Oleh: Rita Pranawati
Saya mengenal Ustadz Yun, panggilan pada masa itu kepada Prof Dr. Yunahar Ilyas, Lc, MA, ketika masih SMA. Buku-buku beliau seperti Kuliah Aqidah Islam, Kuliah Akhlak, adalah buku yang jamak menjadi bacaan saya dan anak muda muslim dan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) pada waktu itu, apalagi saya tinggal di Jogja sejak SMA hingga kuliah. Kajian dan ceramah beliau pun dapat dijumpai di kalangan mahasiswa dan masyarakat di Jogja dengan mudah.
Saya sering menyimak tulisan-tulisan beliau maupun pengajian-pengajian beliau. Jelas bagi saya, kedalaman ilmu agama, ilmu alat, dan kebijaksanaan beliau dalam mengkaji dan menafsirkan teks sangat saya ingat. Perbedaan bukan hal yang harus disikapi dengan kekerasan, beliau tetap tawadhu dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan. Wa jadil hum billati hiya ahsan, dan berargumenlah dengan cara yang baik, benar-benar beliau terapkan, uswah hasanah untuk kita semua. Beliau pribadi yang santun, egaliter, dan bijaksana, dan hal tersebut tercermin dalam pemikiran-pemikiran beliau.
PANDANGAN TENTANG KESETARAAN GENDER
Tahun 2006, saat saya mengerjakan tesis di Interdisciplinary Islamic Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau menjadi responden saya. Topik saya saat itu seputar “Women Leadership within The Elite Members of Muhammadiyah: Post The 45th National Conference (2005)”. Saya bertemu dengan beliau di kampus UMY pada tanggal 16 Mei 2006.
Saya secara langsung mengkonfirmasi dan menggali pemikiran beliau tentang perempuan yang sebelumnya sudah ditulis dalam tesis maupun disertasi beliau. Saya ingat sekali beliau menyampaikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tugas amar ma’ruf yang sama (At-Taubah: 71). Dalam hal tanggung jawab dakwah, perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab sosial yang sama sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nahl 125.
Hal ini karena ummat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan (Ali Imron: 104). Apa yang disampaikan Buya Yunahar sangat fundamental. Dalam praktik beragama dan keterlibatan sosial, perempuan ditempatkan pada aspek yang setara. Pandangan beliau menunjukkan sikap wasathiyah yang progresif.
Dalam hal kepimpinan dalam keluarga Ustadz Yun menjelaskan bahwa semangat musyawarah dikedepankan sebagai langkah pertama dalam penyelesaian setiap masalah. Beliau memberi contoh musyawarah dalam keluarga misalnya jika seorang istri ingin bekerja di luar rumah karena kemampuannya yang lebih baik dan suaminya setuju untuk tinggal di rumah.
Kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, menurut Ustadz Yun, memiliki syarat yaitu kemampuan memberi nafkah dan kemampuan menjaga keimanan pasangan. Artinya, kepemimpinan dalam keluarga adalah kebersamaan karena di dalamnya mengutamakan musyawarah dan ada persyaratan ketika menjadi pemimpin dalam keluarga.
Dalam kepemimpinan di ruang publik, Ustadz Yun memiliki pandangan yang sama dalam keputusan Tarjih dalam Adabul Mar’ah fil Islam, bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin atau bahkan presiden. Muhammadiyah sendiri memberi ruang kesetaraan pada perempuan sejak berdirinya, hal ini dibuktikan dengan adanya ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah.
Menurut beliau, konsep al-imamah al-‘uzmah, yaitu kepemimpinan yang tunggal dalam hal judikatif, eksekutif, dan kepemimpinan agama sudah tidak ada lagi.
Dalam hal kepemimpinan, Ustadz Yun mensyaratkan bahwa pemimpin Muhammadiyah harus sholat dan zakat, mengedepankan rasio daripada emosi, memiliki hubungan yang baik dengan yang lain, matang, dan mampu mendistribusikan pekerjaan organisasi atau memiliki fungsi manajerial yang baik. Ustadz Yun melandaskan hal ini pada Surat Al-Maidah ayat 55.
Menurut Ustadz Yun, perempuan dapat menjadi pemimpin, namun saat ini hambatan budaya masih besar ketika perempuan menjadi pemimpin. Disitulah strategi perjuangan menjadi penting, tambah Ustadz Yun,
Pada saat saya mewawancara Ustadz Yun, memang ada perbedaan pandangan Ustadz Yun tentang leadership di Muhammadiyah dengan pemahaman saya. Menurut beliau, kesetaraan gender dalam Muhammadiyah berbeda dengan ala barat, namun keberadaan ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah adalah bukti Muhammadiyah menghargai perempuan sejak awal berdirinya.
Beliau masih melihat iklim patriarki yang menjadi hambatan perempuan menjadi pemimpin bersama dengan laki-laki dalam organisasi Muhammadiyah. Namun demikian, beliau menyebutkan bahwa di Jawa Tengah, ada perempuan yang terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah. Bagi saya, hambatan kultural mengisyaratkan bahwa budaya patriarki yang masih kuat seharusnya tidak ada lagi di Muhammadiyah.
Paska wawancara ini saya memahami bahwa pemisahan tersebut menurut beliau adalah soal managemen organisasi bukan hal yang syar’i. Seiring berjalannya waktu, beliau juga tidak mempermasalahkan soal adanya perempuan dalam organisasi Muhammadiyah, termasuk dalam Majelis Tarjih yang beliau pimpin.
PANDANGAN TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Saya bertemu kembali dengan Ustadz Yun dalam forum yang lebih intensif pada saat saya menjadi salah satu narasumber pada pembahasan Fiqih Perlindungan Anak di Universitas Muhammadiyah Surabaya Januari 2016, dan Musyawarah Nasional Tarjih di Makassar, Januari 2018. Saya kira jelas Prof Yun mendukung perlindungan anak. Menurut Prof Yun, begitu terakhir saya memanggil, Fiqih Perlindungan Anak adalah sumbangsih Muhammadiyah untuk bangsa. Perlindungan anak penting dilakukan tidak hanya di dalam tetapi juga diluar rumah.
Ketika orang masih berdebat soal usia perkawinan minimal, Prof Yun secara jelas memiliki pandangan yang moderat. Meskipun Undang-Undang Perkawinan menyebutkan usia perkawinan yang diijinkan adalah 16 untuk perempuan dan 19 untuk laki-laki, Prof Yun mengatakan bahwa usia perkawinan tidak hanya usia kematangan biologis, tapi bagaimana siap menjadi ibu dan ayah, bagaimana siap mengelola rumah tangga, dan siap memberi nafkah.
Prof Yun memiliki keprihatinan bahwa masih tingginya kekerasan terhadap anak oleh orang tua, ada yang dipekerjakan, bahkan ada bayi digendong untuk diajak mengemis. Prof Yun juga mengungkapkan kekerasan terselubung melalui tontonan baik di TV maupun bioskop yang tidak layak anak. Perhatian beliau pada perlindungan anak tak diragukan lagi dan jelas terlihat dukungan beliau pada lahirnya Fiqih Perlindungan Anak sebagai upaya keagamaan perlindungan terhadap anak.
Saya terlalu terkenang ulasan beliau tentang empat tipologi anak yang dimuat dalam Suara Muhammadiyah baik cetak maupun online (28 Februari 2016). Pengasuhan akan menjadi kunci bagaimana anak tumbuh dan berkembang. Dalam ulasan ini beliau menyebutkan bahwa ada empat tipe anak. Pertama, anak sebagai perhiasan dunia.
Berdasarkan surat Al-Kahfi, ayat 46, al-maalu wa al banuuna ziinatun al-hayaati ad-dunyaa wa al-baaqiyaatu ash-shalihaatu khairun ‘inda rabbika tsawaaban wa khairun amalan. Perhiasan adalah sesuatu yang memperindah keluarga. Namun bukan hanya soal perhiasan, bagaimana orang tua memiliki tanggung jawab menjadikan anaknya anak yang sholih dan sholihah. Anak yang sholih melebihi dari anak sebagai perhiasan atau pelengkap hidup.
Kedua, anak sebagai fitnah atau ujian. Orang tua harus lulus dalam menghadapi ujian tersebut, dalam hal ini tentu dalam proses mengasuh, mendidik, dan membersamai tumbuh kembang anak. Beliau mengkritisi orang tua lebih sering menyerahkan pengasuh kepada sekolah atau pihak lain.
Ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya anak berhadapan dengan hukum, maka orang tua justru menyalahkan pihak lain. Padahal sebenarnya kunci tumbuh kembang anak ada di orang tua. Tindakan menyalahkan tidak perlu ada jika orang tua melakukan pengasuhan dengan baik.
Ketiga, anak sebagai musuh, inna min azwaajikum wa aulaadikum ‘aduwwan lakum fa ahdzaruuhum. Sesungguhnya di antara pasangan hidupmu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka (At-Taghaabun: 14). Musuh dalam hal ini dapat berupa hal yang nyata, yaitu perseteruan orang tua dan anak misalnya pada kasus sengketa yang masuk ke pengadilan antara orang tua dan anak.
Sedangkan makna yang maknawi dari musuh adalah cita-cita dan gaya hidup. Misalnya orang tuanya mengajarkan amar ma’ruf tetapi anaknya justru sebaliknya. Keempat adalah anak sebagai permata hati (qurrota a’yun), rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyaatinaa qurrata a’yun waja’alnaa li al-muttaqinaa imaaman. Anak yang sholeh adalah proses pembentukan, sejak dari persiapan orang tuanya dalam menikah, menjalani perkawinan, hamil, hingga fase tumbuh.
Pemikiran-pemikiran tersebut diserap dalam Fiqih Perlindungan Anak. Bahasan diatas menegaskan bahwa kesiapan menjadi orang tua sangat penting. Ketika ada masalah dengan anak, sesungguhnya kembali pada pengasuhan orang tua. Kesiapan menjadi orang tua mulai dari memilih pasangan hingga menikah, hamil dan mengasuh anak sangat penting untuk menjadikan anak yang sholeh dan sholehah. Pengasuhan pun menjadi kewajiban orang tua, bukan hanya ibu. Pokok-pokok pikiran Prof Yun sangat mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.
Pada Musyawarah Nasional Tarjih Januari 2018 di Makassar, bahasan tentang Fiqih Perlindungan Anak menjadi puncak pembahasan sebelum ditandfidzkan. Secara umum tidak ada penolakan terkait isi Fiqih Perlindungan Anak misalnya terkait perkawinan anak, stunting, prinsip perlindungan anak, dan pengasuhan. Saya menikmati perdebatan pada saat pleno Munas Tarjih dan menyimak pendapat Prof Yun terkait nasab anak luar kawin dengan para ahli lainnya, diantaranya Prof. Chamamah Soeratno dan Dr. Saad Ibrahim, ketua Piminan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Prof Yun berhati-hati untuk memberikan nasab pada anak luar kawin kepada ayah biologis karena dapat “menyamakan” status perkawinan yang sah dengan zina. Sedangkan Prof Chamamah dan Dr. Saad menyatakan anak terlahir suci, sehingga nasab diberikan sebagai kepentingan terbaik bagi anak. Meski terjadi perbedaan pandangan antara Prof Yunahar dan beberapa orang, namun sikap bijaksana, tawadhu, dan santun terlihat dalam perdebatan tersebut.
AKHIRNYA
Ustadz Yun sejatinya meletakkan kajian gender sebagai proses keilmuan beliau dan pemikiran beliau progressive. Peletakkan peran public dan domestic secara setara menjadi pondasi keadilan dan kesetaraan gender yang juga dipraktekkan di Muhammadiyah.
Prof Yun sangat jeli memotret persoalan anak di Indonesia. Kekerasan terhadap anak tidak hanya ada di dalam rumah, tetapi juga dilakukan oleh institusi, termasuk pengabaian oleh pemerintah.
Kehadiran Fiqih Perlindungan Anak adalah bagian dari sumbangsih Muhammadiyah untuk bangsa sekaligus dukungan penuh Ustadz Yunahar Ilyas hingga lahirnya Fiqih Perlindungan Anak. Fiqih ini diharapkan dapat memberikan panduan untuk perlindungan anak bagi orang tua, institusi, masyarakat maupun bangsa dan negara untuk kesejahteraan anak Indonesia.
Sumbangsih ini insyaallah akan menjadi salah satu amal sholeh beliau, Ustadz Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc, MA, Allahu yarham. Semoga kami dapat mengikuti ibroh-ibrohmu dalam zuhud ilmu.