Perspektif

Fenomena Plagiarisme dan Potret Literasi Kita

3 Mins read

Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila*

Fenomena plagiat dalam dunia pendidikan tinggi mulai menyeruak ke permukaan. Persoalan plagiat merupakan bentuk nyata dari gagalnya seorang plagiator memahami esensi pendidikan. Dalam banyak kasus misalnya, plagiarisme merujuk pada sikap hilangnya kesadaran memahami pendidikan sekaligus rendahnya moral plagiator dalam memahami hak cipta orang lain.

Kondisi Pendidikan Kita

Kondisi seperti ini tidak saja mempertegas bahwa potret pendidikan yang salah kaprah namun lebih jauh merupakan gambaran nyata bahwa plagiarisme justru mengkerdilkan esensi pendidikan. Hal ini berbarengan dengan sikap instan plagiator di satu sisi mudah mendapatkan pengetahuan dari hasil pemikiran orang lain. Sementara di sisi lain menunjukan derajat kemalasan berpikir seorang plagiator. Di sana sebetulnya pendidikan telah direduksi dan kehilangan makna ditengah upaya kita membangkitkan pendidikan Indonesia.

Kecenderungan yang hampir pasti tidak pernah absen dalam lingkungan pendidikan ialah orang menginginkan sesuatu dengan cepat dan mudah. Sementara ruang pendidikan sebagai media yang menjaring dan membentuk manusia untuk berpikir kehilangan ranah ketika diperhadapkan didepan mentalitas seorang plagiator.

Pendidikan telah melahirkan wajah kusam, penuh bobrok, dan membentuk manusia yang malas berpikir karena dengan mudah melakukan upaya plagiarisme. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan yang kita tanamkan belum cukup matang, jika tidak mengatakan belum memahami secara utuh esensi pendidikan.

Harus diakui pendidikan dalam kondisi seperti ini telah menghadirkan suatu kecacatan akibat sikap instan seorang plagiator. Anehnya plagiarisme itu dilakukan dalam rangka mencapai gelar akademik (S1, S2 dan S3) yang secara khusus telah menyangkal gelar akademik tersebut. Ini perlu dilihat tidak sekadar bahwa plagiator mudah mendapatkan pengetahuan melalui kerja plagiarismenya, namun secara nyata lebih menggambarkan keburukan wajah pendidikan itu sendiri.

Baca Juga  Kisah Air yang Tak Seelok Dahulu

Alih-alih pendidikan menciptakan ruang berpikir namun seketika kolaps dihadapan plagiator.

Memerangi Plagiarisme

Plagiarisme pada dasarnya merupakan ilusi pengetahuan dari plagiator terhadap karya orang lain. Ilusi pengetahuan di samping menimbulkan keburukan dari plagiator, di satu sisi menunjukan lemahnya sikap berpikir. Kurangnya pemahaman serta di dukung dengan literasi yang rendah sangat besar kemungkinan seseorang terlibat dalam sikap plagiator.

Literasi sebagai ujung tombak dalam pendidikan justru kian terdepak dari pusat pendidikan karena seorang plagiator telah menemukan cara termudah, yaitu melalui upaya plagiat. Di sana sebetulnya literasi yang kian didengungkan di ruang pendidikan sama sekali tidak termanifestasikan dalam ruang di mana seharusnya literasi perlu dikembangkan.

Kurangnya kesadaran dan miskinnya literasi dalam lingkungan keluarga, masyarakat, komunitas dan sekolah menyebabkan orang mudah menerima dan melakukan upaya plagiarisme sebagai bentuk sikap untuk memudahkan jalan menuju pada keinginan mendapatkan gelar akademik. Sebetulnya logika pendidikan yang bersumbu pada ruang belajar telah disangkal dengan logika bahwa pendidikan bertujuan mendapatkan gelar.

Sehingga dengan menguatnya logika semacam ini, plagiator mudah melakukan upaya plagiat tanpa rasa bersalah. Justru inilah potret pendidikan yang salah kaprah yang pada gilirannya orang mudah melakukan plagiat.

Lantas, apakah pendidikan kita betul-betul mengedepankan aspek belajar? Bagi saya, di sana pendidikan telah menghadirkan kesesatan berpikir yang merusak nilai pendidikan dan esensi pendidikan. Kemerdekaan pendidikan sebagai jargon utama dalam ranah pendidikan seketika berantakan ditengah kesadaran kita untuk memerangi praktik plagiat.

Tanggung Jawab Bersama

Menyeruaknya kasus plagiarisme dalam lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia menunjukan suatu bentuk keburukan terhadap wajah pengembangan pendidikan. Pendidikan sebagai nafas perubahan akhirnya terjerembab dalam logika plagiarisme, di satu sisi sebagai akibat pemahaman akan pendidikan yang salah kaprah. Di sisi yang lain bentuk nyata kurangnya tanggung jawab dalam mengembangkan pendidikan sebagai basis utama bagi terwujudnya perubahan.

Baca Juga  Networking Sekolah Muhammadiyah Harus Ditopang dengan Manajemen Kepemimpinan Handal

Di sana sebetulnya plagiarisme tidak saja mengingkari esensi pendidikan namun berupaya menyangkal esensi tersebut. Hal ini menjadi tantangan bagi pendidikan kita kedepan jika plagiarisme tidak disikapi secara serius.

Untuk itu tanggung jawab pendidikan dalam rangka mengurangi plagiarisme harus dimulai dari pemahaman bahwa pendidikan dimulai dengan sikap terbuka. Pendidikan sebagai ruang yang mempertemukan beragam ide harus hadir dalam kerangka bahwa pendidikan harus bersumbu pada sikap berpikir.

Sebagai sebuah media berpikir, orang mesti menyadari bahwa ruang pendidikan tidak boleh hadir sebagai tujuan mendapatkan gelar akademik. Bentuk dan cara berpikir demikian mempertegas bahwa pendidikan hanya akan melahirkan lebih banyak plagiator baru yang siap merusak nilai pendidikan.

Di satu sisi pemahaman yang bersumbu pada mendapatkan gelar akademik akan menciptakan orang-orang yang malas berpikir. Kemalasan berpikir merupakan bentuk lain dari upaya untuk menyangkal esensi pendidikan. Cara pandang seperti ini harus diperangi bahkan bila perlu dipatahkan, karena akan melahirkan pendidikan yang egois dan salah kaprah. Namun pendidikan harus berkiblat pada pemenuhan bahwa orang-orang yang berada dalam ruang pendidikan punya tanggung jawab merawat esensi pendidikan, yaitu bagaimana mengedepankan aspek keberagaman ide.

***

Persoalan yang sudah akut di Indonesia terutama dalam pendidikan ialah memahami keberagaman ide sebagai sebuah kesalahan. Namun justru tujuan pendidikan ialah ingin agar perbedaan ide dan ruang dialektika harus diciptakan. Sehingga orang akan mudah berpikir dan sikap plagiarisme dapat dihindari.

Potret pendidikan dengan corak pemikiran seperti ini akan mewarnai pendidikan sebagai sebuah ruang yang membaharukan sebuah pencapaian kearah kemajuan bangsa. Untuk itu, tanggung jawab dalam merumuskan pendidikan yang humanis dan dengan cita-cita kearah perubahan harus dimulai dengan keyakinan bahwa pendidikan ialah soal bagaimana kita harus berpikir dan melahirkan lebih banyak ide dan gagasan.

Baca Juga  Toxic Positivity: “Obat Penenang” Agama yang Sering Disalahgunakan

Pada akhirnya, menguatnya praktik plagiarisme merupakan bentuk nyata dari lemahnya literasi yang kita bangun dalam diri. Alih-alih literasi perlu dikembangkan, namun kita malah meminggirkan literasi karena didorong dengan sikap plagiarisme yang lebih mudah dan cepat mendapatkan pemikiran baru. Di sinilah kita harus memahami bahwa literasi harus dikembangkan dan digalakan dalam rangka mengurangi praktik plagiarisme.

*) Mahasiswa Prodi Administrasi Publik di Universitas Merdeka Malang. Saat ini aktif sebagai kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Malang–Komisariat Merdeka. Inisiator Komunitas Payung Literasi (Kopalter).

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds