Menurut Dr. KH Ahsin Sakho Muhammad ilmu-ilmu Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian besar saja yaitu ilmu qiraat dan ilmu tafsir. Yang mana, ilmu qiraat berfungsi sebagai cara membaca (melafalkan) teks-teks Al-Qur’an. Sedangkan ilmu tafsir berfungsi dalam memahami isi kandungan teks Al-Qur’an.
Lain daripada itu, khususnya ilmu qiraat para ulama Al-Qur’an telah melakukan pemetaan terhadap qiraat yang tersebar di masyarakat dan sepakat membaginya menjadi dua bagian; qiraat yang sahih dan tidak sahih.
Sedangkan, Al-Qadhi Jalaluddin al-Bulqini membagi qiraat menjadi tiga bagian dari segi sanadnya yaitu: qiraat yang mutawatir, ahad, dan shadh. Qiraat mutawatir adalah qiraat sab’ah yang manshur.
Sedangkan qiraat ahad adalah qiraat yang tiga, yang merupakan pelengkap hingga menjadi qira’ah sepuluh dan termasuk dalam bagian qira’ah-nya para sahabat. Adapun qira’at shadhah adalah qira’ah-nya para tabiin, seperti al-A’masy, Yahya bin Witsab, Ibnu Jubair dan lainnya.
Selain itu qira’at shadhah disebut juga qiraat yang tidak memenuhi salah satu kriteria atau lebih dari tiga keabsahan qiraat yang ditetapkan oleh para ulama.
Dalam artikel ini, akan dijelaskan secara rinci bukan dari segi makna qira’at shadhah dan berbagai macamnnya, namun yang akan dibahas secara rinci di sini adalah berkenaan dengan pengaruhqira’at shadhah dalam tafsir terutama dari berbagai aliran tafsir baik dari aliran Suni, Muktazilah, maupun Syiah.
Pengaruh Qira’at Shadhah Terhadap Sebuah Penafsiran
Para ulama membagi tiga aspek pengaruh qira’at shadhah terhadap penafsiran Al-Qur’an yaitu:
Pertama, munculnya makna baru dalam qira’ah mutawatir disebabkan adanya qira’at shadhah.
Sebagai contoh dalam QS. Al-Baqarah: 204
وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِى قَلبِهِۙ وَهُوَ اَلَدُّ الخِصَامِ
Menurut qiraat sepuluh yang mutawatir semua sepakat membacanya (يُشْهِدُ اللهَ) yaitu dengan huruf ya’ dhammah يُ)) dan ha’ kasrah هِ)), dan dengan rofa’nya huruf da>l دُ)).
Fi’il ini diambil dari kata ashhada dan fa’il–nya adalah dhomir mustatir. Dengan demikian, makna ayat tersebut adalah bahwa orang munafik bersumpah dengan nama Allah atas kebenaran yang ada di dalam hatinya dalam mencintai agama Islam.
Kata syahadah dalam ayat ini berarti sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam QS. Al-Nur: 6.
Sedangkan, menurut qira’ah shadhah yang diriwayatkan oleh Imam Hasan dan Ibn Muhaisin kalimat Yushhidu (يُشْهِدُ) dibaca Yashhadu(يَشْهَدُ) , yaitu dengan bina ma’lum (kata kerja aktif).
Lafzu al-Jalalah dalam ayat ini dibaca ráfa’, karena menjadi fa’il. Sehingga maknanya berubah menjadi: Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati dia, yaitu kemunafikan. Meskipun itu tersembunyi di dalam hati dan kadang-kadang bisa tertupi oleh ucapan lisan.
Kedua, pengaruh di mana perlunya men-tarjih salah satu makna dari beberapa makna yang ada. Terutama yang memilki kesamaan atau mendekati makna yang terkandung dalam qiraat mutawatir.
Ketiga, memperjelas status tafsir dari sebagian ulama salaf yang dianggap oleh sebagian golongan lain sebagai qira’at shadhah.
Implementasi Qira’at Shadhah dalam Berbagai Aliran Tafsir
Aliran Tafsir Suni
Salah satu ulama tafsir Suni yang menggunakan qiraat dalam penafsirannya baik yang mutawatir maupun yang shadhah secara bersamaan dan bahkan ia menjadikan qira’at shadhah sebagai dasar penafsirannya terhadap Al-Qur’an, adalah Abu Hayyan al-Andalusi.
Hal tersebut ia sampaikan di dalammukadimah kitab tafsirnya bahwa “saya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an mengungkapkan qiraat baik yang mutawatir maupun shadh dan menyebutkan alasan-alasannya melalui tinjauan kebahasaan.”
Salah satu contoh penafsirannya ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 168 yang berbunyi:
وَّلَا تَتَّبِعُوا خُطُوٰتِ الشَّيطٰنِؕ اِنَّه لَـكُم عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Dari ayat tersebut Abu Hayyan menafsirkan lafaz} خُطُوَاتِ sesuai bacaan yang shadh yaitu Abu Samail yang membaca fathah Kha’ ((خَ dan ta’ ((طَ dengan waw ((وَ menjadi خَطَوَاتِ.
Selain itu Ali, Qatadah, dan A’masy membaca fathah Kha’ ) (خَdan tha) (طَ dengan hamzah خَطَؤَاتِ dari kata خَطَأَ, makna dari kata ini adalah kesalahan. Dari qiraat ini dapat ditafsirkan bahwa “jangan mengikuti ajakan setan yang senantiasa mengajak melakukan perbuatan salah”.
Qira’at shadhah di sini mempertegas penafsiran qiraat mutawatirah. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa pekerjaan setan selalu ingin menggoda manusia dengan kesenangan, dan kenikmatan yang sifatnya sementara.
Karena itu, manusia diperingatkan Allah jangan sampai mengikuti ajakan setan yang ingin menggelincirkan manusia dibalik kemewahan dan kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh setan.
Maka jelaslah bahwa langkah-langkah setan adalah ingin menarik manusia ke dalam tindakan salah yang dilakukan melalui tahapan-tahapan. Jika langkah pertama tidak berhasil, maka dilakukan langkah lain, demikian hingga seterusnya.
Aliran Tafsir Muktazilah
Salah satu qira’at shadhah yang di gunakan oleh aliran tafsir Muktazilah termaktub dalam karya besar salah satu tokohnya yaitu al-Zamakhshari dalam tafsir al-Kashshaf.
Contoh penafsirannya dalam Q.S al-Baqarah: ayat 226.
لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَّحمَةِ اللّٰهِ ؕ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ؕ
Dalam ayat ini al-Zamakhshari menyebutkan versi qiraat dari Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud pada lafaz{ يغفر الذنوب جميعًا dengan tambahan lafaz{ لمن يشاء sehingga ayat ini secara lengkap dibaca يغفر الذنوب جميعا لمن يشاء yang berarti “ampunan Allah akan diberikan kepada siapa saja yang ia kehendaki asalkan hamba tersebut bertobat. Karena sesungguhnya kehendak Allah senantiasa ada seiring sifat keadilannya dan bukan hanya kekuasaannya.”
Dalam versi qiraat lainnya al-Zamakhshari juga menyebutkan berkenaan dengan lafaz ini, yang merupakan qiraat yang disandarkan pada Nabi dan juga Fatimah ra.
Di mana, terdapat tambahan bacaan ولايبالي, sehingga secara lengkap ayat ini dibacaولايبالي يغفر الذنوب جميعًا yang berarti bahwa “Allah tidak akan peduli dan tidak takut terhadap semua yang telah ia lakukan, seperti dalam QS. al-Shams : 15″.
Dari ayat ini terlihat bagaimana al-Zamakhshari menggunakan qiraat dari sahabat Ibn ‘Abbas dan Ibn Mas’ud, juga qiraat yang disandarkan kepada nabi yang dinilai oleh para Ulama sebagai qira’at shadhah karena sanadnya tidak mutawatir juga karena ia tidak sesuai dengan rasm mushaf sebagai salah satu sumber penafsirannya untuk menerangkan ayat Al-Qur’an.
Aliran Tafsir Syiah
Salah satu yang menjadi implementasi dari penafsiran tafsir aliran Syiah ini adalah tentang nikah mut’ah. Adapun contohnya adalah sebagai berikut: Dalil ayat yang sering digunakan oleh aliran Syiah dalam melegitemasi penafsirannya tentang nikah mut’ah terdapat dalam surah al-Nisa’ ayat 24:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَاٰ تُوهُنَّ اُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً….
al-Tabataba’i menafsirkan bahwa yang di maksud dalam ayat tersebut adalah nikah mut’ah. Sedangkan kelompok Suni mengklaim bahwa Syiah menggunakan qira’ah shadhah dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas yang menambahkan kalimat إلى أجل مسمى (untuk batas tertentu).
Dengan qiraat ini, Syiah meyakini kebolehan nikah mut’ah. al-Tabataba’i juga menambahkan bahwa pada permulaan Islam, istilah nikah mut’ah dan istimta’ sudah dikenal luas.
Nikah mut’ah diperbolehkan secara mutlak dan tidak ada ayat yang me-nasah–nya. Bahkan ia mengklaim pendapat yang mengatakan bahwa dihilangkannya kemubahaan nikah mut’ah merupakan ta’wil tanpa disertai dengan dalil.
Namun di sisi lain, kelompok Suni mengharamkan nikah mut’ah secara mutlak berdasarkan QS. al-Mu’minun ayat 5-7, QS. Al-Talaq ayat 1 dan 4 dan QS. Al-Baqarah ayat 228, yang mengelaborasi hukum dalam QS. Al-Nisa’ ayat 24 tersebut.
Editor: Yahya FR