Bisa dibilang saya merupakan “anak kemaren sore” di Maroko. Maklum saja, belum purna dua bulan saya menetap di negeri matahari terbenam ini, negara yang memberikan saya perspektif baru dalam memaknai sepak bola sebagai ajang olahraga.
Saya bukan pemain sepak bola. Bagi saya, sepak bola hanyalah jam pelajaran olahraga. Tidak lebih. Partisipasi saya dalam bermain sepak bola di masa aliyah saya, mungkin bisa dihitung jari. Tapi di Maroko, perspektif saya memandang sepak bola yang sekedar olahraga sepak, gocek, dan gol ini berubah perlahan.
Perspektif Orang Maroko tentang Sepakbola
Masyarakat Maroko sangatlah erat dengan sepak bola. Sepak bola seakan diletakkan di posisi keempat mengiringi Allah, al-Watan, al-Malik sebagai motto bernegara mereka. Kedekatan para maghribi dengan sepak bola bisa dibuktikan dengan café-café di pinggir jalan kota yang tak pernah sepi pengunjung.
Bahkan, sebuah riset yang saya temukan di reportase jurnalis Maroko, Mohammed Qoserras, menunjukkan bahwa 90% masyarakat Maroko menonton pagelaran sepak bola di café. Terlebih di hari ketika timnas Maroko berlaga, lumbung café penonton akan kembung karena banyaknya pengunjung berdatangan, para supporter mau tidak mau harus memiliki effort lebih untuk menonton pertandingan di café. Karena sejauh pengalaman saya nobar bola di salah satu café di sini, kamu harus datang minimal satu jam atau dua jam sebelum dimulainya pertandingan untuk mendapatkan kursi. Itu pun tersisa di posisi kursi yang menurut saya tidak terlalu nyaman karena berbagai alasan.
Bagi saya, kedatangan saya di Maroko yang juga bertepatan dengan diselenggarakannya Piala Dunia 2022 merupakan anugerah dan hiburan dari Tuhan untuk saya. Walaupun tidak secara langsung menonton di negara penyelenggara, tapi menyaksikan pertandingan negara peserta di negara tersebut merupakan sebuah pengalaman tersendiri. Bagaimana tidak? Piala Dunia merupakan event olahraga terbesar di dunia yang hanya diselenggarakan per-empat tahun sekali. Apalagi pencapaian yang Maroko raih di tahun ini sangatlah luar biasa. Per-kualifikasi semifinal Piala Dunia 2022, kesebelasan “Kuda Hitam” Piala Dunia 2022 ini belum pernah mengalami kekalahan atau bahkan kebobolan oleh pemain lawan sama sekali.
***
Terkualifikasinya timnas Maroko ke babak 16 besar yang sekaligus mengantongi gelar puncak klasmen grup merupakan pencapaian pertama kesebelasan Maroko semenjak absen 36 tahun dari babak 16 besar Piala Dunia FIFA. Kejutan yang diberikan Maroko tidak berhenti di fase grup saja, pada babak 16 besar Maroko berhasil membungkam tiki-taka Spanyol dan memenangkan laga via adu penalti dengan skor 3–0. Kemenangan tersebut membuat perhelatan Piala Dunia bukan hanya untuk negara benua Eropa dan Amerika Selatan, tapi juga untuk negara benua Afrika. Maroko seakan menjadi delegasi Afrika yang memperjuangkan “nama” Afrika di kancah internasional, karena sejauh ini, hanya ada 4 negara Afrika yang berhasil lolos ke perempatfinal; Kamerun (1990), Senegal (2002), Ghana (2010), dan Maroko (2022). Saat ini, bukan hanya harapan dan doa negara Afrika dan negara Arab, bahkan harapan dan doa kaum muslimin seantero dunia pun mengarah ke satu titik, Maroko.
Tak berhenti di sana, para penikmat sejarah seakan diajak déjà vu ketika melihat kemenangan yang diraih Maroko atas Spanyol dan Portugal di perhelatan maha besar ini. Kemenangan tersebut mengingatkan kita bagaimana dulu pasukan Umayyah yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair berhasil merebut wilayah Andalus (yang sekarang Spanyol dan Portugal) dari kekuasaan Dinasti Visigoth.
Kenangan indah tersebut membuat seluruh penjuru kota Fes pada sore pasca-kemenangan melawan Portugal berbahagia atas capaian sekaligus recap sejarah yang diraih oleh kesebelasan Maroko. Klakson kendaraan, tiupan trompet, yel-yel serta nyanyian berbahasa arab bersaut-sautan di jalanan satu sama lain sebagai bentuk selebrasi kemenangan timnas. Tak pandang umur dan status, dari anak-anak sampai lansia, dari pedagang pasar sampai pegawai kantoran pun ikut turun ke jalanan untuk merayakannya. Perayaan kemenangan ini tak hanya berlangsung selama beberapa menit setelah ditiupnya peluit panjang.
***
Berjam-jam warga Maroko berkonvoi memeriahkan sejarah sepak bola yang baru saja mereka raih, bahkan sampai langit maghrib menggelap. Bukan karena tidak lelah, tapi kebahagiaan yang mereka rasakan melebihi lelah yang mereka rasakan. Bagaimana tidak bahagia? Ini bukan hanya sejarah baru bagi Maroko, tapi juga bagi benua Afrika yang untuk pertama kalinya memiliki delegasi yang berhasil lolos menuju babak semifinal Piala Dunia FIFA.
Akan tetapi, perjuangan Singa Atlas belum berhenti di sini, pertemuan Maroko di babak semifinal akan jauh lebih berat karena lawannya adalah Prancis, peraih juara Piala Dunia 2018 lalu yang juga berhasil lepas dari kutukan “juara.” Terlepas dari kuat dan komplitnya formasi kesebelasan Prancis, pertemuan ini juga menjadi déjà vu bagi kedua belah pihak. Dalam sejarahnya, Umayyah pernah tiga kali berusaha melakukan pembebasan atas Prancis. Yang pertama, setelah berhasil membebaskan Andalus, pasukan Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair melanjutkan ekspansi ke tanah Prancis, namun setelah berhasil mengambil alih Septimania, khalifah Walid bin Abdul Malik memerintahkan Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair untuk menghentikan operasi militer serta menarik pasukan kembali ke Damaskus.
Usaha pembebasan kedua pun dilanjutkan oleh as-Samh, pasukan as-Samh melancarkan penyerangan ke Kerajaan Aquitaine, sebuah kerajaan di Barat Daya Prancis yang dipimpin oleh Raja Udo. Akan tetapi, operasi militer tersebut gagal karena kuatnya pasukan Aquitaine. Pasca kematian as-Samh, tongkat estafet pembebasan prancis diteruskan oleh al-Ghafiqi yang berhasil membungkam Kerajaan Aquitane dan kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan pasukan al-Ghafiqi juga berhasil memperluas kekuasaannya sampai ke salah satu kota paling penting di Prancis, Lyon.
***
Namun, berkembang luasnya kekuasaan Umayyah di Prancis membuat pemimpin kaum Frank, Karl Martel tidak bisa tinggal diam. Kaum Frank pun meminta bantuan militer dari Jerman untuk memperkuat pasukan dan melakukan perlawanan terhadap pasukan al-Ghafiqi. Peperangan antar dua kudu tersebut pun pecah dan menewaskan al-Ghafiqi, ketiadaan pemimpin pada saat itu memaksa pasukan Umayyah untuk mengalah dan harus menarik mundur pasukannya ke Septimania.
Alhasil, semua operasi pembebasan yang dilakukan Umayyah pada akhirnya belum pernah berhasil mencapai Prancis sepenuhnya. Namun, tongkat estafet pembebasan kali ini dibawa oleh Walid Regragui, seorang ahli strategi yang berhasil membawa “Kuda Hitam” mencetak sejarah dan menuju ke semifinal piala dunia; tanpa kekalahan dan kebobolan oleh pemain lawan. Pertandingan besok bagi saya bukan hanya semata pertandingan semifinal, tapi juga kelak tercatatnya sejarah baru. Atau mungkin saja pertandingan ini juga bisa menjadi déjà vu bagi Maroko yang dulu pernah dijajah selama 44 tahun lamanya oleh Imperialis Prancis. Jadi, pertandingan besok sejarah baru atau déjà vu kolonialisme?
Editor: Yahya FR