Falsafah

Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah

3 Mins read

Ibnu Taimiyah bernama lengkap Taqiyuddin ibn Halim ibn Taimiyah. Ia lahir pada tahun 661 H/1263 M di Harran, dekat Damaskus. Semasa hidupnya politik umat Islam pada waktu itu mengalami disintegrasi, pasca runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah oleh tentara Hulaghu Khan dari Mongol, lima tahun sebelum Ibnu Taimiyah lahir─di samping dipicu juga oleh melemahnya kepemimpinan Bani Abbasiyah dan konflik internal kekuasaan (Nurcholish Madjid, 2020: 40).

Ibnu Taimiyah sendiri, sebagaimana ayahnya, adalah ulama mazhab Hanbali yang konsisten. Tidak jarang ia terlibat dalam intrik-intrik dan perbedaan pendapat. Bahkan tak jarang ia keluar-masuk penjara akibat perbedaan pendapat, baik dengan ulama-ulama mazhab lain maupun dengan penguasa. Bahkan ia meninggal di penjara pada 26 September 1326 H dalam usia 67 tahun.

Namun karena dorongan dan rasa patriotismenya, Ibnu Taimiyah juga terlibat dalam Perang Saqhab (1302-1303 M) memimpin pasukan melawan tentara Mongol yang ingin menguasai Damaskus. Ibnu Taimiyah berhasil mengalahkan dan mengusir tentara Mongol dari wilayah Damaskus. Pengalamannya yang pahit dan kondisi sosial-politik di lingkungannya yang sedemikian kacau sangat membekas dan mempengaruhi pola pemikiran politik Ibnu Taimiyah.

Pemikiran Tata Negara Ibnu Taimiyah

Ia muncul sebagai seorang intelektual independen dengan gaya apa adanya, polemis, dan kontroversial. Ibnu Taimiyah dalam salah satu ungkapannya berucap bahwa untuk mengatur urusan umat memang merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting. Tetapi hal ini bukan berarti juga bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara (Ibnu Taimiyah, 1969: 161). Oleh sebab itu, Ibnu Taimiyah menolak ijma` sebagai landasan kewajiban tersebut.

Berbeda dengan pemikiran al-Mawardi, Ibnu Taimiyah lebih menekankan pada pendekatan sosiologis. Baginya, kesejahteraan manusia tidak akan terlahir kecuali hanya dalam satu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut (Qamaruddin Khan, 2001: 310).

Baca Juga  Filsafat Bahasa Biasa: Menulis itu Biasa Saja!

Menurut Ibnu Taimiyah, ahl al-hall wa al`aqd tidak pernah mencerminkan diri sebagai representasi suara rakyat, sebab yang menentukan wakil rakyat adalah kepala negara. Ibnu Taimiyah mengkhawatirkan bahwa konsep ini akan melahirkan semacam lembaga kependetaan seperti dalam Syi’ah dan ajaran Kristen serta menghilangkan hak-hak rakyat untuk memilih imam (kepala negara).

Dalam pemikiran politik Ibnu Taimiyah, beliau menawarkan mengembangkan konsepsi al-syawkah. Dalam pandangannya, ahl al-syawkah adalah orang-orang yang berasal dari berbagai golongan dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat (Muhammad Iqbal, 2015: 34). Ahl al-syawkah inilah yang memilih kepala negara dan melakukan sumpah setia (bay`ah) untuk kemudian diikuti oleh rakyat.

Sejalan dengan hal itu, Ibnu Taimiyah menolak gagasan al-Mawardi tentang legalitas kepala negara berdasarkan dipilih oleh satu, dua, atau empat orang saja. Konsekuensi dari praktik-praktik tersebut tentu akan mengarah pada pembenaran kepala negara yang naik ke tampuk kekuasaan melalui cara-cara paksa yang inkonstitusional. Di samping itu, Ibnu Taimiyah menolak kualifikasi yang harus dipenuhi oleh kepala negara seperti yang dikemukakan oleh al-Mawardi.

Bagi Ibnu Taimiyah, ia hanya menetapkan syarat kejujuran (amânah) dan kewibawaan atau kekuatan (al-quwwah) bagi seorang kandidat kepala negara dan tidak memutlakkan suku Quraisy (Ali Abdul Mu’ti, 2010: 397). Ibnu Taimiyah juga menerapkan asas profesionalisme dengan menekankan bahwa kepala negara harus menempatkan pejabat-pejabatnya sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing,

Kriteria Pemimpin dalam Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah

Sementara syarat quwwah memegang peranan penting dalam pemikiran politik Ibnu Taimiyah. Seorang kepala negara adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Baginya, kewajiban kepala negara adalah menegakkan institusi-institusi amr ma`rûf nahi munkar, sehingga nilai-nilai Islami dapat terwujud dalam kehidupan umat Islam dan hak-hak individu terjamin dalam masyarakat (Ibnu Taimiyah, 2004: 9).

Baca Juga  Menghidupkan Spiritualitas di Era Modern dengan Neo Sufisme

Kendati demikian, Ibnu Taimiyah sendiri mengakui bahwa sedikit sekali pemimpin yang mempunyai dua kualifikasi tersebut sekaligus. Maka dari itu, bila terdapat dua orang kandidat yang hanya memiliki salah satu syarat tersebut, maka yang lebih diutamakan adalah kandidat yang kuat dan berwibawa. Ibnu Taimiyah mengutip pendapat Ahmad bin Hanbal, bahwa kalau seorang kepala negara baik (saleh) tetapi lemah, maka kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri.

Sedangkan kelemahannya sangat berbahaya bagi negara dan masyarakatnya. Sebaliknya, kalau ia kuat dan berwibawa, meskipun jahat, maka kekuatannya akan sangat berguna bagi negara dan masyarakatnya, sementara kejahatannya kembali kepadanya. Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menekankan kepatuhan masyarakat terhadap kepala negaranya. Sama seperti halnya al-Mawardi dan al-Ghazali, Ibnu Taimiyah memandang figur kepala negara memegang posisi sentral dalam negara.

Sebagai pemimpin umat Islam, kepala negara harus ditaati, bahkan meskipun zalim. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, sebuah negara yang zalim lebih baik daripada tidak punya pimpinan meski semalam (Ibnu Taimiyah, 1969: 162). Ibnu Taimiyah sejalan dengan al-Ghazali bahwa kepala negara adalah “bayang-bayang Allah di muka bumi” (zhill Allâh fi al-ardh).

Pemberontakan terhadap kezaliman kepala negara dinilai Ibnu Taimiyah dapat memancing kezaliman yang lebih besar, karena akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Ibnu Taimiyah mengharapkan sebuah persatuan keluarga besar Islam, kompak dan solid, tanpa melepaskan batas-batas teritorial. Jika kita perhatikan, apabila dihubungkan dengan kondisi sosio-politik dan historis semasa hidupnya.

Paradigma ini agaknya merupakan refleksi Ibnu Taimiyah atas kekecewaannya terhadap disintegrasi dinasti bani Abbasiyah. Di sisi lain, juga terlihat Ibnu Taimiyah lebih konservatif dari al-Mawardi yang masih mengisyaratkan pemakzulan (impeachment) terhadap kepala negara dari jabatannya. Justru terkesan ia memberi kesempatan terbukanya pintu otoritarianisme di dalam tubuh pemerintahan umat Islam.

Baca Juga  Pentingnya Risalah Kenabian dalam Islam

Hal ini tentu bertentangan dengan pemikirannya mengenai pengangkatan kepala negara melalui ahl al-syawkah. Di samping itu, ia juga tidak menjelaskan sama sekali peranan ahl al-syawkah dalam mengontrol kepala negara. Mengutip pendapat buya Syafii Maarif, desakan Ibnu Taimiyah terhadap kepatuhan pada kepala negara secara implisit telah merenggut hak umat untuk ikut serta dalam mekanisme syûrâ.

Bahkan, nampak pemikiran politik Ibnu Taimiyah tidak dilakukan usaha yang sungguh-sungguh dalam membangun di atas landasan syûrâ. Selain itu, pemikirannya ini juga terkesan paradoks dengan amr ma`rûf nahi munkar dalam negara, sebagaimana sering dijelaskannya dalam beberapa karangannya (Ahmad Syafii Maarif, 1985: 40).

Editor: Shidqi Mukhtasor

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds