Perspektif

Perkawinan Beda Agama Menurut Ulama Indonesia

3 Mins read

Sebelum membahas perkawinan beda agama menurut ulama, kita perlu memahami tentang perkawinan. Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di dunia bisa berkembang untuk melanjutkan generasi-generasi selanjutnya.

Perkawinan adalah tuntutan naluri yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik yang melekat pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Oleh sebab itu manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan sebuah kultur budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya. Tentu yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia.

Perkawinan Beda Agama

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian ada yang menyatakan bahwa perkawinan atau pernikahan sebagai transaksi atau akad kepemilikan (aqd al-tamlik) atau sebagai ganti kepemilikan.

Dari sisi sosiologis, sebagaimana menjadi kenyataan dalam masyarakat Indonesia, perkawinan dapat juga dilihat sebagai fenomena penyatuan dua kelompok keluarga besar. Bahwa dengan perkawinan menjadi salah satu sarana terbentuknya satu keluarga besar yang asalnya terdiri dari keluarga yang tidak saling mengenal. Satu dari kelompok (keluarga) suami (laki-laki) dan yang satunya dari keluarga isteri (perempuan).

Sebagaimana disinggung dalam QS.AZ-Zariyat(51):49

ومن كل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون

Dan sesungguhnya Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.

Peraturan mengenai perkawinan beda agama di berbagai negara-negara sangat beragam. Di satu sisi ada negara yang membolehkan perkawinan beda agama. Di sisi lain terdapat negara yang melarang, baik secara tegas maupun tidak tegas mengenai perkawinan beda agama.

Baca Juga  Pidana Anak Menurut Islam

Dalam konsepsi hukum Indonesia, masalah perkawinan telah diatur secara nasional dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975.

Fenomena seperti ini tentu saja banyak menuai pro dan kontra di masyarkat apalagi di Indonesia yang mayoritas pemeluk agamanya adalah Islam. Agama Islam sendiri mengenai perkawinan antar agama atau beda agama pada prinsipnya tidak memperkenankannya.

Dalam al-Qur’an dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an yang artinya “janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS.Al-Baqarah:221).

Perkawinan Beda Agama Menurut Ulama

Sementara itu Wahbah al-Zuhaili, dalam bukunya al-Fiqf al-Islamy waAdillatuh berkata, “Ulama sepakat atas bolehnya perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahl-kitab. Dasarnya adalah surat al-Ma’idah (5):5. Beberapa orang sahabat Nabi juga menikahi perempuan ahl-kitab, seperti Utsman bin Affan menikahi Nailah binti Farafishah yang Nasrani, Khudzaifah menikahi perempuan Yahudi.”

Menurut Zuhaili, pernikahan itu boleh karena ada sejumlah persamaan prinsip antara dua agama (Yahudi dan Nasrani) itu; pengakuan adanya Tuhan, keimanan pada utusan (rasul/nabi) Tuhan, dan kepercayaan pada hari akhir.

Mohammad Monib & Ahmad Nurcholis dalam buku yang bertajuk Fiqh Keluarga Lintas Agama mengutip perkataan Prof. Dr. Quraish Shihab, ahli dan pakar tafsir berpandangan bahwa al-Qur’an dan sunnah membolehkan dan menghalalkan nikah beda agama. Meski secara pribadi, beliau lebih mengedepankan perkawinan bedasarkan kesamaan atau kafaah (kesetaraan budaya, sosial, Pendidikan, dan lain-lain). Baginya al-Qur’an dan sunnah sebagai konstitusi begitu jelas membolehkan.

Baca Juga  Transformasi Manusia Memperoleh Pengetahuan

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor, seorang Dosen Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta membolehkan pernikahan beda agama, bahkan belia juga sering memfasilitasi praktik pernikahan beda agama sebagai pembimbing nikahnya(Lihat “Pernikahan Mei Menuai kontroversi”, GATRA, 21 Juni 2003).

Begitupun dengan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, APU dalam artikel panjangnya yang membahas seputar pernikahan beda agama, mantan Staf Ahli Menteri Agama, menyimpulkan bahwa semua pendapat yang berkaitan dengan soal pernikahan antara muslim dan non muslim hanya besifat ijtihadi dan tidak ditemukan dalil berupa teks al-Qur’an dan hadis yang secara tegas dan pasti melarang atau membolehkan nikah beda agama.

Kata beliau, Menurut kaidah fiqh, ketiadaan dalil (adamu ad-dalil huwa ad-dalil,) artinya jika dalam suatu perkara tidak ditemukan secara tegas melarang, maka dikembalikan ke hukum asal. Salah satu kaidah fiqh, menyebutkan bahwa dalam urusan muamalah, seperti pernikahan, hukum asalnya adalah mubah atau boleh.

Celah Hukum

Dari berbagai pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya agama Islam melarang adanya perkawinan beda agama karena semua agama hanya menganjurkan dan memperbolehkan untuk menikah dengan satu keyakinan yaitu tertera didalam buku lintas agama. Akan tetapi ada ayat atau nash pengecualian bahwasannya seorang pria muslim boleh menikah dengan wanita ahlul kitab, pembolehan menikah dengan ahlul kitab ini dimuat dalam surah al-Maidah ayat 5 yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahlul-kitab bagi kaum muslim.

Di Indonesia perkawinan beda agama jelas dilarang dan Undang-undang perkawinan tahun 1974 juga sudah melarang secara tegas tentang pelarangan perkawinan beda agama itu. Lalu bagaimana caranya ketika seorang pasangan yang berbeda agama ingin tetap melakakukan perkawinan beda agama?

Baca Juga  Apakah Cinta Harus Mengekang?

Ya salah satu alternatifnya yaitu harus melangsungkan perkawinan tersebut di luar Negeri di suatu Negara yang mana Negara tersebut membolehkan adanya pernikahan beda agama, setelah itu kembali lagi ke Indonesia untuk melegitimasi perkawinannya melalui Dinas Pencatatan Sipil atau di kantor urusan agama setempat.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *