Oleh: MK Ridwan*
Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai perintis pendidikan di Indonesia, selalu mengingatkan kepada kita bahwa pendidikan jangan pernah dilepaskan dari kebudayaan. Artinya, pendidikan tidak mungkin dapat dipisahkan dari konteks kebudayaan atau lebih tepatnya realitas sosio-kultur suatu bangsa yang menjadi fondasi utama pendidikan.
Pendidikan menjadi sistem dalam penyerapan nilai-nilai kebudayaan yang baik bagi pembangunan peradaban manusia. Pendidikan menjadi produk dari kebudayaan manusia dan menjadi bagian dari kebudayaan itu sendiri. Melalui pendidikan akan terjadi transformasi yang menumbuhkembangkan karakter positif, serta mengubah watak dari tidak/kurang baik menjadi baik/lebih baik.
Pendidikan yang Menindas
Realitas yang terjadi saati ini, masih banyak proses pendidikan yang mengalami dehumanisasi dan dekontekstualisasi. Pendidikan justru difungsionalkan sebagai cara untuk membentuk manusia sebagai mesin-mesin bernyawa. Proses pendidikan menjadi naif, tidak menyentuh aspek terdalam kemanusiaan murid, yaitu akal budi dan spiritualitas.
Para murid dipaksa dan dijejali pengetahuan “asing” yang tidak berkaitan dengan kepentingan diri, lingkungan alam dan budaya, serta kebutuhan hidupnya sebagai manusia.
Kegiatan belajar mengajar yang masih kaku dan belum mampu membangun kondisi belajar yang kondusif, disebabkan karena proses pembelajaran yang bersifat stagnan dan cenderung hanya terpusat pada guru. Anak didik diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan siap diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak.
Jadi, guru adalah subjek aktif, sedangkan anak didik adalah objek pasif yang penurut, dan diperlakukan sekehendak pendidik. Mereka (anak didik) dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu”. Sistem pendidikan seperti ini merupakan realitas pendidikan yang menindas dengan menafikan hakikat kemanusiaan anak didik.
Inilah sosok guru yang melakukan tugasnya sebagai “tukang”, yang hanya akan menciptakan boneka-boneka baru dalam pendidikan, mematikan daya kreativitas anak didik. Jika proses ini terus terjadi, hanya akan menghilangkan sebagaian besar potensi anak didik.
Perubahan Cara Pandang
Usaha perbaikan menggunakan paradigma merupakan cara terbaik dalam mengatasi masalah pendidikan. Akar dari semua perilaku, tindakan, kebiasaan, dan karakter adalah pikiran.
Pikiran (mindset) menjadi alat penggerak perubahan dalam menentukan paradigma. Setelah itu pikiran akan memasuki wilayah emosi yang lebih dalam kemudian membentuk sebuah keyakinan (optimisme).
Keyakinan akan berkembang menjadi kemauan, dan secara bertahap, kemauan berubah menjadi tekad. Begitu menjadi tekad, pikiran akan memperoleh energi agar ia terwujud dalam kenyataan. Tekad menjalar ke dalam tubuh untuk menggerakkannya sehingga melahirkan tindakan.
Apabila tindakan tersebut dilakukan secara berulang-ulang akan membentuk sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan secara intensif dan berlangsung dalam waktu yang lama terbentuklah sebuah karakter. Jadi untuk mengubah keadaan individu maupun bangsa, hal paling fundamental yang harus diperbaiki adalah “pemikiran” (mindset).
Perubahan cara pandang merupakan hal terpenting dalam mengubah secara sistemik desain pendidikan. Perubahan itu adalah dari cara pandang keluar (outward looking) ke cara pandang ke dalam (inward looking). Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pendidikan harus bertolak dari kebutuhan, masalah, dan situasi kebangsaan.
Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia memiliki dua orientasi, yakni memahami diri sendiri (ke dalam) dan lingkungannya (keluar). Gerakan ke dalam, pendidikan harus memberikan wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan siapa dirinya sebagai “perwujudan khusus” dari alam. Proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan mengenali potensi diri. Aktualisasi dari kesadaran ini adalah lahirnya sikap percaya diri, daya tahan, dan daya saing dalam perjuangan hidup.
Sedangkan gerak ke luar, pendidikan harus memberikan wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, pengetahuan, dan perilaku bersama, melalui olah pikir, olah rasa dan olah karsa. Sehingga pendidikan menjadi wadah proses belajar mamanusiakan manusia dengan menjadikan peningkatan “integritas” (keutuhan) kemanusiaan.
Pendidikan Eksploratif dan Menyenangkan
Setiap anak didik memiliki kecenderungan senang bermain dan memiliki jiwa curiosity (keingintahuan)yang tinggi. Sehingga memungkinkan seorang anak ingin selalu mencoba sesuatu hal yang baru. Pendidikan sebagai instrumen dalam menemukan jati diri manusia, seharusnya memberikan kebebasan kepada anak didik untuk mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kehendak akal budinya.
Pembatasan-pembatasan yang dilakukan hanya akan mematikan daya kreativitas anak. Anak didik akan merasa tidak merdeka dan cenderung pasif. Oleh karena itu, cerminan pendidikan “taman siswa” mengharuskan integrasi antara lingkungan keluarga, keguruan, dan masyarakat. Integrasi tersebut harus berjalan saling berkelindan dan membentuk sebuah lingkaran yang saling menopang.
Sehingga lembaga pendidikan mampu difungsionalkan sebagai tempat bermain sekaligus tempat belajar. Peserta didik kemudian tidak akan bisa membedakan kapan dia belajar dan kapan dia bermain. Karena belajar dan bermain merupakan satu kesatuan organik yang utuh.
Melalui konsep ini, ungkapan-ungkapan orang tua ataupun guru kepada anak didik, seperti “kalau mau main, harus belajar dulu” adalah kalimat yang sebaiknya tidak digunakan. Karena melalui narasi tersebut, anak akan terbiasa dengan domain pembedaan, kapan dia belajar, kapan dia bermain. Pada tahapan selanjutnya, anak akan merasa jenuh belajar dan akhirnya lebih menyukai bermain. Inilah yang menyebabkan mengapa anak-anak cenderung malas untuk belajar.
Konsep-konsep sederhana seperti ini adalah sesuatu yang wajib diketahui oleh semua pendidik, baik guru maupun orang tua. Agar anak-anak didik memiliki budaya dan spirit belajar yang tinggi karena telah terintegrasikan sistem pembelajarannya dengan bermain secara edukatif.
Paradigma Pendidikan yang Membebaskan
Pendidikan yang membebaskan menjadikan manusia merdeka, kreatif-inovatif, dan humanis. Kemerdekaan manusia harus menjadi dasar dalam mengembangkan pribadi kuat dan sadar dalam suasana keseimbangan dan keselarasan dengan kehidupan bermasyarakat.
Paradigma pendidikan yang membebaskan menciptakan manusia yang sanggup mengembangkan olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. Olah pikir (cipta) berarti membuahkan pengetahuan, pendidikan dan filsafat. Olah rasa menghasilkan keindahan (seni), keluhuran batin (spirituality), budi pekerti, solidaritas sosial, nasionalisme, dan rasa keadilan. Olah karsa (kemauan) menimbulkan perbuatan dan kreativitas manusia seperti industri, pertanian, arsitektur, dan infrastruktur. Sedangkan olah raga menghasilkan kesehatan, ketahanan, dan ketangkasan.
Paradigma pendidikan pembebasan memberikan pelajaran berarti mendidik anak-anak menjadi manusia yang merdeka pikiran, batin, dan juga merdeka tenaganya. Anak didik akan mampu mendapatkan pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi keperluan lahir dan batin dalam kehidupan bersama.
Paradigma pendidikan pembebasan, berimplikasi pada pola pikir anak didik sebagai subjek pendidikan. Sehingga tercipta keseimbangan antara pemenuhan hak asasi dengan kewajiban asasi agar terwujud keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Upaya perbaikan pendidikan akan memiliki implikasi nyata terhadap kesejahteraan dan keadaban bangsa. Melalui paradigma ini memungkinkan kita dapat memberikan sumbangan resolusi terhadap permasalahan pendidikan.