Dalam era post-truth atau pasca kebenaran kapitalisasi media berkedok hoax, membawa kita harus selektif dan bijaksana. Menyikapi hoax yang menyesatkan, bahkan menjadikan indikasi-indikasi kepentingan paham maupun politik kepentingan yang berdampak pada informasi yang tidak relevan lagi.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah seharusnya sebagai pionir gerakan yang mampu menyangkal fenomena-fenomena hoax yang dapat menjerumuskan masyarakat. Peranan mahasiswa juga sangat dibutuhkan untuk memberikan pencerahan. Karena gerakan mahasiswa merupakan gerakan intelektual, bukan gerakan tanpa pemikiran.
Teknologi dalam perkembangan arus produksi, konsumsi, dan distribusi informasi, memegang peranan penting. Urgensi peranan teknologi dalam proses massifikasi informasi terjadi ketika hasil teknologi membantu mengubah pola komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu; menjadi pola komunikasi informasi tanpa batas alias menyeluruh.
Dengan demikian, pada dasarnya teknologi bersifat baik. Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perubahan dari media tradisional menjadi media massa inovatif. Media harus dimanfaatkan secara baik, bahkan perlu adanya edukasi menjadikan media mempererat persatuan dan kesatuan. Bukan memperkeruh kondisi bangsa melalui penyebaran informasi yang memecah persatuan.
Hoax, Senjata Sikut Lawan Politik
Kondisi kompetisi politik malah dijadikan sarana menjatuhkan rekan politik dengan menyewa atau memperkerjakan tim hoax yang diyakini tersebar di negeri ini. Tujuannya, untuk membangun narasi image yang baik dengan sistem karbit, dan menjatuhkan saingan politik.
Itu sering terjadi di Indonesia, sistem demokrasi yang amburadul menghilangkan nilai-nilai etika perpolitikan dengan cara terselubung, sarana yang digunakan yaitu hoax. Hoax dalam dunia perpolitikan sebagai senjata ampuh untuk menenggelamkan citra seseorang.
Narasi opini publik dibangun atas dasar konsep image yang digaungkan di lapak-lapak promosi media. Bahkan hampir setiap hari narasi itu muncul, massif, terkoordinasi, termanajemen, apik, dan menarik sehingga menambah percaya bagi yang terpengaruh.
Di sisi lain, lawan politik dihempaskan dengan kritik yang dibungkus dengan isu miring, dan dengan data yang konkret tetapi menipu. Hingga ahirnya terbangunlah opini publik, hingga lawan tersikut dalam situasi yang tidak normal. Hingga timbullah istilah melawan kotak kosong karena konspirasi.
Opini inilah yang seolah-olah benar, jauh dari fakta yang dikenal dengan post-truth atau pasca kebenaran. Memang opini yang dimainkan timbuh dan fakta yang ada menjadi kabur, tercitrakan sehingga timbul pencitraan. Masyarakat menjadi bingung sendiri dalam benaknya, dan mencari jalan pintas dalam memilih pilihan alias golput, potensinya seperti itu.
Konstruksi Pencitraan Media Digital
Dalam perkembangan masyarakat kapitalisme modern menurut Wuryanta (2017), menjelaskan bahwa komodifikasi digital mengembangkan proses rekonfigurasi masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat konsumen informasi.
Logika informasi telah berkembang dan mempengaruhi sikap konsumtif masyarakat. Ini berarti bahwa masyarakat tidak lagi membawa bentuk konsumsi informasi dalam bentuk nilai guna; atau utilitasnya tapi lebih banyak akan berkaitan dengan logika sosial dan gaya budaya baru yang semakin terisolasi dan teralienasi dari kebutuhan manusia yang sesungguhnya.
Selanjutnya, beliau menjelaskan logika digital dalam berbagai macam bentuk. Isi pesannya memang memperkaya khazanah kebudayaan kontemporer, tapi di lain pihak terjadi pemutarbalikan logika episteme yang dipunyai oleh masyarakat. Sistem produksi media digital telah membawa struktur produksi dan konsumsi (produser, marketer, iklan) mampu membentuk struktur konsumen, bukan sebaliknya.
Kemudian beliau menambahkan logika digital juga membawa pada situasi di mana terjadi “fetisisme komoditas informasi”; dalam arti bahwa informasi yang merupakan sesuatu yang abstrak dijadikan sumber interpretasi realitas yang bersifat konkret. Pencitraan yang dikonstruksi oleh media digital bisa dimanfaatkan untuk membentuk citra “sewenang-wenang” yang dilakukan oleh para pelaku media.
Hadirnya kapitalisme yang menjantungi media membuat masyarakat terobsesi terhadap sesuatu hal yang viral. Sehingga membentuk struktur konsumen yang bervisi terhadap komoditas yang non-primer menjadi sesuatu kebutuhan yang mengarah pada pola hidup boros.
Kapitalisasi Media dan Penggiringan Opini Publik
Dan media yang terkapitalisasi, juga terbentuk spiral yang mengarah pada penggiringan opini yang selayaknya fakta. Sehingga, media seolah-olah menjadikan yang benar menjadi abstrak dan opini menjadi rill. Itulah yang terjadi apabila media sudah tidak berfokus pada tujuan yang hakiki, justru malah menjadi ladang riba.
Komersialisasi informasi menempatkan informasi sebagai barang atau jasa yang mampu memberikan pemenuhan rasa ingin tahu masyarakat. Dalam kesempatan inilah oknum dalang kapitalisasi media semakin merajalela, hingga informasi yang ada justru semakin membawa masyarakat pada ketidakcerdasan.
Masyarakat sulit membedakan mana yang hakiki dan mana yang semu, memilah mana yang gosip dan mana yang fakta. Dalam perkembangan masyarakat kapitalisme modern, komodifikasi digital mengembangkan proses transformasi masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat konsumen informasi.
Logika informasi telah berkembang dan mempengaruhi sikap konsumtif masyarakat. Ini berarti bahwa masyarakat tidak lagi membawa bentuk konsumsi informasi dalam bentuk nilai guna atau utilitasnya. Tetapi, lebih banyak akan berkaitan dengan logika sosial dan gaya yang ujung-ujungnya unfaedah.
Editor: Zahra