Sebelum membahas pendidikan Islam Emansipatoris, kita perlu mengulas tentang pendidikan agama dalam masyarakat. Wacana relevansi pendidikan agama dan realitas sosial kemanusiaan, di tengah serbuan globalisasi, menjadi pembahasan yang senantiasa menarik dipersembahkan kepada khalayak. Animo masyarakat begitu besar untuk menghadirkan pendidikan agama dalam ranah sosial-politik, ekonomi dan budaya.
Pengandaian materi agama sebagai solusi terbaik bagi krisis multidimensi yang dihadapi masyarakat seakan menjadi teologi baru yang akan memberikan seperangkat jalan menuju pembebasan dari krisis. Anggapan akan kesempurnaan agama dan kemampuannya untuk mengatasi segenap persoalan kemanusiaan merupakan pandangan yang dominan. Pandangan tersebut diperkuat dengan lahirnya organisasi keagamaan yang mengidealkan agama sebagai korpus penyelamatan.
Kendati demikian, problem kemanusiaan yang menjerat bangsa ini justru menyeruak di tengah maraknya perayaan ritual keagamaan yang semakin gegap gempita. Di satu sisi muncul kalangan yang ingin mejadikan agama sebagai optik menyelamatkan manusia dari kubangan kesengsaraan, akan tetapi ternyata dalam prakteknya sangat jauh dari moralitas dan identitas agama turut meningkat secara eskalatif.
Di tengah realitas sosial yang penuh dengan carut marut dan ketidakberdayaan kemudian muncul pandangan kritis atas agama. Yakni agama didorong untuk menjawab segala bentuk praktek-praktek yang menyebabkan terpuruknya tatanan sosial politik, ekonomi dan budaya, lalu agama dituntut mengambil langkah-langkah alternatif yang lebih riil.
Persoalannya adalah apakah pendidikan materi agama mampu memberikan dan menyelesaikan problematika kehidupan? Untuk itulah, untuk menjembatani dan memecahkan problem kesenjangan antara keagamaan dengan realitas kemanusiaan diperlukan pemikiran transformatif.
Teologi Pendidikan Islam Emansipatoris
Islam Emansipatoris merupakan terobosan baru dalam ranah pemikiran dan gerakan sosial di Indonesia. Gagasan ini melakukan konsensus makna baru terhadap pemahaman agama (teks) sebagai sistem makna dan nilai yang memihak kepada kaum lemah dan terpinggirkan. Isu-isu yang diangkat adalah isu-isu tentang ketidakadilan, keterbelakangan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat bawah.
Islam emansipatoris mendekati teks dengan kerangka realitas sosial dengan melakukan refleksi kritis atas problem sosial yang dihadapi masyarakat, baik yang bersifat makro maupun mikro, kemudian membangun strategi-strategi perubahan yang dipraksiskan dalam bentuk aksi perubahan (teoritis-praksis). Posisi teks agama dinaikkan sebagai spirit pembebasan dan moral kemanusiaan. Secara historis, pemilihan istilah emansipatoris pada dasarnya tidak lepas dari pembacaan teori kritis yang berkembang di era kontemporer yang dikaitkan dengan penafsiran agama secara kritis. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penafsiran agama secara kritis mencakup dua dimensi :
Pertama, realitas material. Yaitu model penafsiran agama yang mempertanyakan ideologi hegemonik yang bertolak pada kehidupan riil dan materiil atau mempertanyakan hegemoni yang bertolak pada realitas empirik.
Kedua, visi transformatif. Yaitu model penafsiran agama yang memiliki komitmen pada perubahan struktur, maupun relasi hegemonik dalam hubungan pemberi dan penerima narasi (ulama-umat) maupun relasi politik (penguasa-rakyat).
Tiga Pesan Islam Emansipatoris
Setidaknya ada tiga hal yang hendak disampaikan dalam Islam Emansipatoris, yaitu :
Pertama, memberikan perspektif baru terhadap teks dan mencoba melihat teks dari kacamata konteks dan problem kemanusiaan, karena sebenarnya teks lahir dari konteks dan sosio-kultur masyarakat pada zamannya.
Kedua, menempatkan manusia sebagai subyek penafsiran keagamaan. Hal ini dalam rangka memperpendek jarak yang selama ini terlalu jauh antara teks dan realitas. Pemahaman keagamaan yang dihadirkan di tengah-tengah masyarakat selama ini hampir semuanya berangkat dari teks yang kemudian diturunkan menjadi produk hukum dalam rangka memberi status hukum terhadap realitas. Akibatnya, bukan saja teks kehilangan semangat transformatifnya, bahkan lebih buruk lagi teks berjarak dengan realitas.
Ketiga, memberikan perhatian yang besar persoalan-persoalan kemanusiaan daripada kepada persoalan-persoalan teologis. Islam Emansipatoris ingin mengalihkan perhatian agama dari persoalan langit (teosentrisme) menuju persoalan riil yang dihadapi manusia (antroposentrisme). Penekanannya ada pada aspek praksis sehingga agama tidak hanya dipahami sebagai ritualisme melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan.
Islam Emansipatoris diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memahami historisitas teks dan sejauh mana teks itu dapat mewujudkan perubahan pada tataran praksis. Ini sejalan dengan pandangan bahwa keistimewaan wahyu tidak dikarenakan ia berasal dari Tuhan belaka, melainkan ia dapat membawa misi keadilan, pluralisme, pembebasan, kemanusiaan dan keadaban.
Tafsir keagamaan yang memihak kepada kepentingan publik dan kemaslahatan umum merupakan tawaran hermeneutik bahwa tafsir tidak hanya menjadikan teks sebagai subyek yang dianggap satu-satunya pemegang kebenaran absolut, melainkan sebagai obyek yang dituntut mempunyai visi pembelaan atas kaum lemah.
Menggagas Islam Kritis
Transformasi pemikiran Islam yang dikembangkan Islam Emansipatoris adalahperlunya suguhan Islam yang bersifat kritis. Gagasan Islam Kritis menyuguhkan ide bahwa agama dapat menumbuhkan kesadaran kritis terhadap bentuk penyimpangan, penyelewengan dan penindasan. Kritisisme agama tercermin dalam dialektika agama dengan budaya sepanjang sejarah, karena agama dapat berperan menjadi simbol sosial dan praktik-praktik yang menghasilkan komitmen sosial. Oleh sebab itu, agama diharapkan dapat menjadi peran kunci dalam melakukan transformasi dan perubahan kultur sosial kemasyarakatan.
Prinsip dasar dari agama adalah bahwa ia merupakan garda depan bagi usaha transformatif dan sebagai gerakan revolusioner untuk membela kaum tertindas, sehingga agama sebenarnya anti status quo yang melanggengkan penindasan. Agama dengan perangkat teologisnya yang mampu menjadi kekuatan revolusioner dan transformasi harus dikedepankan dalam konteks kekinian. Sebaliknya, bentuk-bentuk teologi yang menyimpang dari eksistensi agama yang sesungguhnya, yakni teologi yang mendukung status quo, mesti dihancurkan dan diganti dengan teologi pembebasan.
Bentuk Islam sebagai agama kritis yang mampu melakukan perubahan monumental dalam ranah sosial, ekonomi maupun keyakinan teologis, merupakan landasan paradigmatik yang mesti digali dalam konteks kekinian. Penggalian kembali landasan paradigmatik Islam kritis adalah sesuatu yang penting sebagai upaya menumbuhkan kesadaran kritis dalam realitas sejarah.
Dalam hal ini, untuk membangun teologi kritis, diperlukan kesadaran praksis sosial. Kesadaran agama yang hanya berhenti pada tataran intelektual tidak akan memanifestasikan teologi kritis,yang lebih mengedepankan pemahaman teologi critical reflection on praxis. Pada tataran inilah teologi mampu menjadi kekuatan kritis untuk mampu menuju perubahan dalam konteks sosial, yaitu suatu teologi yang mampu menjadi perangkat ideologi bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi danpenindasan.
***
Islam kritis memberikan keyakinan baru akan pentingnya transformasi sosial. Segala bentuk wacana pemikiran sejatinya dapat membebaskan akal, perilaku dan etika,sehingga diharapkan dapat membentuk kesalehan sosial, di samping mencerahkan masyarakat. Agama yang sejatinya turun ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia harus dipahami secara produktif bukan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Oleh sebab itu, pemikiran dan perilaku keagamaan tidak akan mampu membebaskan, jika agama itu sendiri telah menjelma sebagai tiran yang membelenggu pemeluknya. Agama mestinya ditransendenkan sedemikian rupa, sehingga iamempunyai kekuatan kritik bukan memihak pada sikap yang anti kritik. Semangatuntuk melakukan perubahan inilah yang kemudian mengilhami lahirnya teologi pembebasan dalam Islam.
Editor: Nabhan