Review

Pendidikan, Akhlak, dan Hukum Islam di Universitas Al-Azhar Mesir

4 Mins read

Studi Islam dengan pendekatan tradisional seperti di Universitas al-Azhar di Mesir selama ini sangat menekankan hubungan antara ilmu pengetahuan dan disiplin etik (akhlaq). Seorang pengkaji ilmu-ilmu agama (thalib al-‘ulum al-syar’iyyah) adalah orang-orang yang membentuk hidupnya sebagai replika dari kehidupan Nabi Muhammad Saw..

Orang yang belajar ilmu agama meyakini bahwa apa yang ia pelajari bukan sekedar pengetahuan kognitif, tetapi juga jalan pembangunan karakter untuk meniru Nabi Muhammad. Ilmu agama bukan hanya sekedar persepsi dan wawasan (tasawwurat wa ma’lumat), tetapi juga moralitas dan watak keseharian (akhlaq wa wijdanat).

Reformasi Pendidikan di Mesir

Sebuah disertasi, ditulis oleh Aria Nakissa di Universitas Harvard, yang berjudul Islamic Law and Legal Education in Modern Egypt menyajikan temuan yang menarik. Menurutnya reformasi pendidikan di Mesir yang berorientasi pada Barat telah menyebabkan terjadinya erosi keyakinan masyakarat akademik muslim mengenai hubungan antara knowledge (ilmu) dan ethic (akhlak).

Pengimporan tehnik pengajaran (the importation of pedagogical technique) dari Barat juga telah menyebabkan bergesernya konsepsi tentang ilmu di dunia Islam. Lebih jauh, pengaruh konsepsi Barat bahkan menyebabkan apa yang disebut penulisnya sebagai the demise of ethical exemplars (hilangnya uswatun hasanah) dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh, bukan merupakan sesuatu yang aneh lagi (‘aib dalam bahasa Mesir) jika kita melihat professor studi Islam merokok di ruang publik atau menggunakan bahasa yang kurang sopan saat berbicara bahkan mengajar.

Penulisnya juga menyimpulkan bahwa sistem pendidikan ala Barat yang diimpor ke dalam studi Islam telah merubah wajah episteme pendidikan Islam. Jika episteme pra-modern berpusat pada ilmu tata bahasa yang bersifat repetitif, episteme modern paska reformasi pendidikan berpusat pada ilmu kealaman (natural sciences) yang bersifat inovatif.

Pergeseran Episteme

Pada akhirnya, pergeseran episteme ini juga berdampak pada nalar hukum. Hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai sesuatu yang bersifat statis, tetapi dapat berubah dan falsifiable seperti watak sains. Dengan kata lain, hukum dipersepsikan sebagai sesuatu yang harus mengalami perkembangan.

Baca Juga  Membedah Majalah Sinar Islam (1934-1935), Menemukan Kembali Mutiara yang Hilang

Pada zaman pra-modern, hukum dipersepsikan seperti aturan dalam ilmu bahasa (law as grammar). Ada dua watak ilmu bahasa. Pertama, ia dikuasai dengan cara belajar secara tatap muka dengan syaikh (acquired through transmission). Kedua, ilmu bahasa berbasis pada repetisi (habitus). Implikasinya dalam bidang pengajaran, kreasi dan inovasi bukanlah sesuatu yang dicari. Dus, ini menyebabkan pendidikan tradisional, kata penulisnya, bersikap hostile terhadap segala bentuk kebaruan.

Baca juga: Tiga Arah Studi Islam di Perguruan Tinggi

Penolakan terhadap kebaruan bisa dilihat misalnya dari model pembelajaran yang lebih menekankan pada hafalan. Ini juga bisa dilihat dari penggunaan diktat belajar. Teks yang dipakai di perkuliahan cenderung kitab yang berasal dari zaman klasik.

Dalam pendidikan tradisional, menjadi sarjana agama (ulama) juga tidak diharuskan mengarang sesuatu yang baru karena pengetahuan agama tidak dianggap mengalami progressing. Ilmu agama adalah ilmu yang mengenal titik ajeg, alias titik otoritatif. Oleh karena itu, menjadi ulama ditandai dengan penguasaan dan internalisasi terhadap pengetahuan dan wawasan yang sudah ada. Kalaupun seorang ulama menulis buku, biasanya hanya dalam bentuk syarah (penjelasan) untuk teks-teks klasik.

Pengaruh Paradigma Pendidikan Barat

Pendidikan Islam di Mesir kemudian mengalami reformasi. Reformasi ini berlangsung beberapa gelombang. Gelombang pertama terjadi pada saat kepimpinan Muhammad Ali yang memimpin Mesir paska kedatangan Napoleon Bonaparte. Gelombang kedua dipimpin oleh syaikh Muhammad Abduh di akhir abad 19. Gelombang ketiga terjadi pada zaman presiden Gamal Abdul Nasir di tahun 1960-an.

Pada saat memimpin tim reformasi al-Azhar, kebijakan yang dibuat oleh Muhammad Abduh antara lain adalah mengurangi jumlah madah (mata kuliah) ilmu bahasa. Sebelumnya, mata kuliah seperti nahwu, sharaf, balaghah, wad’, qafiyah, dan ‘arud adalah mata kuliah wajib yang diajarkan secara terpisah.

Baca Juga  Atas Nama Kemanusiaan: Mengambil Hikmah dari Film In Darkness (2011)

Selain itu, Muhammad Abduh juga mengurangi pembelajaran yang berbasis pada syarah (komentar pada kitab-kitab induk). Ia juga mendorong para murid al-Azhar untuk belajar materi sains dan matematika. Karena mendapatkan pertentangan dari internal al-Azhar, Abduh akhirnya mendirikan Darul Ulum, sebagai jalan alternatif untuk merubah pendidikan agama di al-Azhar dari luar. Di sinilah kurikulum baru yang memasukkan materi sains, sejarah, geometeri, dan geografi ia terapkan.

Sejak reformasi pendidikan yang dilakukan dalam berapa gelombang tersebutlah, pendidikan agama khususnya hukum Islam di Mesir tidak lagi berorientasi pada ilmu bahasa, tetapi berubah pada orientasi ilmu sains (law as science). Pembelajaran yang terlalu menekankan ilmu bahasa kemudian disebut sebagai old fashion (ketinggalan zaman) dan dipersepsikan berasal dari masa kegelapan (hiqbah muzlimah) dunia pendidikan.

Kesarjanaan Islam bertransformasi menjadi pendidikan berbasis riset. Mahasiswa, khususnya tingkat pasca sarjana, tidak lagi hanya menghafal, menukil atau mengkompilasi. Mereka diharuskan menulis tesis atau disertasi (risalah) dan dituntut untuk menemukan sesuatu yang baru. Berfikir inovatif (al-tafkir al-ibda’i) dan memproduksi teori yang belum ditemukan sebelumnya (naẓariyyah lam yusbaq ilayhā) menjadi paradigma dalam studi Islam.

Terpaku pada teori lama akan disebut sebagai taqlid, membawa konotasi negatif, dan simbol keterbelakangan (al-takhalluf). Beberapa professor bahkan mengatakan bahwa pandangan yang tidak terbuka pada kebaruan sama dengan cara berfikir kelompok ekstrimis (al-tafkir al-irhabiy).

Desain Penelitian

Kembali ke disertasi. Metode penelitian yang digunakan untuk menyusun disertasi ini sangat kreatif menurut saya. Disertasi ini bisa menjadi model penelitian interdisipliner. Disertasi ini adalah intersection dari beberapa bidang bidang ilmu, yaitu antropologi, hukum Islam, pendidikan, dan filsafat ilmu.

Disertasi ini disusun dengan menggabungkan dua pendekatan, yaitu etnografi yang dilakukan selama dua tahun di Mesir dan studi teks. Penelitian etnografi dilakukan di Universitas al-Azhar yang tradisional dan Universitas Kairo yang modern. Aria Nakissa, penyusun disertasi ini, duduk langsung di halaqah-halaqah di Masjid Universitas Al Azhar Mesir dan hadir di kelas-kelas formal untuk tingkat pasca sarjana di dalam kampus Universitas Al Azhar Mesir dan Univeritas Kairo. Ia mewawancarai beberapa syaikh, professor dan mahasiswa, baik dari Mesir maupun mahasiswa internasional (tullab wafidin).

Baca Juga  Guru Teladan: Hasil Tak Khianati Usaha

Dari aspek teori, disertasi ini juga sangat kaya. Ia menggunakan setidaknya dua teori. Pertama, ia menggunakan teori episteme dari Michel Foucault. Episteme artinya asumsi yang melandasi pengetahuan. Setiap masa atau periode sejarah, kata Foucault, memiliki episteme-nya sendiri-sendiri. Misalnya: episteme ilmu ekonomi pada masa pra revolusi industri berbeda dengan setelahnya. Foucault juga berpendapat, disiplin ilmu yang berbeda-beda bisa memiliki episteme yang sama, asalkan ada pada zaman yang sama pula.

Kedua, ia menggunakan teori habitus Talal Asad. Menurut Asad, pemahaman terhadap nas-nas agama dalam masyarakat muslim pra zaman modern tidak hanya mengandalkan peran kognitif akal, tapi juga praktek lahiriah (physical embodiment) yang menjadi kebiasaan sehari-hari. Singkatnya, agama tidak akan bisa dipahami tanpa dipraktekkan. Teori ini dikembangkan oleh Asad dari teori habitusnya Pierre Bourdieu. Menurutnya, pengetahuan tentang hukum atau aturan (rules) berasal dari kebiasaan (habitus).

Temuan Aria Nakissa ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Temuannya misalnya bisa dijadikan pijakan untuk melihat konteks reformasi pendidikan Islam di Indonesia, baik di zaman pra-kemerdekaan untuk tingkat pendidikan dasar oleh tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, maupun pada zaman zaman kontemporer, untuk tingkat pendidikan tinggi melalui UIN/IAIN.

Disertasi ini perlu dibaca bagi siapa saja yang tertarik untuk melakukan riset dengan pendekatan interdisipliner, khususnya untuk menggabungkan teori dan metode dalam ilmu sosial humanitis dan ilmu tekstual.

* Penulis adalah alumni PCIM Mesir dan Pengurus PCIM Amerika Serikat

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds