Takdir Allah Swt, aku harus masuk penjara dalam salah satu episode kehidupanku. Di usia setengah abadku, tentu saja ini terasa sangat berat. Padahal perjalanan hidupku sebelumnya dimudahkan. Dalam segi karir, nyaris tak ada hambatan.
Di dunia pendidikan, karirku melonjak dari guru biasa menjadi kepala sekolah hanya dalam dua tahun pertama mengajar. Masuk dunia politik, aku terpilih menjadi anggota legislatif tingkat daerah pada periode kedua pencalonanku. Masuk dunia bisnis, aku langsung ditunjuk menjadi manajer marketing dan hanya dua tahun loncat menjadi direktur marketing sebuah perusahaan.
Saat menjadi direktur perusahaan milik temanku itulah yang mengantarku ke penjara. Perusahaan mengalami pailit dan namaku yang tercantum dalam akte notaris sebagai salah satu direksi dan pemegang saham, harus ikut bertanggung jawab ketika ada mitra perusahaan yang membawa kasus ini ke ranah hukum pidana. Aku dianggap bersalah. Aku dianggap turut serta dalam kejahatan korporasi dan divonis penjara satu tahun.
Hari pertama masuk di tahanan titipan Polres, proses tuntutannya membuatku shock. Betapa tidak, aku harus masuk ke dalam blok sel tahanan berukuran empat meter persegi bersama tujuh tahanan kriminal dan narkoba lainnya.
Penjara ini diperuntukkan bagi tahanan yang sedang dalam proses penuntutan kepolisian sebelum diserahkan ke kejaksaan untuk proses pengadilan. Maksimal enam puluh hari tahanan dititipkan di Polres ini. Ada lima blok di tahanan Polres ini dengan ukuran kurang lebih sama, jadi penghuninya kurang lebih 25-35 tahanan.
Berdakwah di Penjara
Namun hidup harus terus berjalan, tak ada gunanya menyesali nasib. Seminggu berada di tahanan ini, yang kulakukan hanya berinteraksi dengan sesama tahanan, salat, dan membaca Al-Qur’an. Sejak hari pertama masuk penjara, aku mengajak teman-teman sesama muslim untuk salat berjamaah. Alhamdulillah, mereka antusias menyambut dengan suka cita.
“Alhamdulillah, kita ada imamnya sekarang,” kata salah seorang tahanan. Tahanan yang non-muslim juga berlapang hati tempatnya digunakan untuk salat berjamaah. Kalau pintu blok sedang dibuka, biasanya antara jam 07.00 – 17.00, kami melaksanakan salat berjamaah di lorong penjara yang diikuti sebagian besar tahanan yang muslim dari semua blok.
Pada saat hari Jumat pagi, kutanyakan bagaimana selama ini tahanan melaksanakan salat Jumat? Ada yang menjawab mereka tidak salat Jumat dan ada yang menjawab salat dalam penjara mengikuti salat berjamaah di Masjid Polres yang terletak persis di sebelah timur penjara. Bagaimana mungkin jamaah salat berjamaah di depan Imam?
Kuajak teman-teman dalam blok penjaraku untuk salat Jumat di dalam penjara. Kutunjuk seseorang untuk menjadi muazin dan aku sendiri jadi Imam dan Khatibnya. Salat Jumat pertama hanya diikuti oleh sembilan orang tahanan. Kuangkat tema kutbah tentang kisah Nabi Yusuf yang harus masuk penjara dalam episode kehidupannya dan menjadi seorang Menteri Keuangan di Mesir. Tentu saja aku ingin mengangkat kepercayaan diri teman-teman di tahanan ini, agar tidak putus asa dengan berada di tempat ini.
Pada Jumat berikutnya, penjaga penjara berbaik hati untuk membuka blok pada waktu salat Jumat, sehingga kami bisa melaksanakan salat Jumat di lorong penjara diikuti oleh semua tahanan yang muslim. Alhamdulillah, salat Jumat diikuti oleh dua puluh lima orang jamaah. Selama dua bulan di penjara Polres ini, kami menyelenggarakan delapan kali salat Jumat berjamaah dan aku selalu jadi Imam dan Khatibnya.
Memuallafkan Non-Muslim
Aktivitas salat berjamaah di penjara ini, baik salat lima waktu maupun salat Jumat rupanya menarik perhatian seorang tahanan non-muslim keturunan China. Kami memanggilnya Koh Rudi (bukan nama sebenarnya) seorang tahanan yang masuk penjara karena kasus kekerasan terhadap anak. Siang itu Koh Rudi menemui saya,
“Ustaz, boleh saya konsultasi?”
“Oh, silakan, Koh!” sambutku dengan hangat.
“Ustaz, boleh nggak saya ikut salat?” tanyanya penuh harap.
“Koh Rudi agamanya apa?” tanyaku dengan gembira.
“Saya Nasrani, Ustaz. Bahkan baru sebulan sebelum masuk penjara ini, saya baru dibaptis,” jawabnya sedih.
“Terus Koh Rudi ingin salat, motivasinya apa?” selidikku lebih lanjut.
“Saya melihat teman-teman yang ikut salat itu kelihatan tenang. Wajahnya bercahaya,” jawabnya.
“OK, saya akan konsultasi dengan petugas. Koh Rudi sore ini mandi besar, maksud saya mandi keramas. Siramkan air ke seluruh tubuh. Nanti menjelang Maghrib kita ketemu di lorong,” perintahku tegas.
Aku menemui petugas jaga mengkonsultasikan tentang hal ini. Alhamdulillah, polisi jaganya muslim yang baik. Polisi jaga berkonsultasi dengan kepala tahanan Polres dan beliau akan datang ke tahanan sore ini. Setelah bertemu kepala tahanan, aku diizinkan melaksanakan pembacaan syahadat Koh Rudi di dalam penjara.
***
Alhamdulillah, suasana menjelang salat Maghrib di penjara Polres saat itu menjadi saat-saat yang mengharukan dengan proses masuk Islamnya Koh Rudi. Usai pembacaan syahadat, kuisi dengan tausiah untuk semua tahanan, khususnya Koh Rudi. Tausiah tentang proses hidayah Allah Swt dan bagaimana istikamah di dalam hidayah itu. Acara kemudian ditutup dengan salat Maghrib berjamaah.
Hari-hari selanjutnya Koh Rudi menjadi santri istimewaku. Aku harus mengajarkan ilmu tentang tata cara salat, bacaan salat, dan doa-doa praktis sehari-hari. Aku minta salah seorang tahanan yang memiliki latar belakang agama yang baik untuk mendampingi Koh Rudi belajar wudu, praktik salat, dan juga mengajarkan Iqro untuk dasar-dasar membaca Al-Qur’an.
Kejadian masuk Islamnya Koh Rudi rupanya menarik perhatian tahanan lainnya. Ada tiga orang tahanan non-muslim lainnya yang kemudian minta dituntun membaca syahadat, karena ingin ikut salat berjamaah. “Alhamdulillah Ya Allah, apakah untuk menghantarkan mereka ke gerbang hidayah-Mu, aku harus masuk penjara ini dalam episode kehidupanku, Ya Allah?” curahan hatiku di sepertiga malam yang terakhir.
Setelah dua bulan di tahanan Polres, aku dipindahkan ke tahanan Rutan. Di sini tahanan disebut dengan warga binaan. Di Rutan areanya lebih luas, ada masjid sebagai tempat pembinaan agama Islam. Ada sekitar 600 tahanan di Rutan ini yang dibagi menjadi empat blok. Blok A untuk tahanan wanita, blok B untuk tahanan yang masih proses persidangan, blok C untuk tahanan kriminal yang telah divonis dan blok D untuk tahanan narkoba.
Mengajar Al-Qur’an dan Tahsin
Di sini aku melanjutkan dakwahku dengan mengajar membaca Al-Qur’an di kelas Tahsin Al-Qur’an. Setiap pagi dan sore aku mengajar santri-santri istimewa dari warga binaan Rutan ini. Ada sekitar lima puluh orang yang menjadi tanggung jawabku.
Selain mengajar Al-Qur’an, aku berusaha memberikan bimbingan dan konsultasi buat warga binaan. Aku berusaha mendengar apa yang menjadi latar belakang dan harapan mereka selepas dari Rutan ini. Masyaallah, sangat mengasyikan ngobrol dengan warga binaan dari berbagai latar belakang.
Koh Rudi menyusul kemudian ke Rutan ini. Karena dia baru masuk Iqro Satu, maka dia belajar membaca Al-Qur’an pada pembimbing yang lain sesama warga binaan. Tapi aku berusaha ngobrol dengannya pada waktu-waktu menjelang atau sesudah salat. Di sini aku masukkan nilai-nilai akidah, ibadah, dan akhlak agar menjadi bekal dia dalam keislamannya.
Koh Rudi divonis penjara dua tahun dan penahanannya dipindahkan ke Lapas yang lain. Dia sempat menangis setelah vonis itu karena dia tidak merasa bersalah seperti yang dituduhkan. Aku kuatkan dengan kisah Nabi Yusuf yang juga masuk penjara karena fitnah seorang wanita. Saat dia berangkat pindah ke Lapas, saya memberikan kenang-kenangan baju koko dan sarung untuk melaksanakan ibadah di tempat yang baru.
Mutiara ada dimana-mana walaupun terbungkus dengan lumpur. Tugas para dai adalah membersihkan lumpurnya dan mutiara itu akan kembali bersinar. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari setiap episode kehidupan kita. Aamin.
Editor: Yahya FR