Buku Perca-Perca Bahasa: Kumpulan Esai
Setelah Ivan Lanin, ada Holy Adib sebagai salah satu ahli linguistik mutakhir. Di pelbagai media, ia aktif menulis ihwal bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Perca-perca Bahasa: Kumpulan Esai merupakan bukunya yang memuat 31 artikel kebahasaan. Terbit di media massa pada 2019 dan 2020.
Buku ini memuat ragam persoalan berbahasa. Mulai dari bahasa dan berita, bahasa dan film, bahasa dan hukum, detail arti kata, diksi, pembentukan kata, serta hal lain dunia kebahasaan.
Fenomena salah kaprah berbahasa di ruang publik menghasilkan riset linguistik berdasar pada referensi-referensi yang begitu lumer. Pembaca disuguhi penjelasan deskriptif ihwal bagaimana suatu kata dan kalimat yang mesti ditulis dan disusun dengan baik.
Koran-koran memuat obituarium berkabar duka hampir setiap hari. Di judul, berita kematian menandakan status sosial. Judul merepresentasikan sosok sekaligus meneguhkan kedirian orang yang meninggal.
Kritik atas Penggunaan Kata Mangkat Gugur, dan Meninggal Dunia
Republika.co menulis obituarium sewaktu Raja Pagaruyung mangkat pada 1 Februari. Di judul tertulis, “Tanah Minangkabau Berduka, Raja Pagaruyung Meninggal Dunia”. Konteks penggunaan “Meninggal Dunia” secara etis-kebahasaan tak pantas disematkan pada seorang raja. Ada distingsi penghormatan antara raja dan masyarakat pada umumnya.
Mestinya, Mangkat lah yang pantasmenandakan kematian seorang raja, presiden, maupun pemimpin pemerintahan lainnya. Namun, kata Mangkat teramat sangat jarang digunakan. Mengingat yang meninggal merupakan sosok berpengaruh. Memiliki peranan sentral yang begitu signifikan dalam suatu entitas masyarakat.
Demikian juga yang terjadi pada konteks penggunaan kata Gugur. Ia terkhusus merujuk kematian seorang pahlawan. Orang yang menjalankan tugas mulia itu patut bersanding kata Gugur di judul obituariumnya. Orang terhormat yang kematiannya banyak yang merasa kehilangan harusnya menggunakan kata Mangkat (raja dan presiden) dan Gugur (pahlawan). Sedangkan meninggal, berpulang, dan tutup usia menggambarkan kematian tokoh secara umum.
Akan tetapi, masih banyak media yang salah kaprah dalam menulis judul suatu obituarium. Penulis menilik kesalahan penulisan serta detail penggunaannya itu. Pelbagai sumber primer dari media online maupun cetak dikumpulkan. Hingga tiba pada suatu kesimpulan, kebanyakan media yang baru merangkak lah yang masih tertatih-tatih menulis suatu judul berita.
Permasalahan Kebahasaan dalam Dunia Berita
Dari masalah penulisan obituarium beralih ke persoalan lain kebahasaan di dunia berita. Mulai dari persoalan penggunaan konjungsi, ihwal sintaksis, hingga kalimat aktif dan pasif. Kedua persoalan fundamental terkadang terabai begitu saja demi mengejar tenggat penerbitan. Akibatnya, media hanya sebatas mengejar hasrat pasar tanpa memedulikan kualitas konstruksi penulisan berita.
Dengan demikian, Holy Adib menyarankan agar media massa tak cukup hanya memperkerjakan seorang redaktur pelaksana saja, tetapi juga melibatkan peran redaktur bahasa sebagai kurator tulisan wartawan. Biar bagaimanapun, media menjadi basis terselenggaranya suatu kaidah berbahasa yang baik.
Relevansi Penggunaan Bahasa
Bahasa terus menyesuaikan diri dengan realitas zaman. Ihwal berbahasa di zaman kolonial tentu saja kontras dengan bahasa kekinian. Kekontrasan itu dapat dilihat dalam sebuah novel Bumi Manusia. Novel berlatar belakang Surabaya era kolonial itu lalu diangkat ke layar lebar (2019) oleh sutradara kawakan tanah air, Hanung Bramantyo.
Pelbagai kritik pun datang. Salah satunya perihal anakronisme bahasa yang digunakan. Ada dua kata yang sama sekali tidak sesuai dengan latar belakang zamannya, yaitu Anda dan Sih. Dua kata digunakan sebanyak sembilan kali, kata Anda sebanyak tujuh kali dan Sih dua kali. Dalam sebuah film, bahasa menjadi penanda identitas zaman.
Merujuk pada artikel “Bahasa Indonesia dalam Film dan Teater Modern ” (1979), Asrul Sani menyebut bahwa film merupakan bentuk kesenian yang paling terpaut pada zamannya. Baginya, tokoh-tokoh dalam film memiliki latar belakang dan lingkungan yang membentuk pribadi dan bahasanya (Hal-57). Dengan demikian, bahasa tokoh yang digunakan dalam film mestinya sesuai dengan yang termaktub dalam sebuah novel.
Penggunaan Bahasa di Bidang Hukum
Selain itu, Holy Adib juga menyoroti penggunaan bahasa di bidang hukum. Seperti istilah Mosi Tidak Percaya, Perpres Bahasa dan Pidato Resmi Presiden di Luar Negeri, dan Menganjurkan Abstain Menyebabkan Kehilangan Hak Memilih ? Dalam hal ini, penulis secara objektif meluruskan kesalahan-kesalahan berbahasa yang kerap kali terjadi di bidang hukum tersebut.
Lain lagi serapan arti kata dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Seperti arti kata Takjil, Galon, serta kata Radikal dan anakronisme maknanya. Peminjaman bahasa menurut Holy Adib harus pula meminjam bentuk sekaligus maknanya (Hal-88). Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan bentuk aslinya.
Begitulah sebagian besar buku ini membincang ihwal relevansi bahasa baik lisan maupun tulisan. Melalui buku ini, kita seolah disadarkan pada kaidah berbahasa yang baik dan benar.
Terlebih berusaha memancing kecintaan kita pada bahasa Indonesia. Karena mencintai bahasa sendiri dan berusaha mendalaminya merupakan anugerah paripurna yang mesti disyukuri.
Editor: Rozy