KH Ahmad Dahlan dan Paulo Freire merupakan dua tokoh penting dalam pendidikan. Kiai Ahmad Dahlan dikenal sebagai tokoh pembaharu dan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah di tanah Jawa. Gerakan edukasinya saat ini telah berkembang menjadi ribuan amal usaha pendidikan. Sedangkan Paulo Freire dikenal sebagai intelektual Brazil yang konsen terhadap upaya pembebasan masyarakat melalui pendidikan. Gagasan dan karyanya sampai saat ini masih sering menjadi rujukan kajian kritis, khususnya berkaitan dengan pendidikan.
Kiai Dahlan lahir pada tahun 1868 dan wafat pada tahun 1923. Sedangkan Paulo Freire lahir pada tahun 1921 dan meninggal pada tahun 1997. Artinya, mereka hidup pada ruang dan waktu yang berbeda. Dahlan di tanah Jawa, Freire di Brazil.
Selama ini mungkin belum banyak kajian yang membahas, membandingkan, dan mempertautkan corak pemikiran Kiai Dahlan dan Paulo Freire dalam bidang pendidikan. Perbedaan ruang dan waktu bukan berarti gagasan mereka sama sekali tak bisa dipertemukan, namun dalam pada aspek pendidikan dan pembelajaran ditemukan ada persinggungannya.
Artikel ini tidak akan menyematkan tentang urgensi atau kontekstualisasinya dalam pendidikan Indonesia sekarang. Biarlah pembaca yang mencari sendiri kontekstualisasinya pemikiran Kiai Dahlan dan Paulo Freire dengan kehidupan dan pendidikan di Indonesia.
Pendidikan sebagai Pembebasan
Kondisi sosial masyarakat Jawa di bawah pemerintahan kolonialisme mengalami keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan penindasan. KH Ahmad Dahlan kemudian melakukan refleksi kritis terhadap permasalahan tersebut hingga terdorong untuk membebaskan masyarakat. Salah satunya dengan melakukan gerakan edukasi dan mendirikan sekolah.
Menurut Deliar Noer, KH Ahmad Dahlan telah melakukan edukasi langsung terhadap masyarakat sebelum pendidikan formal. Ia mengorganisir murid-muridnya di Kauman untuk sukarela untuk membebaskan rakyat.
Selain itu, untuk membantu rakyat terbebas dari kebodohan, Kiai Dahlan mendirikan sekolah formal. Ia pernah melamar menjadi guru di sekolah pemerintah Kweekschool di Jetis dan OSVIA di Magelang, sehingga dianggap bersekongkol dengan pemerintah kolonialisme.
Namun, langkah tersebut bagian dari strategi Kiai Dahlan untuk mempelajari konsep penyelenggaraan pendidikan dan kemudian dibawa ke sekolahnya. Sehingga sekolah formal yang didirikan olehnya termasuk sekolah modern, karena memadukan ilmu agama dan modern.
***
Sedangkan Paulo Freire menghadapi keadaan masyarakat yang sama, di bawah rezim penguasa Brazil. Sebagian besar masyarakat di negara kelahiran Neymar ini, mengalami keterbelakangan dan kemiskinan. Bahkan, Freire semasa kecil pernah mengalami kelaparan di tengah kemiskinan pada tahun 1929 .
Freire kemudian melakukan refleksi kritis terhadap keadaan masyarakat dan pelaksanaan pendidikan. Ia melihat relasi antara pendidikan dan pembebasan. Menurutnya untuk bebas dari keadaan tersebut, maka masyarakat perlu membuat sejarah dan budaya dari situasi yang di hadapi. Selain itu, menurutnya, pendidikan menjadi jembatan yang dapat membuka mata masyarakat dari keadaan.
Oleh karena itu, pada konteks misi pendidikan tersebut, keduanya memiliki kesamaan, baik Dahlan atau Freire memiliki sama – sama memiliki tujuan profetik, yaitu pembebasan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan belenggu ketidakadilan. Apa yang digagas dan dilakukan oleh keduanya sebenarnya sejalan dengan teori sosial kritis, yaitu pemikiran yang lahir di tengah ketimpangan dan ketidakadilan.
Cranton dalam bukunya, The Handbook of Transformative Learning : Theory, Research and Practice (2012), menyebutkan bawah teori sosial kritis berasal dari suatu keadaan yang tampaknya terbuka, sebenarnya keadaan masyarakat sangat tidak setara, di mana terdapat ketimpangan atau ketidak adilan ekonomi, rasisme, dan diskriminasi kelas terjadi secara nyata.
Pembelajaran Otentik
Salah satu peristiwa yang menarik dari konsep pendidikan Dahlan adalah transformasi al-Ma’un yang diulang-ulang hingga menjadi gerakan praksis. Baginya, memahami surat al-Maun memiliki konsekuensi logis menyantuni dan membebaskan kaum mustadl’afin.
Surat al-Maun menjadi titik pijak bagi peserta didik untuk melakukan refleksi terhadap permasalahan sosial kehidupan masyarakat. Sehingga para siswa Dahlan kemudian turun ke realitas masyarakat, mereka mencari fakir miskin, anak-anak terlantar. Mereka menyantuni dan membawa anak-anak terlantar itu untuk dididik di sekolah Muhammadiyah.
Sedangkan Freire bersama organisasinya melakukan gerakan pengentasan buta aksara pada masyarakat. Gerakan ini dianggap sebagai ancaman oleh penguasa. Karena hak suara politik diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat. Jika masyarakat bisa membaca dan menulis maka dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah. Karena ketika mereka bisa membaca dikhawatirkan bisa membaca situasi yang ada. Saat itu, kemampuan membaca menjadi syarat untuk ikut menggunakan hak suara dalam pemilu.
Freire juga mengenalkan konsep problem possing education, yaitu pendidikan yang melibatkan siswa untuk mengungkap realitas yang konstan. Konsep tersebut menurutnya akan memunculkan kesadaran dan intervensi kritis terhadap kenyataan. Sedangkan KH Ahmad Dahlan berusaha membawa peserta didik untuk melakukan refleksi kritis terhadap permasalahan kehidupan nyata. Bahkan ikut memberikan solusi. Freire melalui gerakan pengentasan buta aksara dan pandangannya pada konsepsi problem possing education.
***
Jika dilihat dari cara tersebut, baik Dahlan atau Freire sebenarnya melakukan pembelajaran otentik atau Authentic Learning. Strategi ini menekankan tentang realitas sosial masyarakat. Ia mengajarkan dan mempraktikkan bahwa realitas dan pengetahuan pada dasarnya harus diproblematisasikan.
Untuk memberikan penjelasan mengenai pembelajaran Authentic Learning berikut saya kutip artikel yang berjudul Authentic Learning for the 21st Century : An Overview dalam sebuah jurnal Educause Learning Intiative tentang Authentic Learning pada tahun 2007.
Pada artikel tersebut Lombardi sebagai penulis menjelaskan bahwa Authentic learning focus terhadap dunia nyata, permasalahan-permasalahan kompleks dan solusinya, menggunakan latihan bermain peran, kegiatan berbasis masalah, studi kasus, dan partisipasi dalam komunitas yang berpraktik secara visual.
Pendekatan Student Centre Learning
Selanjutnya, pendekatan dan metode apa yang digunakan oleh Dahlan dan Freire untuk melakukan proses pembelajaran dengan baik. Freire dalam bukunya yang berjudul Pedagogy Of Oppressed bahwa: “Pendidikan otentik tidak dijalankan oleh “A” untuk “B” atau oleh “A” tentang “B,” melainkan oleh “A” dengan “B,” yang dimediasi oleh dunia — dunia yang mengesankan dan menantang kedua belah pihak, memberi bangkit dengan pandangan atau pendapat tentang hal itu……”
Apa yang digagas oleh Freire ini, sebenarnya puluhan tahun sebelumnya telah dilakukan oleh Dahlan dengan muridnya. Dalam sebuah kisah, Dahlan mengumpulkan muridnya. Ia kemudian bertanya pada muridnya, apa yang hendak dibahas. Salah satu muridnya meminta penjelasan tentang agama. Ia menjelaskan dengan cara memainkan biola terlebih dahulu.
Dari gagasan Freire maupun cara Dahlan mengajar, bisa dibilang bawah pendekatan yang digunakan adalah student centre learning. Keduanya menganggap siswa adalah sosok humanis, punya pemikiran yang perlu diasah crtitical thinking-nya. Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada siswa seluas-luasnya untuk menentukan bagaimana proses pembelajaran dan apa yang harus dipelajari.
Selain itu juga dari peristiwa itu metode yang digunakan oleh Dahlan bisa disebut sebagai metode diskusi atau dialog. Hal ini tentu juga sama pada metode yang diinginkan oleh Freire. Metode dialog atau diskusi merupakan konsekuensi logis dari kriteria impelementasi dari problem possing education.
Editor: Arif