Oleh: Bayujati Prakoso*
“Orang miskin dilarang sekolah”, inilah kalimat Eko Prasetyo dalam bukunya berjudul: Orang Miskin Dilarang Sekolah yang diterbitkan tahun 2004, yang kemudian dalam praktiknya sering muncul di sekitaran kita. Padahal sejatinya, pendidikan ada untuk semua, bukan pendidikan yang mengagungkan materi/isi dompet. Seolah terdapat dikotomi kaya, menengah, miskin untuk mengenyam pendidikan”
Sejatinya, pendidikan adalah tema yang tidak pernah basi. Senantiasa menarik dan relevan untuk dibicarakan dimanapun dan kapanpun. Bahkan di negara maju sekalipun, pendidikan senantiasa dibicarakan. Ini bukan berarti pendidikan di negara tersebut salah, melainkan memang untuk menunjang kemajuan pendidikan itu sendiri. Sehingga menuntut untuk selalu dibicarakan.
Begitu juga di Indonesia, sejak awal kemerdekaan hingga kini, pendidikan tidak luput dari perhatian. Mulai dari para praktisi, tokoh, akademisi, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan masih banyak problem yang menyelimutinya sehingga hal itu menghambat perkembangannya.
Problematika dalam Pendidikan
Diantara beragam problem antara lain sebagai berikut; pertama, masih rendahnya kualitas sarana-prasarana di daerah pelosok negeri; kualitas infrastruktur, perpustakaan yang belum memadai, dan lain sebagainya. Selain itu, kurangnya pemerataan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, mahalnya biaya pendidikan.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi membuat masyarakat menengah kebawah tidaklah mendapat pendidikan itu. Mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Dunia pendidikan yang katanya tempat di mana orang-orang pintar dan cerdas dididik dan dicetak, nyatanya sering kali lebih mengagungkan isi dompet dibanding isi otak. Ungkapan itu adalah kalimat yang sering kali muncul disekitar kita. Bukan dalam rangka meniadakan atau menilai satu pihak, melainkan meninjau atau mendeteksi adanya sisi ketidaksetaraan pendidikan.
Dari berbagai problem di atas, semua tidak dapat terlepas dari seluruh elemen (elit pemerintah-penyelenggara institusi swasta) dalam membangun sekolah yang maju. Sekaligus ditujukan untuk seluruh masyarakat. Hal ini perlu menjadi autokritik pendidikan kita, dalam rangka membangun pendidikan yang berbasis untuk semua.
Tujuan Pendidikan
Menurut Illich, sistem pendidikan yang baik seyogianya memiliki tiga tujuan; Pertama, ia harus menyediakan bagi semua orang yang ingin belajar. Kedua, ia harus mengizinkan semua orang, yang ingin membagikan apa yang mereka ketahui, untuk menemukan orang yang ingin belajar dari mereka.
Ketiga, sistem pendidikan ini memberi peluang kepada semua orang yang ingin menyampaikan suatu masalah ke tengah masyarakat. Guna membuat keberatan mereka diketahui oleh umum. (Arif dkk, 2014: 55)
Artinya, Illich ingin menegaskan bahwa fungsi pendidikan dimaksudkan untuk kebebasan. Terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan ilmu dan mendapatkan ilmu. Sebab, memperoleh pendidikan dan ilmu adalah hak dari setiap warga negara, di Indonesia, maupun di negara lain.
Sistem semacam ini menuntut agar jaminan atas pendidikan menurut konstitusi benar-benar ditegakkan. Hal ini juga dapat dipraktikkan pada pendidikan nonformal; yakni melalui diskusi-diskusi, seminar, dialog, dan semacamnya.
Prinsip-prinsip Pendidikan
Hal ini juga mensyaratkan adanya nilai atau prinsip dalam pendidikan itu sendiri. Setidaknya ada delapan prinsip-prinsip pembelajaran Sujono S (Arif dkk, 2014: 67-71) yang patut dipahami dan dikembangkan dalam penerapan keseharian. Ialah sebagai berikut:
Pertama, Realistis dan Fungsional. Pengadaan sarana dan prasaran pembelajaran selalu didasari pada asas fungsional, realistis, dan manfaat. Tidak perlu mengada-ada, tetapi memfungsikan dengan optimal yang telah ada.
Tidak melulu belajar dengan memiliki sarana dan prasarana yang begitu lengkap, melainkan dengan sarana dan prasarana yang ada saja. Juga memiliki kemauan yang kuat untuk belajar. itulah hakikat seorang pembelajar.
Kedua, Tidak Menggurui. Fungsi guru lebih sebagai penggerak, fasilitator, agar potensi, kreasi yang ingin belajar dapat berkembang dengan optimal. Selain itu, seorang guru siapapun harus mengedepankan sikap rendah hati, tidak menggurui, melainkan mengedukasi. Edukasi adalah nilai yang harus dipahami oleh seorang guru.
Ketiga, Siswa sebagai Subjek. Artinya, bagaimana seorang guru mampu menempatkan yang sedang belajar/murid sebagai subjek yang paling berkepentingan untuk belajar dan tetap belajar. Siswa pun harus diberikan ruang agar dapat mengekspresikan imajinasinya, bereksplorasi terhadap ide-idenya, dan mengenali potensinya. Tidak ketinggalan termasuk dalam menggali nilai-nilai moralitas-etis, dan nilai universalitas kehidupan. Pada akhirnya, mereka dapat menemukan sendiri mengenai makna “kehidupan”.
Keempat, Belajar untuk Berkarya. Belajar berupaya memenuhi keinginan dan kebutuhan, serta upaya untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. Dikatakan berprestasi, ketika murid berhasil menemukan jawaban atas persoalan dalam realitas kehidupannya. Lalu diekspresikan melalui tindakan “karya nyata”.
Bentuk karya nyata dapat melalui formal/akademis sekolah, atau yang nonformal. Seperti keahlian/prestasi lomba membaca puisi, menulis, maupun kegiatan lainnya diluar akademik formal.
Kelima, Punya Evaluasi/Rapor. Selain memang dalam pendidikan formal memiliki rapor pendidikan selama murid belajar, namun rapor evaluasi ini perlu dimaknai secara luas, yakni dapat dilakukan di pendidikan diluar sekolah/formal. Dengan mengvaluasi diri, akan timbul kesadaran apa yang harus dilakukan, selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas dirinya.
Keenam, Tidak Ada Anak Bodoh. Vonis bodoh atau pintar pada anak akan berdampak pada perkembangan psikologi mereka. Hal ini kemudian menimbulkan dikotomi Pendidikan. Harus dipahami bahwa masing-masing orang memiliki potensi dan kecerdasan yang berbeda.
Ketujuh, Membebaskan. Kebebasan adalah kebutuhan manusia yang paling asasi. Pembelajaran merupakan proses pembebasan dari suasana yang membebani, membelenggu pikiran, dan menakutkan. Kebebasan yang dibingkai ini adalah nilai-nilai positif-universal, sehingga melahirkan murid yang kritis, cerdas, dan sejatinya memiliki kearifan sejak dalam berpikir dan bertindak.
Kedelapan, Menemukan Jati diri dan membangun kemandirian. Proses pembalajaran mengantarkan murid untuk menemukan jati diri, dan menumbuhkan sikap kemandiriannya dalam segala hal, maka fungsi guru adalah pendampingan. Agar potensi murid berkembang dengan wajar dan maksimal. Ketika memiliki kemandirian, akan menjadi kekuatan yang tangguh dalam mewujudkan masyarakat yang berdaya.
Pendidikan yang Memanusiakan
Lebih jauh, proses pembelajaran harus memiliki spirit dan nilai berkreasi, berprestasi, dan berkaya. Artinya, kegiatan belajar-mengajar menjadi keharusan yang berkelanjutan, tiada henti memberi dan membangun peradaban melalui pendidikan.
Dengan pendidikan, tidak dapat dimungkiri dapat berinteraksi sebagai makhluk sosial; dengan beragam latarbelakang, agama, suku, ras, dan memahami bahwa diatas langit masih ada langit.
Akhir kalam, dengan pendidikan dapat bertahan hidup secara manusiawi, sebuah pengalaman menjadi pelajaran, dan menjadi madrasah; menyadarkan yang dulu sebagai “calon manusia” menjadi “manusia sejati” di masa depan.
Semoga pendidikan menjadi pendidikan untuk semua, termasuk untuk masyarakat yang tingkat perekonomiannya rendah untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama, bukan untuk orang yang punya (kaya) saja. Pendidikan wajib hadir dan menyinari nilainya untuk semesta.
Sumber Referensi:
Arif, Mukhrizal, dkk. 2014. Pendidikan Pos Modernisme; Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
*Ketua Koordinator Divisi Pengembangan (2018-2019) LSO Korps Instruktur Cabang IMM Jakarta Selatan, Penulis buku Sukma Intelektualisme (2019)