Tajdida

Hisab Rukyat (2): Menuju Kesatuan Kalender Islam

3 Mins read

Perbincangan: Lahirnya Badan Hisab Rukyat

Hadirnya Badan Hisab dan Rukyat merupakan salah satu upaya untuk mempertemukan kalangan hisab dan rukyat. Langkah ini ditempuh oleh pemerintah dengan membentuk tim perumus yang terdiri lima orang, yaitu A. Wasit Aulawi, H. Zaini Ahmad Noeh, H. Saadoe’ddin Djambek, Susanto, dan Santoso Nitisastro.

Usaha ini kemudian ditindaklanjuti dengan Musyawarah Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama pada tanggal 5-6 Juli 1974 M/ 15-16 Jumadil akhir 1374 H. Pada pertemuan disepakati untuk dilakukan pertemuan-pertemuan rutin agar dialog bisa ditumbuhkan dengan prinsip keadilan, kesejajaran, saling mengakui eksistensi masing-masing, dan berkesinambungan.

Prinsip ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara yang menerapkan kebijakan Trilogi Kerukunan Umat Beragama, yakni (1) kerukunan intern umat beragama, (2) kerukunan antarumat beragama, dan (3) kerukuan antar umat beragama dengan pemerintah.

Harus diakui, wakil pemerintah yang banyak terlibat dalam proses dialog hisab rukyat tersebut adalah Wahyu Widiana. Dalam sebuah kesempatan Wahyu Widiana menyatakan proses dialog ini membutuhkan waktu panjang dan pengertian semua pihak.

Ia menyadari persoalan hisab rukyat bukan hanya masalah ilmu semata namun sudah berubah menjadi keyakinan yang sulit diubah. Karena itu, dialog perlu dilakukan secara berkesinambungan dengan memberi informasi kepada pendukung hisab dan rukyat tentang persoalan yang ada secara komprehensif sehingga, lanjutnya, jika masih terjadi perbedaan masyarakat sudah siap dan tidak menimbulkan konflik.

Dalam proses perbincangan ini masing-masing pihak melakukan introspeksi. Pendukung hisab  menyadari penentuan awal Ramadan dan Syawal merupakan kegiatan rutin keagamaan Islam yang tidak bisa ditawar-tawar.

Dalam hal ini ada sedikit persoalan yang tidak dibuat-buat, tetapi semata-mata karena pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi ciptaan manusia itu sendiri. Era sekarang, manusia beragama dihadapkan pada komputer yang bisa menghitung, memprediksi, sekaligus melihat (ru’yah) di layar monitor.

Baca Juga  Mempertanyakan Kembali Sikap Toleransi Kita
***

Apakah menghitung (hisab) dan sekaligus melihat (ru’yah) di layar monitor dianggap sah, seperti jika menghitung dan melihat awal bulan dengan mata telanjang ? Munculnya metode baru yang mungkin belum begitu biasa digunakan di dalam menghitung (menghisab) awal bulan Ramadan dan Syawal, merupakan salah satu tantangan baru yang juga menanti jawaban.

Sementara itu, pendukung rukyat juga menyadari dalam rangka meningkatkan kemampuan dan memperluas wawasan pemikiran melengkapi khazanah kepustakaan  dengan berbagai karya tulis para ulama dan pakar, baik bersifat klasik maupun kontemporer.

Selama ini, para ahli hisab dikalangan pengguna rukyat hanya berpegang pada kitab-kitab klasik. Tak jarang hasil perhitungannya berbeda jauh dengan kitab-kitab hisab kontemporer. Perbedaan itu kadang-kadang melebihi satu jam untuk menentukan saat ijtimak dan tiga derajat dalam menentukan tinggi hilal, seperti hasil perhitungan awal Syawal 1412, 1413, dan 1414 H. Karena itu, kehadiran literatur-literatur kontemporer memberikan pemahaman baru sekaligus membuka ruang dialog dengan pihak lain.

Perpaduan: Mewujudkan Kalender Islam Pemersatu

Kaitannya dengan persoalan hisab rukyat, berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh pengguna hisab, menunjukkan bahwa mayoritas responden berharap hisab dan rukyat dapat diintegrasikan dengan memperhatikan kemaslahatan objektif. Mengkaji persoalan penentuan awal bulan kamariah (Ramadan, Syawal, dan Zulhijah) secara terus-menerus untuk mencari titik temu dalam membangun kalender Islam pemersatu.

Begitu pula di kalangan pendukung rukyat berharap agar pola hubungan hisab dan rukyat saling mengisi dan mengambil model baru agar bisa dihasilkan produk penetapan awal bulan yang lebih memuaskan; dengan kata lain al-akhdu bi al-Jadid al-Aslah wa al-Muhafadzah ala al-Qadim as-Salih (meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud).

Moedji Raharto dalam artikelnya yang berjudul “Sumber Keragaman Penanggalan Islam” menyatakan bahwa dari segi metodologi keilmuan hisab dan rukyat menampilkan sesuatu yang sama dengan cara berbeda.

Baca Juga  Kalender Uhadi dan Kalender Tawlifi: Sebuah Pilihan Menuju Penyatuan

Keduanya ingin mengetahui adanya penampakan hilal. Menurutnya pula, rukyat tidak lain adalah metodologi observasi langsung, sedangkan hisab mencoba mengembangkan kemampuan akal melalui metode induksi dan deduksi untuk memahami realitas penampakan hilal yang telah diperoleh dari pengalaman rukyat.

Dalam konteks kebersamaan untuk pencarian bentuk perpaduan antara hisab dan rukyat pemerintah juga telah melakukan Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriah di Jakarta pada tanggal 17-19 Desember 2005 M /14-16 Zulkaidah 1426 H, menerbitkan buku yang berjudul Maqalat Hammah fi al-Hisab wa Ru’yat al-Hilal, dan melakukan pertemuan “Koordinasi untuk Kemitraan Umat dalam Penentuan Awal Ramadan dan Awal Syawal Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” pada tanggal 11–12 Agustus 2003 M/ 12–13 Jumadil Akhir 1424 H di Asrama Haji Yogyakarta.

***

Yusuf Kalla selaku wakil presiden saat itu juga ikut prihatin dan menggelar sepak bola ukhuwah antara pendukung hisab dan pendukung rukyat di Stadion Bung Karno Jakarta agar relasi dan ukhuwah antara keduanya dalam penetapan awal Ramadan dan Syawal dapat diupayakan.

Setelah sepak bola ukhuwah, Yusuf Kalla mengundang para pucuk pimpinan pendukung hisab dan rukyat ke Istana Wakil Presiden untuk mengkompromikan penentuan awal Syawal 1428 H/2007 M. Hasil pertemuan ini menyepakati perlu adanya pertemuan lanjutan yang difasilitasi oleh pemerintah.

Upaya tersebut tentunya merupakan kerja besar yang memerlukan keuletan, kesabaran, ketabahan, dan kesungguhan para elite bangsa dalam mewujudkan kalender Islam pemersatu. Meskipun hal tersebut terasa sulit, tetapi perlu dicoba dan dimulai sekarang. Dengan kata lain perlu mereduksi pertentangan dan membangun perpaduan.

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.

Editor: Yahya FR
Avatar
35 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *