Selain berisi ajaran aqidah dan syariah, Al-Qur’an juga berisi tentang kisah-kisah umat terdahulu. Kisah adalah salah satu cara Al-Qur’an mengantar manusia menuju arah yang dikehendaki oleh Allah. Di dalam kisah, terselip pesan-pesan dan pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya di masa kini.
Kisah-kisah yang diceritakan oleh Al-Qur’an bisa diibaratkan sebagai kayu gaharu. Dalam arti, kayu tersebut ketika berdiri sendiri, tidak ubahnya dengan kayu-kayu yang lain. Tetapi ketika dibakar, kayu tersebut mampu menghadirkan aroma yang sangat harum yang tidak mungkin kita dapati pada jenis-jenis kayu lain (Shihab, 2019:274).
Ada tiga macam kisah didalam Al-Qur’an: pertama, kisah para nabi dan rasul, kedua, kisah umat, tokoh atau pribadi yang bukan nabi dan peristiwa-peristiwa masa lalu, ketiga, kisah-kisah yang terjadi di zaman Nabi Muhammad saw (Ilyas, 2017:228-230).
Salah satu kisah menarik yang diceritakan Al-Qur’an adalah kisah Ratu Balqis, disurat An-Naml: 29-35:
(29). Berkata ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. (30). Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (31). Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. (32). Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”. (33). Mereka menjawab: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan”. (34). Dia berkata: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (35). Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”.
***
Ayat-ayat ini diturunkan di Makkah. Ayat sebelumnya (17-26) mengisahkan pertemuan Nabi Sulaiman dengan bala tentaranya dari bangsa jin, manusia, dan burung. Dalam pertemuan itu, Nabi Sulaiman tidak melihat burung Hud-hud sehingga beliau sedikit kesal dengan ulah Hud-hud.
Namun, selang beberapa saat, burung Hud-hud dating. Ia bercerita bahwa di negeri Saba ada kerajaan yang dipimpin seorang ratu bernama Balqis. Penduduk negeri itu menyembah matahari. Mendengar cerita dari Hud-hud, Nabi Sulaiman tertarik untuk mengajak ratu dan penduduk negeri Saba untuk menyembah Allah. Diutuslah Hud-hud untuk mengirim surat kepada Ratu Balqis. Ayat 29-35 adalah kisah Ratu Balqis ketika menanggapi surat dari Nabi Sulaiman.
Karakteristik Kepemimpinan Ratu Balqis
Yang pertama dan mesti digaris bawahi adalah, Al-Qur’an baik secara implisit atau eksplisit, tidak pernah mencela kepemimpinan Ratu Balqis. Sebaliknya, Al-Qur’an justru memaparkan betapa baik dan tepatnya keputusan dan kebijakan yang diambil Ratu Balqis ketika menanggapi surat dari Nabi Sulaiman. Secara implisit, Al-Qur’an ingin menunjukkan bahwa seorang wanitapun sanggup memimpin suatu negeri dengan bijaksana (Syamsuddin, 2017:160).
Menurut Sahiron, makna terdalam dan tersirat dari dialog antara Ratu Balqis dan punggawa-pungawanya ketika menyikapi surat dari Nabi Sulaiman adalah terkait dengan karakteristik kepemimpinan Ratu Balqis yang bisa kita teladani di masa kini.
Pertama, sikap yang bijaksana dan demokratis. Selepas menerima surat dari Nabi Sulaiman, Ratu Balqis tidak langsung mengambil kebijakan. Tetapi, ia terlebih dahulu meminta pendapat dari punggawa-punggawanya. Ini menunjukkan bahwa Ratu Balqis adalah seorang pemimpin yang sangat demokratis, tidak otoriter, dan menghargai pendapat orang lain. Pernyataan ini sejalan dengan penafsiran Ibn Asyur, “dia (Ratu Balqis) adalah orang yang bijaksana dan senang bermusyawarah, tidak terbersit melakukan tindakan yang semena-mena dalam hal kemaslahatan kaumnya.”
Kedua, memperhatikan ketentraman rakyat. Hal ini tergambar dalam ayat (34). “Dia berkata: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.”
Ayat ini menunjukan kepada kita bahwa Ratu Balqis tidak berminat menghadapi Nabi Sulaiman menggunakan kekuatan militer. Karena Ratu Balqis khawatir jika kekuatan militernya kalah, maka akan mengganggu ketentraman rakyatnya, bahkan boleh jadi rakyatnya akan dibinasakan.
***
Ketiga, menyukai diplomasi dan perdamaian. Karena beliau khawatir akan mengganggu ketentraman rakyatnya, maka ia lebih memilih jalur diplomasi ketimbang adu kekuatan militer. Sudah menjadi tradisi para raja di zaman dahulu. Ketika ingin menjalin persahabatan dengan kerajaan lain, maka mereka mengirim hadiah kepada kerajaan lain. Hal ini tergambar dalam ayat (35). “Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.”
Keempat, cerdas, teliti, dan memiliki kekuatan mental. Hal ini tergambar ketika singgasana Ratu Balqis berada dihadapan Nabi Sulaiman dan diubah ornamen luarnya yang mengesankan perbedaan dengan seinggasana tersebut ketika masih di negeri Saba.
Kemudian, Nabi Sulaiman bertanya kepada Ratu Baalqis, “apakah singgasana ini serupa dengan singgasananya yang ada di negeri Saba?”. Maka, Ratu Balqis tidak menjawab “ya” atau “tidak”, tetapi “seakan-akan itulah dia”. Menurut Sahiron, hal ini menunjukkan bahwa Ratu Balqis memiliki ketelitian, kecerdasan, dan kekuatan mental yang luar biasa. Karena Ratu Balqis mampu menjawab dengan tepat pertanyaan Nabi Sulaiman bahkan pada situasi yang sedang dialaminya saat itu (Syamsuddin, 2017:161-163).
Mengambil Hikmah dari Karakteristik Kepemimpinan Ratu Balqis
Untuk para pemimpin, dari tingkat paling bawah sampai tingkat tertinggi, hendaknya mereka mengambil keteladanan dari Ratu Balqis dalam hal kepemimpinan. Bersedia mendengar pendapat bawahannya dan tidak bersikap otoriter.
Jika seorang pemimpin mau mendengarkan pendapat dari bawahannya, maka ia akan melihat suatu masalah dari banyak sudut pandang. Ini akan membuat keputusan yang diambilnya menjadi lebih baik. Selain itu, jika seorang pemimpin mau mendengarkan pendapat bawahannya, maka bawahannya akan merasa dihargai dan dihormati.
Tidak kalah pentingnya, mereka (para pemimpin) hendaknya senantiasa memperhatikan ketentraman rakyatnya. Dengan cara tidak membuat kebijakan yang bisa menyebabkan rakyatnya terhina bahkan membuat rakyatnya binasa. Hal ini menjadi sangat penting di saat pandemi Covid-19 sedang melanda warga dunia. Jika para pemimpin ‘ngawur’ dalam mebuat kebijakan, maka rakyatnyalah yang akan menjadi korban.
Editor: Yahya FR