Memperoleh Pengakuan dengan Menulis
Ciri fundamental dari manusia adalah hasrat untuk memperoleh pengakuan. Alasannya cukup sederhana, yakni agar dapat memperoleh keistimewaan dalam kehidupan masyarakat.
Umumnya cara seseorang untuk mencapai suatu pengakuan dilakukan dengan memperoleh kekuasaan. Dengan kekuasaan, siapa saja akan tunduk kepadanya. Tetapi, pada perkembangannya untuk mencapai pengakuan, banyak cara dapat digunakan. Salah satunya dengan menulis. Menulis kini bukan hanya bertujuan untuk menyebarkan suatu informasi, melainkan juga dipakai untuk meningkatkan eksistensi diri.
Hal itu tidak berlebihan. Sebab, masyarakat akan memandang seorang penulis sebagai manusia yang punya kapasitas intelektual. Di era yang serba canggih ini, semua bisa menjadi penulis dengan mudah. Begitu banyak fasilitas yang dapat dimanfaatkan agar menjadi penulis. Salah satunya dengan kemudahan membuat blog sendiri.
Jumlah Penulis yang Semakin Bertambah
Sehingga seiring berjalannya waktu, jumlah penulis semakin bertambah. Ibarat kata, mati satu tumbuh seribu.
Jadi, tidak heran ketika penulis kondang, Puthut EA, pernah mengatakan, “Jumlah penerbit buku sekarang tidak sebanding dengan kedatangan penulis yang terus meningkat.”
Namun, saya berpikir skeptis, apakah yang diucapkan oleh Puthut EA memang benar adanya? Saya rasa itu kurang tepat.
Lantaran, keberadaan penerbit buku sekarang ini semakin melesat keberadaannya. Memang untuk penerbit mayor bisa dikatakan tidak terlalu banyak. Tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa masih ada penerbit indie yang bisa menerbitkan buku.
Jumlah Penerbit Indie yang Kian Menjamur
Penerbit indie ini bisa dibilang menjadi saingan dari penerbit mayor. Lantaran, jumlah dari penerbit indie kian menjamur kehadirannya. Bahkan, keberadaan dari penerbit indie dapat menjadi ancaman bagi penerbit mayor, apabila penerbit mayor tidak dapat menciptakan inovasi baru.
Oleh karenanya, saya semakin tidak asing lagi melihat iklan penerbit indie berseliweran di media sosial, terutama di Facebook dan Instagram. Sepertinya, kedua media tersebut menjadi tempat yang nyaman untuk melakukan sebuah promosi baginya. Mengingat masyarakat banyak menggunakan aktivitas luangnya dengan membuka media sosial tersebut.
Dapat dihitung dalam satu bulan ini, saya sudah melihat 3 kali sponsor penerbit indie sering mempromosikan penerbitannya. Memang awal mulanya saya tidak menghiraukannya. Karena saya tidak tertarik. Hingga akhirnya, lambat laun muncul rasa penasaran saya mengenai penerbit indie yang terus terpampang di sponsor Instagram.
Untuk menjawab rasa penasaran yang mulai muncul, saya coba membuka sponsor tersebut. Setelah melihatnya, sepertinya saya mencium aroma kapitalis di dalam tubuh penerbit indie.
Sistem Kapitalis
Tanpa kita sadari, sistem kapitalis sudah tumbuh secara diam-diam pada diri penerbitan Indie dengan konsep yang sama, yakni siapa yang memiliki modal maka ia dapat melakukan apa saja.
Karena, dari ketiga penerbitan indie yang pernah saya kunjungi Instagram-nya, ketiganya mengatakan bahwa semua orang bisa menerbitkan buku hanya dengan membayar uang yang telah ditentukan harganya oleh masing-masing penerbit.
Pernyataan dari penerbit Indie membuat saya tergelitik dengan kalimat, “Semua orang bisa menerbitkan buku hanya dengan membayar uang.” Lantas, bagaimana regulasi penyeleksian untuk menghasilkan buku yang berkualitas?
Sebenarnya, saya bukan bermaksud hati ingin menghakimi penerbitan indie. Saya juga berterima kasih dengan adanya penerbit indie. Sebab, laju perbukuan Indonesia tidak menjadi macet.
Hanya saja saya menyesal. Karena elektabilitas dari kehadiran penerbit buku indie tidak mau memikirkan kualitas buku yang mumpuni untuk masyarakat luas. Ini terlihat dari sistem penyeleksian buku yang tidak jelas aturannya.
Memang penerbit indie juga melaksanakan tahapan pengoreksian naskah terlebih dahulu oleh tim editor. Namun, yang menjadi pertanyaan saya adalah, seberapa mampu seorang editor bisa mengubah tulisan yang buruk menjadi lebih baik lagi?
Mampukah Penerbit Indie Menghadirkan Bacaan yang Layak Bagi Masyarakat?
Tentu saja tidak semua penulis buku di penerbitan indie dapat dikatakan jelek. Persoalannya ialah jika ada seorang hanya asal-asalan menulis yang penting karyanya jadi dan terbit, kemudian buku itu diperjualbelikan kepada banyak orang.
Hal tersebut bisa saja menjadi bumerang untuk masyarakat Indonesia. Kita harus ingat kalau buku merupakan salah satu faktor pembentuk pemikiran orang. Apabila buku yang disajikan bagus bukan menjadi masalah, yang bermasalah saat isi bukunya buruk. Dengan begitu, akan mempengaruhi pola berpikir orang yang membacanya.
Belum lagi ketika seseorang mulai belajar untuk menyukai membaca buku. Kemudian, mereka salah memilih buku hasil terbitan yang asal menulis saja. Alhasil, orang yang mulai belajar untuk mencintai buku, menjadi berhenti membaca buku, karena ekspektasinya tentang buku tidak sesuai yang diharapkannya. Atau jangan-jangan itu menjadi salah satu faktor yang membuat Indonesia menjadi negara dengan tingkat membaca rendah.
Sekian, dan mari merenungkan kembali untuk membangun dunia literasi Indonesia yang lebih mumpuni. Agar generasi penerus bangsa dapat tumbuh dengan sumber literasi yang menyehatkan.
Editor: Rozy