara hak anak adalah memberikan kesempatan untuk menjadi imam dan pemimpin apabila dia dipandang sudah memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk itu. Rasulullah saw bersabda:
“Apabila ada tiga orang yang sedang berpergian bersama, hendaknya yang menjadi imam adalah yang paling pandai membaca al-Qur’an walupun dia orang yang paling muda di antara mereka. Apabila dia menjadi imam, berarti dialah yang menjadi pemimpin.” (HR. Abdur Razaq)
Demikianlah tujuh metodologi yang diajarkan oleh Rasulullah saw dalam membentuk karakter pada anak. Mudah-mudahan kita bisa mengamalkannya, sehingga terbentuklah karakter-karakter yang positif pada anak kita kelak, āmīn.
Wallahu A’lam bis Shawwab.
Editor: Nabhan