Apakah dinar dan dirham wajib digunakan di masa kini? Pasar Muamalah di Depok mendadak viral di media massa. Perbedaan pasar ini dengan yang lain adalah penggunaan dinar, dirham, dan fulus sebagai alat tukar. Berbeda dengan perdagangan pada umumnya  di Indonesia yang menggunakan uang rupiah sebagai alat tukar.
Pihak kelurahan mengaku sudah melaporkan kegiatan jual beli di sana kepada Pemkot Depok. Bank Indonesia menegaskan bahwa hanya mata uang rupiah yang diterima sebagai alat pembayaran yang sah. BI berlandaskan pada Pasal 23 B UUD 1945 ayat 1 dan 2 serta UU Mata Uang Pasal 21 ayat (1).
Menanggapi berita miring soal aktivitasnya, Zaim Saidi pendiri Pasar Muamalah merespon pemberitaan yang beredar. Menurutnya, transaksi yang terjadi di pasar muamalah tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Hal ini karena transaksi berlangsung secara sukarela antara penjual dan pembeli.
Zaim juga mengatakan bahwa dia tidak menggunakan mata uang asing, namun dia membolehkan barter atau memakai rupiah. Adapun yang viral di media sosial sebagai dinar dan dirham adalah koin emas dan perak. Zaim menyebutkan bahwa dinar dan dirham di sana bukan nama mata uang, melainkan ukuran untuk koin emas dan perak.
Saya tidak akan membahas mengenai apakah kegiatan pasar muamalah tersebut legal atau tidak secara hukum. Namun yang akan coba saya paparkan adalah mengenai asbabun nuzul atau alasan kenapa Pasar Muamalah tersebut ada. Hal ini tidak lepas dari tokoh penggagas aktivitas ini, yakni Zaim Saidi.
Siapakah Zaim Saidi?
Dilansir dari situs pribadinya, Zaim Saidi merupakan seorang intelektual sekaligus aktivis. Dia menamatkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (1986) dan Sydney University (1997). Selepas lulus S1, Zaim aktif di beberapa LSM seperti YLKI, Walhi, Dompet Dhuafa dan PIRAC. Zaim juga produktif dalam menulis kolom di media massa dan menerbitkan banyak buku.
Pasca krisis moneter tahun 1998, Zaim mulai menekuni isu terkait riba. Zaim kemudian mengkampanyekan penggunaan kembali dinar dan dirham dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Zaim mendirikan lembaga Wakala Nusantara sebagai distributor dinar dan dirham. Zaim juga menulis banyak buku terkait dengan riba dan ekonomi syariah. Buku yang cukup popular adalah Tidak syar’i-nya Bank Syariah yang terbit tahun 2013 oleh penerbit Delokomotif.
Apakah Dinar dan Dirham Wajib Digunakan?
Pasar Muamalah di Depok merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari keyakinan Zaim Saidi. Zaim meyakini bahwa uang kertas adalah riba. Maka dari itu, agar tidak riba, transaksi ekonomi harus kembali ke dinar dan dirham. Menurut Zaim, uang kertas mengandung dua riba sekaligus, yakni riba nasi’ah karena ada unsur penundaan dan riba fadhl karena unsur ketidaksetaraan nilai.
Pandangan ini bertentangan dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa uang kertas dapat mengambil posisi sebagai pengganti dinar dan dirham. Karena itu uang kertas pun dikenai zakat jika telah mencapai nishabnya.
Pandangan dan keyakinan Zaim Saidi menjadi salah satu khazanah kekayaan pemikiran ekonomi Islam. Namun ada konsekuensi yang cukup berat bahkan berbahaya dari pemikirannya. Dia mengatakan bahwa uang kertas adalah riba. Sementara hampir seluruh penduduk Indonesia bahkan dunia, termasuk Zaim sendiri masih menggunakan uang kertas. Artinya jika menyetujui pandangannya, maka kita semua adalah pelaku riba.
Masalahnya riba bukanlah dosa yang ringan. Rasulullah SAW mengumpamakan dosa riba seperti berzina dengan ibu sendiri. Artinya kita semua adalah pelaku kefasikan yang cukup fatal. Maka dari itu, saya termasuk yang tidak sepakat dengan pemikiran ekonomi syariah ala Zaim Saidi karena terlalu ekstrem. Terlebih jumhur ulama tidak mempermasalahkan penggunaan uang kertas bagi umat Islam.
Penjelasan Seputar Dinar dan Dirham
Jika ditinjau dari aspek keagamaan dan kesejarahan, dinar dan dirham memang disebutkan dalam Al Qur’an. Sebagian pihak menjadikan hal ini dalil bahwa dinar dan dirham adalah mata uang yang syar’i, selain dinar dan dirham tidak syar’i. Padahal, kalau kita menggunakan analisis ushul fiqh, penyebutan dinar dan dirham di Al-Qur’an tidak ada yang bermakna lil wujub, atau berimplikasi kepada kewajiban.
Jika ditelaah dari aspek kesejarahan pun dinar asalnya dari bangsa Romawi dan dirham dari Persia. Dinar dan dirham telah banyak digunakan oleh bangsa Arab pada saat Nabi Muhammad SAW hidup dan membawa risalah Islam. Penggunaan dinar dan dirham pada masa itu merupakan keumuman atau kelaziman pada zamannya, bukan bagian dari Risalah Islam.
Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa dinar dan dirham memiliki kelebihan, misalnya tahan inflasi. Kelebihan ini harus kita akui. Namun seiring dengan zaman yang terus berkembang, dimana transaksi ekonomi semakin banyak dan semakin cepat seiring perkembangan teknologi, sistem keuangan kita mau tidak mau harus berubah. Maka lahirlah uang kertas yang tidak diback up oleh komoditas dan uang digital berupa angka-angka di layar monitor.
Dari uraian di atas saya ingin menyampaikan beberapa kesimpulan: pertama, keyakinan dan aktivitas Zaim Saidi bahwa uang kertas riba dan dinar dirham adalah mata uang yang syar’i sah-sah saja dalam khazanah pemikiran Islam. Kedua, pemahaman tersebut perlu dikritisi karena berimplikasi pada fasiknya mayoritas penduduk dunia dan Indonesia. Di mana uang kertas sudah menjadi alat tukar umum yang digunakan masyarakat.
Ketiga, jumhur ulama membolehkan uang kertas sebagai alat tukar dan pembayaran. Keempat, dinar dan dirham memang mempunyai kelebihan dibanding dengan uang kertas. Mencoba menerapkan kembali dinar dirham di masa kini boleh saja. Namun hendaknya tidak dibarengi dengan keyakinan bahwa yang tidak menggunakan dinar dan dirham adalah pelaku riba.
Editor: Yahya FR