Perspektif

Pendidikan di Era New (Up) Normal

2 Mins read

Jauh sebelum Covid-19 tiba di Indonesia, kebijakan pendidikan di Indonesia memang kelihatan carut-marut. Tidak adanya visi yang jelas dan road map mau dibawa kemana pendidikan kita adalah salah satu indikasinya. Pada akhirnya pendidikan kita di era ini hanya meneruskan kebijakan di masa Presiden SBY, prinsipnya pendidikan adalah untuk menciptakan mental pekerja. Kebijakan ini diteruskan oleh Jokowi dan Nadiem Makarim.

Pendidikan di Era New Normal

Mas Nadiem Makarim yang digadang gadang akan merombak sistem pendidikan kita dengan modal kemampuan teknologinya pada akhirnya harus membuat muka di pipi kita tersenyum kecut. Bermodal wacana yang muluk-muluk, kita seperti kehilangan fondasi dalam pendidikan kita. Wacana merdeka belajar, wacana kampus merdeka seperti jargon kosong semata.

Bung Nadiem mungkin perlu membaca kembali bagaimana fondasi pendidikan kita ditegakkan. Maaf Bung, barangkali anda akan berkelit tak punya waktu. Tapi sudah hampir dua tahun, tapi perubahan di dunia pendidikan yang diharapkan tak kunjung tiba. Retorika dan wacana bukanlah solusi dari persoalan di pendidikan kita.

Bung juga berjanji akan mengawal dana BOS seefektif mungkin. Dari dulu pemerintah mengatakan seperti itu, nyatanya memang susah memberantas mental korup dari hulu sampai hilir. Juknis dan juklak bisa dimainkan seaman mungkin, ini pendidikan macam apa?

Di masa pandemi kita dihadapkan betapa remuk redam dan babak belur kondisi pendidikan kita. Kita gagap, gagu, sekaligus terlihat tidak memiliki kebijakan yang jelas dalam urusan mengatasi pandemi.

Teknologi yang selama ini anda dengung-dengungkan dan ada di masyarakat kota hanya anda bebaskan jalannya. Sekolah-sekolah kaya dan super kaya itu anda beri fasilitas lagi dengan dana BOS. Lalu efektifkah hasilnya? Berjalankah seperti yang diharapkan?. Ternyata tidak juga.

Baca Juga  Herd Immunity dan Masa Depan Sapiens

Kita hanya menghambur-hamburkan kuota untuk membahas buku-buku yang di tiap tahun isi dan materinya tak pernah berinovasi. Bagaimana mungkin anak akan kritis, bagaimana mungkin sekolah akan inovatif, bila buku pegangan mereka tidak pernah ganti materinya.

Lalu bagaimana dengan sekolah yang miskin? Guru- guru yang masih kurang update itu?. Sementara aturan BOS sudah difleksibelkan. Apakah mereka akan masuk belajar lewat handphone sementara sekolah belum bisa memperbaiki gedung, anak-anak mereka belum mengenal listrik apalagi internet.

(Up) Normal

Bung, masa pandemi memang ujian dan cobaan dari Tuhan, tapi bukan berarti pendidikan harus mati suri. Bung hanya sediakan tvri dan materinya lalu bung anggap itu sudah menyelesaikan problem pendidikan kita? Ada baiknya Bung segera berbenah.

Apa yang akan kita lakukan setelah korona pergi? Bagaimana jika wabah seperti ini muncul lagi? Langkah atau infrastruktur apa yang akan kita siapkan? Wajib bung pikirkan. Ingat Bung, anda adalah pemegang utama kendali pendidikan kita.

Presiden Jokowi memang sudah mengumumkan masa up normal, eh salah new normal dengan segala protokolernya. Kebijakan ini diambil nekad karena negara tidak boleh ambruk walau rakyatnya mati. Lalu kenapa Bung tidak bersuara?

Akibat bung tidak bersuara muncullah petisi penundaan tahun ajaran baru. Kini bung seolah makin bingung dengan menerapkan kebijakan seperti lampu di tengah jalan merah kuning hijau. Ini sama saja anda plin plan dan tidak tegas dalam membuat kebijakan.

Belum lagi tugas anda menyediakan infrastruktur seperti kelas yang kondusif, steril dan memastikan aman ketika anak masuk sekolah. Jangan main-main dengan satu nyawa anak-anak kita Bung.

Bung bisa lihat di Korea Selatan, meski sudah diterapkan kebijakan new normal dengan fasilitas mumpuni saja justru bertambah parah. Bagaimana dengan kita yang mau main-main dengan kebijakan merah-kuning-hijau?

Baca Juga  Covid-19, dari Bencana Nasional ke Darurat Nasional

Bung, segeralah berpikir keras menyikapi pendidikan di negeri ini yang kian up normal.

Jangan hambur-hamburkan keuangan negara kita hanya untuk kebijakan pendidikan yang tidak jelas. Lebih baik anak-anak kita bertani, mencangkul dan bercocok tanam dengan padi mereka dari pada menghabiskan data hanya untuk mengikuti ceramah guru mereka dengan muka bruwet dan suara yang gak jelas lagi parau karena sinyal provider yang sering kena gangguan karena listrik mereka gratis.

Satu lagi Bung, hentikan retorika dan pencitraan yang semakin menegaskan bahwa anda tak punya visi membawa pendidikan kita ke arah kemajuan.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds