Tajdida

Memperbarui Pemikiran Islam itu Hukumnya Wajib ‘Ain!

5 Mins read

Terselamatkan dari Jurang Pemahaman Islam yang Salah

Judul ini tidak provokatif sama sekali. Biasa saja. Tapi, kalau boleh jujur, sungguh saya menuliskan hal penting di dalamnya. Penting, meski bukan barang baru sama sekali. Anda juga pasti jauh lebih paham tentang apa makna pembaruan pemikiran Islam itu, daripada saya. Tapi, tetap saja, darurat pembaruan ini perlu disuarakan berkali-kali. Oleh Anda, maupun saya.

Ketika Cak Nur wafat di tahun 2005, saya hanya anak ingusan yang baru masuk SMP. Ketika Gus Dur wafat pada 2009, saya masih juga ingusan yang baru masuk SMA. Boleh jadi Anda juga sama. Hal ini membuat memori yang saya miliki tentang dua orang besar ini hampir nol sama sekali. Ini berbeda dengan generasi yang mengikuti betul bagaimana dua pemikir utama Islam Indonesia ini dalam berjuang sejak muda hingga wafatnya.

Tapi, jujur saya berbicara, bahwa dua orang inilah yang menyelamatkan saya dari jurang pemahaman Islam yang keliru. Islam sebagai agama tidak pernah keliru. Bagaimana mau keliru, ia tidak bisa bicara, apalagi berbuat. Anggaplah Islam adalah Al-Qur’an. Kitab suci itu diam. Letakkan saja di atas meja. Ia tak akan berbuat apa-apa. Tapi, Anda, saya, kitalah yang membuat Islam berbicara. Pikiran dan perilaku kita selaku umat Islam yang membuat Islam bicara.

Umat Islam-lah yang membuat Islam itu teraktualisasikan secara empiris. Dan secara empiris, saya pernah menjadi bagian dari anak-anak muda pendukung gerakan FPI, PKS, HTI, dan Salafi. Kami berdemo, melakukan kajian, dan merekrut banyak sekali anak muda lainnya. Hingga akhirnya saya bertemu karya-karya warisan Cak Nur.

Penyalahgunaan Agama

Anak muda hari ini mungkin asing dengan Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii Maarif. Mereka lebih akrab dengan ustadz-ustadz cum selebritis yang tenar dan popular di dunia maya dan media-media sosial.

Tak ada yang salah dengan itu. Yang patut disayangkan adalah, kita tidak sadar, malah tersihir, oleh retorika Islam, tapi yang hampa makna, tak punya relevansi dengan kehidupan sosial, bahkan cenderung menguras emosi kita semata.

Umat Islam Indonesia seharusnya mampu melihat kenyataan bahwa agama, setelah ia turun ke muka bumi dan diamalkan oleh orang-orang yang memeluknya, maka bisa terjadi korupsi, kerusakan, dan penyalahgunaan atas agama yang awalnya suci tersebut.

Baca Juga  Yang Arogan itu Orangnya, Bukan Agamanya!

Di masyarakat kita, kita melihat agama sering dijadikan alat legitimasi bagi kelompok, keluarga, ataupun orang yang menjadi penguasa sumber-sumber ekonomi dan politik.

Satu contoh sederhana adalah bagaimana isu khilafah, keturunan Nabi dan riba di-branding sedemikian rupa untuk menarik dukungan massa, bahkan untuk membakar emosi mereka dalam menentang sistem politik dan ekonomi yang berlaku dalam konstitusi kita. Dalam dunia sosiologi agama, fenomena ini dikenal sebagai komodifikasi politik dan ekonomi terhadap agama.

Jangan dikira penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu ini hanya dilakukan oleh orang-orang partai politik atau calon kepala daerah saja. Dalam masyarakat juga dikenal yang namanya struktur.

Ustadz Seleb

Dan dalam struktur masyarakat Indonesia hari ini, kita mengenal yang namanya public figure. Biasanya, mereka adalah orang-orang yang ditokohkan oleh masyarakat karena terlanjur terkenal melalui media-media elektronik.

Mereka ini bisa berupa pelaku seni-hiburan (artis), selebritis, ustadz (bahkan ada varian baru: ustadz-seleb, yang tadi disinggung di atas), dan lain sebagainya. Dalam struktur masyarakat kita, public figure ini menjadi tontonan, sekaligus tuntunan. Masyarakat awam yang tidak mengerti apa-apa, akhirnya menjadi sasaran empuk dari para public figure ini.

Public figure yang kepentingannya adalah uang dan popularitas, kemudian mulai berbicara agama, sebab mereka tahu bahwa agama adalah alat paling ampuh untuk membuat masyarakat awam tunduk dan patuh pada mereka.

Kombinasi antara selebritis dan ustadz kharismatik juga dipakai untuk menguras emosi kita atas perang sektarian di Timur Tengah, Suriah misalnya. Masalahnya, narasi mereka miskin ilmu, minim pemahaman geopolitik, hanya memanas-manasi kita bahwa ada pembantaian oleh Syiah terhadap Sunni di sana. Sialnya, milisi teroris mereka sanjung sebagai mujahidin fi sabilillah.

Masalahnya lagi, konflik yang berada dalam ruang empiris di Suriah dalam konteks Timur Tengah dengan segala kompleksitas perebutan sumber daya ekonominya, justru dibawa-bawa ke Indonesia. Seolah semua Muslim itu harus Sunni, dan mereka yang bukan Sunni sudah pasti jahat dan menginginkan kehancuran kita.

Mengapa Harus Pembaruan Pemikiran Islam?

Apa hasilnya? Hasilnya adalah kita selaku masyarakat awam makin terpecah. Public figure pun berkuasa, dan masyarakat terkungkung dalam struktur seperti ini. Mereka hanya bisa mengekor dan mengiyakan semua kata-kata public figure pujaannya. Artis, selebritis, dan ustadz-seleb yang memanfaatkan agama semakin kaya dan terkenal; sementara masyarakat awam terpecah belah dan saling menjelekkan.

Baca Juga  Kemuliaan Manusia Terletak pada Pengetahuan, Bukan Nasab

Itulah mengapa hari ini kita berbicara tentang keharusan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Sebab, agama yang pada mulanya adalah gerakan pembebasan dari struktur sosial yang tidak adil, tidak rasional, dan cenderung menekan akal sehat; hari ini justru Islam begitu mudahnya ditarik sana-sini demi memuluskan nafsu ekonomi dan berkuasa golongan tertentu.

Islam hari ini justru digunakan untuk menciptakan cara berpikir tidak rasional dan menekan akal sehat. Tentu saja ini bukan masalah sepele. Buat saya yang bertahun-tahun menelaah Islam, sampai harus mondok di Turki, Islam itu ajaran akhlak yang universal, yang justru hadir untuk menengahi konflik, bukan menjadi sumber bencana dan konflik.

Ali Allawi (2009) juga punya pendapat serupa. Ia menyayangkan ekspresi politis dan ideologis dari para tokoh yang disanjung-sanjung masyarakat sebagai mewakili Islam. Padahal, orang-orang tersebut, jangankan kapasitas intelektualisme Islam yang ia miliki, bahkan kadar perilaku terpujinya pun sangat rendah. Intinya, pembaruan diperlukan, dan inti dari pembaruan adalah menyegarkan kembali memori kita bahwa Islam bukan alat pemecah-belah masyarakat.

Dalam pengamatan intelektual seperti Robert N. Bellah (1970) dan Mustafa Akyol (2011), pada mulanya, Islam adalah semangat moral yang menekankan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di hadapan satu Tuhan yang sama. Inilah makna tauhid itu. Tauhid adalah akhlak, bukan akidah. Namun, selanjutnya, seperti juga hingga hari ini, Islam justru menjadi ramuan perpecahan di masyarakat.

***

Nurcholish Madjid, dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1986) melihat betapa para bapak dan ibu pendiri bangsa kita sangat paham akan Islam sebagai unsur pemersatu masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Hingga akhirnya lahirlah bangsa baru dengan nama Indonesia, yang berbahasa Indonesia, dan berideologi Pancasila.

Siapa yang mendominasi perkumpulan pemuda-pemudi dan pendiri bangsa itu? Tentu saja, umat Islam. Mengapa mereka bukan mendirikan negara Islam? Sebab, inti bernegara bukan pada dominasi golongan tertentu. Tapi, pada persatuan dan keadilan bagi seluruh elemen warga negara.

Para pendiri bangsa itu bukan Muslim yang bodoh. Mereka kaum intelektual. Mereka bergerak dalam ruang-ruang diskusi, buku, kitab, dan aktivisme sosial. Mereka memadukan kecerdasan dan kesalehan.

Baca Juga  Generasi Baru Muhammadiyah-NU

Buktinya, apa yang mereka canangkan dalam bentuk peradaban kebangsaan bernama Indonesia, semua itu sejalan dengan teori peradaban Al-Farabi dan Ibn Khaldun, misalnya. Artinya mereka berislam bukan dengan pemahaman yang tertutup; melainkan selalu terbarui, segar, dan ingat akan spirit utama agama sebagai jiwa pemersatu bangsa.

Menyelamatkan Islam di Indonesia

Akhirnya, berkat pembaruan pemikiran yang mereka lakukan atas Islam dalam konteks peradaban modern pasca-kolonialisme, di Indonesia Islam pun menjadi civil religion. Ia menjadi agama bagi harmonisme dan kemajuan peradaban modern. Seperti Piagam Madinah di zaman Nabi, Pancasila menjadi konsensus bersama.

Tapi, lihatlah sekarang. Mereka yang memberontak pada pemerintahan yang sah, adalah Islam/Muslim. Mereka yang mencaci maki Pancasila dan membakar emosi massa adalah Muslim. Mereka yang membunuhi sesama anak bangsa dengan bom bunuh diri, juga Muslim.

Jika dulu Karl Marx mengkritik agama yang digunakan untuk meninabobokan masyarakat awam dalam struktur sosial yang tidak adil, maka jangan disalahkan. Secara empiris agama memang selalu dijadikan alat seperti itu. Hari ini pun sama saja. Agama, seperti Islam di Indonesia, tercerabut dari akar-akar moralitasnya, dan berubah layaknya ideologi yang gencar mengincar kekuasaan. Itu kata Ali Allawi dalam The Crisis of Islamic Civilization (2009).

Islam memang mayoritas di Indonesia. Tapi, para pendiri bangsa ini tidak pernah melihat dimensi mayoritas sebagai pembenaran bagi hegemoni politik umat Islam atas umat lainnya dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi kita. Justru, status sebagai Muslim dimaknai sebagai umat penengah (ummatan wasathan/moderat) yang menengahi antarseluruh golongan anak bangsa.

Akhirulkalam, para pendiri bangsa ini meniru Nabi Muhammad, yang datang ke Yatsrib, lalu menengahi konflik dan musyawarah semua kelompok di sana. Bukannya datang, dan kemudian menghabisi mereka yang bukan Muslim. Ini naif, dan sangat ahistoris.

Islam di Indonesia mesti diselamatkan, salah satunya dengan upaya pembaruan pemikiran kembali; dan pembaruan sejatinya adalah menyegarkan pikiran, pemahaman, dan akal budi umat Islam bahwa agama adalah ajaran kasih sayang, persatuan, dan bukan pendorong konflik dan perpecahan.

Jika tidak, maka kita akan membiarkan sejarah terus berulang, di mana agama dikuasai oleh retorika yang menggugah emosi semata, padahal nihil makna dan relevansi dalam pembangunan peradaban Indonesia.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds