Perspektif

“Pendidikan Investasi Masa Depan” Bagi yang Punya Uang

3 Mins read

la Educacion no se vende, se defiende”, yang artinya “Pendidikan tidak untuk diperjualbelikan” merupakan bentuk teriakan para pelajar Chile beberapa tahun lalu yang menolak adanya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Perjuangan yang terus dikawal hingga turun menurun secara estafet sejak dirintis tahun 2006 dengan nama Revolusi Penguin terus digaungkan. Revolusi ini adalah upaya menegaskan pendidikan sebagai investasi masa depan.

Revolusi ini berakhir menghasilkan pergerakan yang bersifat sustainable bagi Negara Chile. Puncak tuntutan revolusi dari ratusan ribu mahasiswa Chile yang meminta sistem pendidikan sehat dan berkeadilian pada tahun 2011 memiliki dampak cukup fundamental dalam keberhasilan menuju sistem pendidikan yang lebih baik.

Pendidikan Investasi Masa Depan

Berkaca pada sejarah Chile beberapa tahun silam, rupanya Indonesia tengah menghadapi problematika yang hampir serupa. Kenapa? Kita pastinya sudah banyak mengetahui, negara yang terkenal akan ramah tamahnya kerap kali menemui orang yang berbaik hati memberikan segelas kopi kepada tamu rumah. Namun berbeda halnya dengan pendidikan yang masih harus dibeli.

Kalimat tersebut mungkin masih bisa disanggah, namun fakta realitanya apakah pemerintah sudah mampu menjamin pendidikan setiap warga negarannya? Atau justru negara memposisikan pendidikan sebagai komoditas perdagangan bahkan investasi?

Sebagai negara yang memegang teguh Undang-undang Dasar, sebagaimana yang dilihat dari Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007, bahwa pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing. Efek yang ditimbulkan ketika pendidikan diposisikan sebagai komoditas perdagangan adalah kurangnya peran negara dalam menjalankan kewajibanya menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyat.

Pada momen penerimaan mahasiswa baru atau awal semester tidak asing lagi kita mendengar teman-teman yang terancam gagal masuk perguruan tinggi karena kewajiban finansial yang belum dipenuhi, dengan kata lain “Harus bayar UKT”.

Berdasarkan kasus tersebut timbul pertanyaan, Ke manakah peran pemerintah pada saat itu? Akan dibawa kemana cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD Negara tahun 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa?

Baca Juga  Ketertindasan Perempuan Madura pada Tubuh dan Posisi

Kita telaah lagi fakta lapangan, contoh kasus yang terjadi di Kota Pelajar Yogyakarta. Kita sering menjumpai anak-anak bekerja, mereka yang dibawah umur menjajakan koran disimpang lampu merah. Meminta-minta belas kasihan yang hampir ditemui disepanjang sudut kota Jogja. begitupun anak-anak yang bernasib sama yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Lalu cita-cita mereka untuk menjadi arsitek, dokter, guru apakah harus dikubur hanya karena terbentur biaya? Jangankan merajut mimpi. Bahkan hak untuk sekadar bercita-cita saja seolah dibatasi.

Selain itu juga, 70% lulusan SMA/SMK yang tersebar di penjuru negeri ini harus menahan untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Alasannya tak lain juga adalah perkara. Miris memang ketika melihat pendidikan seolah hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Pendidikan semestinya investasi masa depan, bukan hanya untuk yang punya uang.

Pendidikan Bagi yang Punya Uang

Beberapa kasus di atas mungkin bisa ditanggapi dengan celetukan ringan “Loh kan ada beasiswa tidak mampu, ada beasiswa Bidikmisi, dan lain-lain”.

Tanggapan yang tidak salah memang, namun apakah selama ini beasiswa yang ada sudah mampu memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan biaya pendidikan? Memang cukup banyak kasus beasiswa tidak mampu tersebut acap kali tidak berpihak kepada mereka yang berekonomi menengah (Miskin tidak, kaya tidak).

Di samping terbentur biaya pendidikan selangit, mahasiswa berekonomi menegah tidak berkesempatan memperoleh beasiswa tidak mampu karena orang tuanya dianggap berkecukupan. Padahal faktanya kemampuan finansial seseorang tidak hanya dilihat dari gaji kotor, melainkan juga jumlah anak, bentuk rumah, bahkan luas tanahnya.

Celetuk lain sering kita dengar yakni “makanya IPK yang tinggi biar mudah dapat beasiswa!” kalimat imperatif yang ada benarnya juga. Namun tidak banyak orang yang mengetahui  bahwa “lain ladang lain belalang”. Setiap program studi memiliki tingkat kesulitan berbeda dalam hal nilai. IPK memang merupakan representasi dari kemampuan mahasiswa, namun terlalu subjektif jika melihat kualitas mahasiswa hanya dari IPK-nya saja.

Baca Juga  Bolehkah Orang yang Terpapar Covid-19 Tidak Berpuasa?

Jika kemudahan dalam mengakses pendidikan gratis hanya diperuntukan kepada mereka yang cerdas dan ber-IPK tinggi, lantas bagaimana nasib mereka yang memiliki kecerdasan biasa-biasa saja? Bukankah sudah menjadi kewajiban negara untuk mencerdaskan mereka yang belum cerdas?

Terlepas dari terbatasnya kouta dan kurang meratanya beasiswa yang ada, hal itu bukan kesalahan dari pihak penyedia beasiswa. Karena hakikatnya layanan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah/negara.

Kembali ke persoalan utama, keterlibatan Indonesia dengan WTO (World Trade Organization) berdampak besar terhadap komersialisasi pendidikan di bangsa ini. Dari berbagai kerjasama yang dijalin WTO dan Indonesia telah sepakat bahwa pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang berdampingan dengan kesehatan dan teknologi diatas kesepakatan General Agreement on Tariffs and Service (GATS).

Hal ini bisa kita rasakan, salah satunya para investor bisa menanamkan modalnya di sektor pendidikan. Terutama untuk pendidikan tinggi, baik swasta maupun negeri.

Bukan Ajang Komersialisasi

Pendidikan liberalis akan membentuk paradigma bahwa pendidikan hanya bertujuan untuk menciptakan tenaga siap guna memenuhi pasar tenaga kerja sebagaimana esensi dari kebijakan pemerintah saat ini tentang Merdeka Belajar. Lulusan Perguruan tinggi digadang-gadang mampu membangun bangsa, mampu menjawab problematika bangsa ini.

Alih-alih pendidikan untuk mencerdaskan kini beralih fungsi menjadi robot-robot bagi investor yang haus akan materi. Jadi jangan heran jika saja banyak perguruan tinggi baik swasta maupun negeri berlomba-lomba membuka program studi baru yang laris di pasaran bursa kerja.

Pemerintah dalam mengupayakan standar pendidikan di bangsa ini bagaikan sebuah mesin waktu yang terbuat dari mesin kalor yang termodifikasi tak pernah mencapai kata sempurna. Pemerintah juga manusia biasa sehingga belum mampu menyelesaikan permasalah pendidikan.

Baca Juga  Korupsi Biang Keladi Kerusakan Lingkungan

Ibu pertiwi bukan membutuhkan pemerintah yang sempurna, namun seharusnya pemerintah memihak rakyatnya. Esensi 2 Mei sebagai Hari Pendidikan merupakan ajang fundamental perubahan bangsa yang harus menuntaskan persoalan. Puluhan kali ganti pemerintah hingga kabinet, problematika Pendidikan hingga detik ini masih belum terdefinisikan.

Persoalan tentang pendidikan menjadi penting untuk segera dituntaskan mengingat pendidikan merupakan kunci kemajuan perubahan suatu bangsa. Yang menjadi benang merah saat ini adalah sistem pendidikan di bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Pendidikan bukan ajang komersialisasi anak bangsa menuntut untuk berdikari.

Semoga merdeka untuk pendidikan bangsa ini.

Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds