Review

Narasi-narasi Dua Jiran: Hubungan Malaysia-Indonesia dari Perspektif Personal

8 Mins read

Hubungan Malaysia dan Indonesia selalu menarik menjadi bahan pembicaraan masyarakat di kedua negara ini. Mulai dari hubungan keduanya yang sangat erat dan dekat karena memiliki kesamaan budaya dan bahasa, adanya hubungan kekerabatan di antara sebagian masyarakatnya, hingga persamaan nasib sebagai negara yang pernah dijajak oleh kolonialis Barat. Di sisi lain, keduanya juga pernah memiliki sejarah ketegangan dan konflik, yaitu pada masa Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1963-1966 yang membuat keduanya saling berhadap-hadapan di level negara (Sulistiyono, 2020). Peristiwa tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam lintasan sejarah hubungan kedua negeri serumpun ini.

Tidak lama setelah era Orde Lama berakhir, hubungan kedunya kembali membaik dan mesra. Bahkan Indonesia dan Malaysia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Thailand, dan Filipina menginisiasi berdirinya ASEAN sebagai organisasi resmi negara-negara yang berada di kawasan strategis ini. Selama era Orde Baru hubungan Indonesia-Malaysia sangat erat di level negara dan mungkin juga di level masyarakat. Hal ini bisa dilihat tidak banyaknya berita-berita di media massa yang membicarakan ketegangan dan konflik diantara keduanya baik di level negara maupun masyarakat.

Pasca era reformasi, pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono gesekan dan ketegangan Indonesia-Malaysia justru termasuk paling sering terjadi, baik di level negara maupun masyarakat. Ketegangan dan konflik terjadi misalnya terkait isu Pulau Sipadan-Ligitan, Perairan Ambalat, dan Tenaga kerja Indonesia (TKI), masalah klaim warisan budaya seperti reog, tari pendet, tari Tor-Tor, lagu rasa Sayange, angklung dan lainnya (Bustami, Maksum & Sunarti, 2016).

Peristiwa-peristiwa tersebut, semakin meningkatkan gesekan dan konflik antara masyarakat Indonesia dan Malaysia. Kondisi terjadi juga dipicu oleh pemberitaan media massa (cetak dan online) yang sering provokatif. Perkembangan media online yang memberitakan ketegangan keduanya semakin mendorong masyarakat kedua negara ikut terlibat ketegangan ini. Apalagi bila menyangkut pertandingan sepakbola antara kedua kesebelasan nasional dua negara ini. Kedua masyarakat di negara “kakak-adik” ini akan mudah mengalami ketegangan (tension) dan kekerasan verbal atau simbolik, misal mereka saling ledek dan caci maki di dunia maya. Situasi itu yang sering kita lihat.

Kajian Hubungan Indonesia-Malaysia Kontemporer

Untuk memahami hubungan unik kedua negara di kawasan Nusantara ini, para ilmuwan kedua negara telah melakukan kajian dan penelitian tentang problem ini. Banyak buku yang memahami tentang hubungan Malaysia-Indonesia yang menitik beratkan pada pada level struktural, yaitu pemerintah atau negara. Beberapa buku seperti Dances with Garuda: Malaysia-Indonesia Bilateral Relations (Ahmad Nizar Yaakub, 2013), Hubungan Malaysia-Indonesia: Sejarah Politik dan Keselamatan (Maslida Yusof dkk, 2016), serta Persaudaraan Sepanjang Hayat: Mencari Jalan Penyelesaian Damai Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966 (Linda Sunarti, 2017) menelaah hubungan kedua negara dari perspektif hubungan international, kajian keamanan dan sejarah.

Selain itu juga terbit buku yang memiliki yang menyoroti ketegangan dan konflik diantara dua negeri serumpun ini, seperti buku Konflik Indonesia-Malaysia: Dalam Perspektif Kebangsaan 1963-2010 (Bambang Bahagia Sulistiyono, 2020) dan yang terbaru Matrik Berkembar Hubungan Indonesia-Malaysia (Bustami dkk, 2021). Kelima karya tersebut memiliki persamaan, yaitu menjadikan pemerintah atau negara keduanya sebagai objek kajian.

Berbeda dengan karya-karya di atas, buku baru yang berjudul Malaysia-Indonesia; Narasi-Narasi Lintas Budaya dan Negara (2021) menawarkan pendekatan yang berbeda dalam melihat hubungan kedua negara jiran serumpun. Buku yang ditulis dalam bahasa Malaysia ini menggunakan kacamata interpersonal (para penulis) dalam merefleksi perjumpaan pengetahuan dan pengalaman diantara dua identitas budaya dan negara (Malaysia dan Indonesia). Sehingga tulisan-tulisan di dalamnya lebih bersifat subjektif, sangat manusiawi dan hidup dalam menarasikan pengetahuan dan pengalaman perjumpaan mereka satu dengan yang lain. Tulisan-tulisan dalam buku ini layaknya sebuah potongan otobiografi dari para penulisnya, khususnya terkait pengalaman dalam melihat relasi Malaysia-Indonesia.

Baca Juga  Baca Ini, Sebelum Menulis Buku

Bahkan dalam kata pengantar buku ini, Farish A Noor menyebut bahwa narasi-narasi dalam buku ini menawarkan gambaran kontemporer hubungan Malaysia-Indonesia dari kacamata banyak orang yang bukan berada di pusat kekuasaan atau suara pinggiran (subaltern). Apa yang disampaikan oleh para penulis dapat mewakili kehidupan anggota masyarakat Nusantara yang bertetangga (hlm xiii). Sehingga karya ini menyajikan percikan pengalaman dan refleksi segar berbeda dengan buku-buku yang berbicara tentang relasi kedua negara ini.

Buku ini merupakan karya bunga rampai yang terdiri dari 15 esai ditambah kata pengantar dan catatan penyunting. Menariknya buku ini juga disunting secara kolaboratif oleh dua orang yang berasal dari dua negara, Muhammad Febriansyah (Indonesia) dan Haris Zuan (Malaysia). Para kontributor esai dalam buku ini berasal dari kedua negara yang menjadi topik bahasan.

Para penulis berasal dari latar belakang sosial yang beraneka ragam, mulai dari pekerja, dosen, peneliti, mahasiswa, seniman, aktivis hingga ibu rumah tangga. Mereka menyajikan esai-esai mereka dengan menggunakan perspektif personal dalam melihat, membaca dan merefleksikan pengalaman perjumpaan budaya dan negara Malaysia-Indonesia. Melalui esai-esai tersebut orang Malaysia mendeskripsikan pengalaman sosio-kultural berinteraksi langsung dengan orang-orang Indonesia. Dan sebaliknya, orang Indonesia juga menarasikan (orang) Malaysia sebagai hasil perjumpaan secara nyata, bukan hanya berdasarkan berita-berita yang muncul di berbagai media massa. Mereka juga merefleksikan secara kritis pengalaman individual mereka dihadapkan dengan berbagai persoalan yang menlingkupi hubungan dua negara jiran tersebut.

Narasi-Narasi Perjumpaan Dua Budaya Serumpun

Tiyas Maulita, salah seorang penulis dari Indonesia dalam buku ini, menyebutkan bahwa Malaysia merupakan masa depan keluarga dan dirinya. Ia merupakan generasi kedua pekerja migran asal Wonosobo Jawa Tengah, ibunya merantau ke Singapura dan Malaysia. Setelah lulus SMA, Ia berkeinginan melanjutkan studi di perguruan tinggi, tapi nasib berkata lain. Dia belum lolos dan tidak melanjutkan kuliah yang menjadi pilihannya di Indonesia.

Akhirnya dia memilih untuk merantau bekerja di Johor dan Selangor, Malaysia. Ia menyusul ibunya yang juga jauh sebelumnya telah berada di sana. Tiyas bukan hanya bekerja tapi kemudian ia juga melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka (Indonesia) di Kuala Lumpur. Ia bergabung dalam beberapa kegiatan organisasi dan aktif belajar menulis. Ia menuliskan pengalamannya menjadi pekerja pabrik saja dan ketika menjadi pekerja sekaligus menyandang status sebagai mahasiswa.

Orang Malaysia juga memberikan penghormatan lebih kepada pelajar berbanding pekerja kilang biasa. Itu kesan yang aku rasakan ketika menaiki teksi, berjumpa doktor, melancong, membeli belah, atau berbincang dengan penduduk sekitar asrama di surau…” (hlm. 7).

Dalam tulisannya, Tiyas Maulitas merasa sudah menjadi bagian dari masyarakat Malaysia. Johor, Bangi, dan Kuala lumpur telah menjadi kota kedua bagi dirinya. Pengalaman dan kesan baik yang dia dapatkan ketika berinteraksi langsung di perkampungan di Kuala Lumpur membuat dirinya seperti di kampung halaman di Jawa Tengah. Perjumpaannya dengan Malaysia telah memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mengenal banyak orang yang beraneka ragam dan dunia yang lebih luas. Pada saat yang sama  ia juga mendapatkan kesempatan untuk mengejar cita-citanya belajar di perguruan tinggi. Perjuampaannya dengan Malaysia mendorong dirinya untuk meningkatkan kapasitas dan juga mobilitas sosial.

Interaksi dengan Identitas Indonesia dan Malaysia

Selanjutnya, Azmil Tayeb, dosen di Universiti Sains Malaysia menarasikan identitas dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan antara identitas Indonesia dan Malaysia. Sejarah asal usul dirinya dan keluarganya tidak bisa lepas dari perjumpaan dua budaya dan negara. Bahkan dua identitas ini juga mempengaruhi perjalanan hidupnya sebagai seorang akademisi yang mempunyai minat kajian politik di kedua negara Nusantara ini. Terkait geneologi keluarga, ia menyampaikan seperti di bawah ini;

Baca Juga  Ayah, Teganya Kau Hancurkan Impian Anakmu!

Oh ya, aku mempunyai suku darah Indonesia. Arwah nenek, ibu kepada ayahku, berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat dan ayahku sendiri dilahirkan di Jakarta. Manakala arwah kakek atau datuk aku pula, Melayu dari Masjid Tanah, Melaka yang menjadi tantara Jepun pada Perang Dunia Kedua. Dia bertemu dan bernikah dengan nenekku di daerah Tangki Jakarta Barat sewaktu nenek bersekolah di sana. Usai perang mereka berpindah ke Kuala Lumpur…” (hlm 16).

Tidak sampai di situ, interaksi Azmil dengan dua identitas budaya tersebut mendorong ketertarikannya untuk memahami persamaan dan perbedaan keduanya. Perjumpaan ini menghasilkan ketegangan kreatif (creative tension) bagi diri Azmil. Pengalamannya berinterkasi langsung dengan orang-orang Indonesia, baik di Jawa maupun di Kalimantan membuat dirinya menjadikan Indonesia sebagai menjadi bagian dari minat akademiknya. Seperti yang ia ungkapkan;

Penulisan tesis Master ini membuahkan minat aku untuk mengkaji lebih mendalam mengenai keterbukaan dalam praktik Islam di Indonesia terutamanya kalua dibandingkan dengan Malaysia…. Sistem pendidikan Islam di Indonesia yang akhirnya menjadi fokus utama tesis PhD aku di Australian National University di Canberra. (hlm 23).

Paradoks Dua Masyarakat

Beberapa penulis juga mengamati secara cermat hubungan paradoks dua masyarakat ini. Ada orang Malaysia yang menganggap rendah buruh migran, pada saat yang sama mereka memuja dan mengagumi selebriti-selebirti Indonesia. Pada satu sisi orang Malaysia menggandrungi musik-musik dari Indonesia, pada saat yang sama sebagian orang Indonesia juga menyukai lagu-lagu Malaysia.

Kelompok musik seperti Dewa 19, Padi, Sheila on 7 cukup populer dan disenangi di Malaysia, sama halnya lagu-lagu dari Exist, Search, Iklim dan juga Siti Nurhaliza tentunya. Kedua masyarakat bisa menerima dan saling mengapresiasi dan bertukar kesenangan dalam mendengarkan musik. Tapi dalam isu sepakbola, masyarakat kedua negara lebih sering gaduh dan saling serang. Situasi ini seperti yang direfleksikan oleh Syharifah Nursyahidah;

Mengapa rakyat Malaysia memuji selebriti-selebriti Indonesia yang berkunjung ke negara ini tapi merendah-rendahkan para buruh migran Indonesia yang bekerja mencari rizki? Kenapa di acara muzik begini rakyat Malaysia dan Indonesia boleh Bersatu dan bergembira bersama, namun kekerasan dan caci maki terjadi ketika menyaksikan perlawanan bola sepak antara kedua negara? (hlm 92).

Pengalaman Mahasiswa Indonesia-Malaysia

Beberapa mahasiswa Malaysia yang pernah mengikuti pertukaran mahasiswa atau magang di perguruan tinggi Indonesia mendapatkan juga ikut menuangkan pengalaman mereka. Mereka menggangap interaksi langsung dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia telah dapat membantu mereka untuk lebih memahami budaya Indonesia yang beraneka ragam dan tidak tunggal.

Mereka juga melihat bahwa dinamika aktivisme mahasiswa di kampus-kampus Indonesia sangat aktif dan dinamis bila dibandingkan di perguruan tinggi Malaysia. Jefry Musa, salah satu penulis juga intens mengikuti pemikiran yang berkembang di kalangan aktivis mahasiswa Indonesia. Hal ini bisa dilihat ketika ia menyebutkan beberapa tokoh popular yang sering dibicarakan di kalangan aktivis mahasiswa;

Saya mula berminat untuk melawat Indonesia apabila terlibat dalam gerakan Serikat Mahasiswa di Universiti Sains Malaysia (USM). Bercakap soal gerakan mahasiswa di rantau ini (Indonesia) sudah tentu Indonesia merupakan negara yang berpengalaman dan mempunyai banyak kegiatan terutama dalam lapangan masyarakat. Nama-nama sperti  Soe Hok Gie, Wiji Thukul, Chairil Anwar, WS Rendra, Goenawan Mohamad, Pramudya Ananta Toer dan Munir Said merupakan aktivis yang hebat dalam membela dan memperjuangkan masyarakat yang ditindas….”(hlm 118).

Baca Juga  Robert W. Hefner: Jaringan Ideologi Pendidikan Islam di Asia Tenggara

Dari pengakuan Jefry Musa tersebut menunjukkan, bahwa orang Malaysia memiliki hasrat lebih untuk mengetahui dan memahami tetangga jiran-nya. Pendapat ini didukung tulisan Muhammad Febriansyah, orang Indonesia yang mengajar di Universiti Sains Malaysia.

Menurut Febriansyah keingintahuan tersebut diwujudkan melalui program-program khusus televisi Malaysia yang menayangkan topik tentang Indonesia, seperti Jelajah Hati, Ke Indonesia Ke Kita?, Atlas Masjid Nusantara dan Santri Serumpun. Program-program televisi tersebut dirancang secara khusus dan ditayang beberapa episode untuk mengenalkan Indonesia kepada rakyat Malaysia. Berbeda dengan televisi Indonesia, meski menayangkan Upin & Ipin dan Boboiboy, tapi belum ada acara khususnya yang serius seperti televisi Malaysia mengenalkan Indonesia (hlm xx).

Pengalaman dari Konteks Akademik

Hampir sama dengan Febriansyah, Budiawan juga melihat gejala yang sama tapi dalam konteks akademik. Ia awalnya hanya melancong ke Malaysia namun perjumpaan tersebut menumbuhkan minat yang mendalam terhadap Malaysia secara akademik. Ia mencermati tidak banyak sarjana ilmu-ilmu sosial Indonesia yang berbuat demikian. Padahal Malaysia-Indonesia merupakan tetangga yang sangat dekat, karena kedekatan itulah keterkaitan keduanya dalam berbagai aspek kehidupan.

Misal, bila suatu problem besar terjadi di Malaysia, maka akan juga berpengaruh pada Indonesia, dan juga sebaliknya. Budiawan melihat bahwa problematika semacam ini harus dikaji secara akademik untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam lagi utuh. Selain itu juga, untuk menghindarkan pemahaman yang diwarnai prasangka dan stereotip yang sering berkembang diantara keduanya. Kondisi ini jelas akan dapat menghambat hubungan harmonis dan produktif antara kedua (masyarakat dan) negara tetangga ini (hlm 79). Pada tulisannya, Budiawan menyelipkan kritik kepada para ilmuwan sosial di Indonesia, yaitu;

“Satu hal yang tidak banyak berubah: para sarjana ilmu sosial (di) Indonesia tidak banyak menaruh minat serius pada perkara-perkara di negara lain, bahkan negara jiran yang serumpun sekalipun…” (hlm 80).

Di atas telah diuraikan beberapa narasi yang muncul dalam karya bungai rampai ini. Semua tulisan mencoba melihat hubungan Malaysia dan Indonesia dari perspektif pengalaman personal penulis. Sehingga dalam menyampaikan uraian terlihat sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka, lebih cair dan mengalir jauh dari uraian formal layaknya sebuah buku akademik yang formal dan kaku. Meskipun demikian, tulisan-tulisan dalam buku secara tidak langsung menawarkan percikan tema-tema kajian akademik yang bisa ditindaklanjuti oleh para pembaca yang memiliki minat terhadap tema hubungan Malaysia-Indonesia di level individu dan masyarakat.

Mengapa Perlu Membaca Buku Ini?

Pembaca dalam menikmati buku ini tidak harus secara sistematis dari esai pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Tapi pembaca bisa membaca dari esai mana pun, karena semua esai merupakan narasi personal yang berdiri sendiri dan menawarkan pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda bagi para pembaca. Mungkin ini salah satu kelebihan buku yang ditulis oleh para penulis dari Malaysia-Indonesia yang memang ingin menyampaikan refleksi personal mereka apa adanya. Tulisan-tulisan ini merupakan bagian dari suara-suara orang-orang dari kedua negara yang jauh dari kekuasaan struktural.

Setelah membaca buku ini, saya melihat bahwa para penulis dalam menuangkan refleksi kritis terhadap pengalaman mereka tanpa sadar telah menggunakan konsep imajinasi sosiologis (sociological imagination). Yaitu, kesadaran kritis dalam menghubungkan pengalaman personal atau pribadi dengan problematika masyarakat luas (termasuk sejarah di dalamnya), khususnya terkait hubungan Malaysia dan Indonesia.

Mereka tidak secara langsung menyebutkan istilah yang dipopulerkan oleh C Wright Mills dalam buku yang berjudul The Sociological Imagination (1959). Akan tetapi, saya mencermati para penulis sebenarnya telah mengaplikasikan konsep imajinasi sosiologis dalam tulisan-tulisan mereka. Dan inilah kekuatan esai-esai yang terdapat dalam buku bunga rampai ini.

Editor: Nabhan

Mohammad Mudzakkir
1 posts

About author
Dosen Prodi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa). PhD Candidate di Centre for Policy Research and International Studies (CenPRIS) Universiti Sains Malaysia
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *