Perdebatan publik tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) selama 3 (tiga) tahun terakhir, hangat diperbincangkan dan menjadi isu kontroversial. Tidak semata bicara pada aspek kerangka hukumnya, tapi sudah masuk ke ranah ideologis, sosiologis, kebudayaan, ranah agama, bahkan ke ranah sentimen populistik. Di tengah perdebatan itu, justru DPR RI mengambil langkah kontra-produktif, mengeluarkan RUU ini dari daftar Prolegnas.
Merujuk pemenuhan hak-hak warga negara, dalam Pancasila, maka rakyat berhak atas keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan sebagaimana termuat dalam Sila 3, 4, dan 5. Sedangkan dalam UUD 1945, termuat dalam hak atas kepastian hukum, pengakuan, jaminan, dan keadilan, Pasal 28 huruf (D), Pasal 27 ayat (1), dan hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan yakni Pasal 28. Serta hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan dalam Pasal 28 huruf (G) serta hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, Pasal 28 huruf (H) ayat (2).
Pada setiap zaman, kekerasan terhadap perempuan memunculkan kekhasannya sendiri-sendiri mengikuti kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang berlaku. Merujuk pada Rekomendasi Umum Nomor 19 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komite CEDAW) tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, menyatakan, “Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki”.
Rekomendasi Umum ini juga menegaskan tentang tindak kekerasan berbasis gender sebagai tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan atau memberi akibat pada perempuan secara tidak proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, atau ancaman, pemaksaan, dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya.
Usaha Pengentasan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Masih Stagnan
Dalam Deklarasi Wina tahun 1993 yang diadopsi negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), termasuk Indonesia, tentang peran negara yang harus dipenuhi pada warga negara. Yakni to promote (mempromosikan, menginformasikan, menyebarluaskan), to protect (melindungi), dan to fulfill (memenuhi) menjadi harapan pemenuhan hak asasi warga negara. Ketiga tanggung jawab tersebut secara rutin akan dipertanggungjawabkan negara dalam mekanisme internasional. Termasuk juga pertanggungjawaban pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Akan tetapi, merujuk pada data di samping, pencapaian SDGs Goal 5 terutama target satu mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak perempuan di mana saja, dan target dua, mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan pada ruang publik dan privat, termasuk perdagangan (trafficking), kekerasan seksual, dan bentuk eksploitasi lainnya, nampaknya bersifat stagnan.
Salah satu faktor stagnasinya Goals 5 karena Indonesia belum memiliki sistem hukum secara komprehensif bagi korban kekerasan seksual. Akibatnya, selama situasi pandemik korona saat ini, kedua target SDGs di atas semakin terabaikan. Sebagaimana angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang grafiknya mencapai 75% selama masa pandemik korona (BNPB Indonesia, 10/7/2020).
Korban Kekerasan terhadap Perempuan yang Semakin Meningkat
Tahun 2019, ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Data tersebut, bila dikaitkan dalam kurun waktu 12 tahun, meningkat sebanyak 792% atau hampir 800%. Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama ini meningkat hampir delapan kali lipat. Sejak tahun 2008-2018 kenaikannya terlihat konsisten, bahkan akhir tahun 2019 berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019, angkanya naik enam persen.
Di sisi lain, permohonan perlindungan korban kasus kekerasan seksual yang dimintakan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), jumlahnya naik signifikan, dari 373 tahun 2019 menjadi 501 korban pada 2020 (Kompas, 9/7/2020). Kasus-kasus di atas, merupakan kejadian nyata, adanya kekosongan hukum dan pentingnya perlindungan korban.
Salah Paham Seputar RUU P-KS
Selain itu, persoalan-persoalan di atas, banyak pula kesalahpahaman di tengah masyarakat yang menganggap bahwa RUU P-KS pro perzinaan atau seks bebas dan LGBT.
Bahkan RUU ini dianggap oleh mereka meniadakan pelanggaran norma-norma sosial Indonesia dan mendorong, misalnya, seks pranikah (walaupun berdasarkan kesepakatan kedua pihak) dan prostitusi. Menurut mereka, ada celah yang dibuat dengan sengaja agar penumpang gelap bisa masuk.
Namun, bagi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, sebagai organisasi keagamaan modern terbesar di Indonesia dan pernah mendapatkan dua penghargaan yakni terbaik implementasi MDGs dan organisasi perempuan keagamaan terbaik yang telah berkiprah dari Kementerian Dalam Negeri 2019, tentu juga memiliki peran strategis terkait perlindungan korban.
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah selain berkiprah mulai ranting (desa) hingga pusat (nasional), juga memiliki lembaga pendidikan, kesehatan, sosial – kemasyarakatan lainnya. Sehingga memiliki potensi besar untuk turut melindungi para korban kekerasan seksual dan upaya pencegahan.