Dalam praktiknya, pernikahan sering diartikan sebagai sebuah proses akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan untuk berhubungan badan. Hal ini memang sesuai dengan ajaran Islam yang melihat manusia sebagai makhluk biologis yang memiliki hasrat yang perlu disalurkan.
Untuk menyalurkan hasratnya tersebut, Islam memberikan jalan legal/halal yaitu dengan adanya akad pernikahan. Bahkan Islam dengan keras melarang perzinaan, yaitu hubungan seksual di luar atau tanpa akad pernikahan. Pernikahan juga merupakan bentuk realisasi salah satu maqasid syariah yaitu hifdzu an nasl atau menjaga keturunan.
Namun ada tahapan yang juga tidak kalah penting yang harus di perhatikan sebelum melangsungkan pernikahan, yaitu proses mencari pasangan. Banyak pasangan yang melakukan pernikahan hanya pada sebatas suka tanpa tau terlebih dahulu pasangan nya seperti apa.
Padahal Islam juga memperhatikan hal ini. Karena sesungguhnya pernikahan bukan hanya sebatas berhubungan badan, namun lebih dari itu. Prof Khoiruddin Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Pernikahan I menyampaikan bahwa tujuan utama pernikahan adalah untuk memperoleh kehidupan yang tenang ( سكينة ), cinta (مودة ), dan kasih sayang ( رحمة).
Proses dimana suami dan istri bekerjasama membangun keluarga lalu menghasilkan keturuan penerus bangsa yang dapat merubah masa depan menjadi lebih baik. Hal ini akan tercapai jika suami dan istri kompak dalam menjalankan perannya masing-masing dalam sebuah orgaisasi kecil yang bernama keluarga.
Kekompakkan tidak akan terbentuk sebelum masing-masing dari mereka mengenal pasangannya, memahami, meghargai, kemudian menerima dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Maka dari itu, proses mencari pasangan seumur hidup ini sangat penting guna keberlangsungan pernikahan. Salah satu permasalahan mencari pasangan adalah masalah kafa’ah atau lebih dikenal masyarakat umum dengan istilah se-kufu’.
Pengertian kafa’ah menurut bahasa artinya setara, sepadan, serasi atau seimbang, sederajat atau sebanding. Sedangkan pengertian menurut Abdul Rahman Ghazaly dalam bukunya yang berjudul Fiqh Muakahat ialah keseimbangan dan keserasian antara calon suami dan istri sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.
***
Sedangkan Asy-Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh as-Sunah mengatakan bahwa calon suami dan calo istri sebanding, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam tingkat kekayaan. Konsep kafa’ah tidak diatur secara rinci dalam Al-Qur’an.
Namun terdapat hadis-hadis Nabi yang menyinggung akan hal ini, dan ulama fiqih memasukan ini kepada kajian-kajian atau pembahasan yang berhubungan dengan pernikahan atau fiqih munakahat.
Para imam fiqih empat mazhab juga sepakat bahwa kafa’ah bukan merupakan syarat sah perkawinan. Tapi hanya merupakan syarat lazim atau ideal. Menurut mereka, ketidak-kufu’an calon suami dan calon isteri tidak menjadikan penghalang kelangsungan perkawinan tersebut.
Dalam skripsi Musafaq yang berjudul “Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan (Studi Pemikiran Mazhab Hanafi)” (2010), ia meyampaikan bahwa konsep kafa’ah berawal dari Irak khususnya Kufah tempat dimana Imam Abu Haifah hidup. Konsep ini muncul karena kekosmopolitan dan kekomplekan masalah serta keadaan masyarakat yang hidup kala itu.
Kompleksitas muncul sebagai akibat dari urbaniasi yang melahirkan percampuran sejumlah etnik; Arab dengan non-Arab di Irak kala itu. Lebih jauh ia megatakan bahwasanya konsep kafa’ah telah ada sebelum islam. Namun Abu Hanifah menjadikan konsep kafa’ah ini sebagai konsep hukum (legal dinction).
Mazhab Hanafi menetapkan lima kriteria kafa’ah diataranya adalah agama, keturunan/nasab, kekayaan, kemerdekaan atau budak dan pekerjaan. Sedangkan masyarakat Jawa lebih familiar dengan istilah 3B; Bobot, Bibit dan Bebet yang masing-masing memiliki makna kualitas diri (baik lahir maupun batin), asal usul atau garis keturunan dan bebet yang memiliki asal kata bebedan atau cara berpakaian.
Masing-masing dari tiga ini memiliki nilai filosofis masing-masing. Dimana masyarakat jawa kuno identik dengan istilah singkat namun memiliki nilai filosofis yang mendalam.
Pada era milenial seperti sekarang ini, di mana masalah-masalah baru, muncul dan lebih kompleks, konsep kafa’ah yang di usung oleh mazhab Hanafi dan istilah jawa yaitu 3B (Bobot, Bibit, dan Bebet) masih tetap relevan.
***
Karena konsep di atas jika dilihat lebih mendalam, adalah konsep yang paling mendasari masalah-masalah yang bermunculan di era milenial saat ini. Misalnya, keadaan di mana banyak orang berilmu namun minim akhlak atau adab, berilmu tapi tidak bermoral, agama adalah solusi terbaik untuk menangani masalah ini.
Wali/ayah dari seorang perempuan tidak akan rela jika anak perempuannya menikah dengan seorang laki-laki yang buruk tata krama dan budi pekertinya. Maka yang paling dilihat dari laki-laki yang ingin menikahi anaknya ini adalah seberapa baik agamanya.
Lalu kemudian masalah pekerjaan misalnya, tidak jarang seorang laki-laki yang melamar akan diajukan pertanyaan mengenai pekerjaan. Dalam hal ini wali lebih melihat kepada kasanggupan dan kemampuan laki-laki tersebut untuk menafkahi istrinya kelak.
Meskipun masih ada yang relevan, namun tidak semua konsep tersebut dapat diterapkan dizaman milenial yang faham akan konsep keadilan HAM seperti sekarang ini. Misalnya saja keturunan yang masih memandang kasta; dari keturunan A tidak boleh menikah dengan si B karena dari keturunan rendah.
Jika tetap ngotot dengan tradisi seperti ini, dikhawatirkan akan sulit mendapatkan jodoh. Maka dari itu dilihat dari kenteksnya ada beberapa kriteria kafa’ah yang tidak harus dipaksa direalisasikan di zaman seperti ini.
Selain konsep di atas, jika melihat konteks kekinian kafa’ah juga bisa diterapkan dalam beberapa faktor, misalnya yaitu pendidikan, kesehatan, atau kedewasaan. Di zaman yang perkembangannya begitu pesat seperti sekarang ini, pendidikan menjadi salah satu fokus urgen di hampir setiap negara.
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang baik dari pemerintah yang berwenang. Di Indonesia, bahkan menerapkan wajib belajar 12 tahun. Hal ini setidaknya menjadi tolak ukur masyarakat di mana orang yang pendidikannya tinggi ialah orang yang memiliki wawasan atau pengalaman yang luas.
***
Jika seorang perempuan lulusan S2 menikah dengan seorang laki-laki lulusan SLTP (SMP/MTS) misalnya, akan terlihat jelas adanya ketimpangan atau ketidak-setaraan dalam kacamata masyarakat umum. Jika dilihat lebih dalam, yang berhak menentukan kafa’ah atau se-kufu’ atau tidaknya adalah wali atau dari pihak perempuan.
Jika permisalan-permisalan di atas di balik, di mana laki-laki yang lulusan S2 menikahi perempuan yang lulusan SLTP, ketidak-setaraan atau ketimpangan tersebut tidak akan begitu dipermasalahkan, terutama dalam kacamata masyarakat umum.
Pada dasarnya tujuaan utama se-kufu’ atau kafa’ah itu sendiri adalah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah dan rohmah. Tidak sedikit, sebuah keluarga yang harmonis melahirkan generasi-generasi emas pengubah masa depan bangsa menjadi lebih baik.
Ulama fiqih-pun telah memberikan definisi serta kriteria-kriteria sebagai rujukan dalam memilih pasangan hidup. Karena mereka melihat masalah-masalah mendasar yang ada dalam keluarga. Namun dalam praktikya kembali lagi pada pihak yang bersagkutan.
Jika dianalogikan, analogi sederhananya adalah seperti kopi dalam gelas. Di mana kopi dan air adalah suami dan istri serta gelas sebagai wadah yaitu keluarga. Untuk menikmati kelezatan kopi tersebut, perpaduan antara kopi dan air harus setara, seimbang, sepadan. Jika salah satunya lebih dominan, maka kelezatan tersebut akan berkurang atau bahkan tidak akan terasa sama sekali. Maka dari itu permasalahan kafa’ah ini juga penting untuk diperhatikan.