Fikih

Makanan Islami adalah yang Halal dan Tayib!

3 Mins read

Belakangan ini sedang ramai diperbincangkan terkait makanan islami dan tidak islami. Hal ini diawali dengan sebuah postingan yang menyebutkan bahwa klepon sebagai makanan yang tidak islami. Apakah benar jika dikatakan ada makanan yang tidak islami? Atau jika kita balik pertanyaannya, lalu apa kriteria dari makanan yang islami itu?

Halal dan Tayib

Islam sangat memperhatikan terkait persoalan makanan umatnya. Baik dari jenis makanan, cara mendapatkan, hingga bahan atau materialnya, pun juga meliputi tempat dan alat-alat yang digunakan. Hal ini disebabkan makanan yang masuk ke dalam tubuh akan menjadi nutrisi dan energi untuk beraktivitas.

Setiap makanan yang masuk akan diproses oleh organ tubuh menjadi darah dan daging. Karena itu, makanan yang masuk ke dalam tubuh sangat dianjurkan makanan yang halal dan tayib. Karena agar seluruh aktivitas yang lahir dari energi makanan itu membuat kita melakukan hal-hal yang baik pula.

Makanan yang halal dan tayib adalah makan yang tidak mengandung larangan syariat dan makanan yang sehat dikomsumsi tubuh. Kategori makanan yang halal adalah seluruh makanan yang ada dan bisa dimakan, selama tidak dilarang syariat.

Adapun makanan tayib adalah makanan yang halal, bergizi dan bermanfaat bagi tubuh untuk menunjang kesehatan dan kekuatan tubuh. Dalam kitab Fiqh Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq menyebutkan makanan yang tayib atau makanan yang baik itu mencakup hal-hal yang dianggap baik dan disukai oleh manusia.

Firman Allah Terkait Makanan

Terkait persoalan mengenai makanan, di antara firman Allah yang membahasnya adalah dalam surat al-Baqarah ayat 172-173:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ – إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Baca Juga  Thawaf Wada’ bagi Jemaah Haji Sebelum Keluar Tanah Haram

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam nas di atas jelaslah bahwa makanan yang diharamkan juga sekaligus mengisyaratkan makanan yang dihalalkan. Tetapi jika dalam keadaan darurat hukumnya dapat berubah, dalam artian juga memberikan alternatif hukum.

Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Tafsir Ayat Ahkam Minal Quran menyatakan bahwa ayat di atas memiliki lima kesimpulan, yakni:

  1. Orang-orang beriman diperbolehkan memakan makanan yang baik-baik selama didapat dari hasil melalui usaha yang diperbolehkan agama;
  2. Begitu banyak nikmat Allah yang sudah dilimpahkan, sehingga tidak lagi mudah dihitung. Untuk itu wajib bagi seorang beriman agar mensyukuri nikmat tersebut;
  3. Ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada Allah menjadi karakteristik orang mukmin yang benar keimanannya;
  4. Allah mengharamkan bagi hambaNya segala hal yang buruk dan mengahalalkan bagi mereka segala hal yang baik;
  5. Orang yang dalam kondisi terpaksa diperbolehkan memakan sesuatu yang diharamkan Allah, seperti bangkai dan lainya.

Pesan Rasulullah Terkait Makanan

Tak hanya itu, Rasulullah Muhammad juga berpesan dalam salah satu sabdanya mengenai persoalan makanan. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Baca Juga  Tau Diri itu Penting dalam Memahami Masalah Fikih

Artinya: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’

Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)

Makanan Islami?

Untuk memperkaya penjelasan dalam tulisan ini, kaidah usul fikih berikut bisa membantu pemahaman kita lebih dalam lagi. Kaidah tersebut berbunyi: اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ dan اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ.

Asal segala sesuatu adalah boleh dan hukum asal bermuamalah juga boleh, hingga ada dalil yang melarangnya. Artinya, dalam hal ini termasuk makanan, hukum asalnya boleh. Apalagi jika makanan dikategorikan jenis muamalah dalam keadaan tertentu, misalnya untuk dipasarkan atau dijual.

Dari dalil-dalil di atas dapat kita pahami bahwa setiap makanan sepanjang tidak ada dalil yang melarang, serta didapatkan dengan cara baik dan dibuat dengan bahan-bahan terbaik, yang tidak mengandung unsur-unsur yang membuatnya menjadi haram atau tidak baik. Maka makanan itu dapat disebut atau dikategorikan sebagai makanan islami.

Baca Juga  Dakwah Lewat Pencak Silat: Tapak Suci Panen Medali di Pon-XX Papua

Islami dalam hal ini artinya terpenuhinya semua unsur yang baik dan tidak dilarang oleh syariat berdasarkan dalil-dalil yang ada. Jadi, makanan Islami adalah makanan yang halal dan tayib. Karena tidak ada kotegori makanan islami dan makanan tidak Islami, kecuali berdasarkan dua hal tersebut.

Oleh sebab itu, marilah kita memahami hukum secara benar dan menyeluruh. Tidak ada salahnya kita juga membuka kitab-kitab fikih atau artikel ilmiah yang dapat dipercaya dalam menilai sesuatu terkait hukum, bahkan soal makanan sekalipun.

Dengan melakukan hal itu pula, kita dapat terhindar dari perbuatan dosa dan hal-hal yang dilarang syariat. Selain itu, kita juga dapat berhati-hati menentukan status hukum dan menghindari yang subhat dan haram. Karena jika tidak, maka akan berakibat fatal yang akan merugikan diri sendiri, merugikan orang lain, dan lebih-lebih merugikan agama Islam. Wallahua’lam bisshawwab.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Saya Megi Saputra Ketua Bidang Tabligh dan Kajian KeIslaman (TKK) IMM Cab. Sleman. Aktivitas saya selain itu adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *