Guru bangsa yang juga pendiri MAARIF Institute Prof Dr Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa virus intoleransi yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat bisa merusak kebinekaan. Virus ini, kata Buya –sapaan akrab Ahmad Syafii Maarif—bisa merasuk ke semua lini, termasuk di sekolah-sekolah. Untuk menangkal intoleransi di sekolah-sekolah, peran para pendidik (guru) dan pengawas sangat menentukan. Karena itulah Buya meminta para guru atau pendidik untuk menggencarkan penanaman pendidikan multikulturalisme untuk menangkal bibit-bibit virus intoleransi. Virus intoleransi berpotensi menjangkiti para siswa di sekolah.
“Pendidikan multikulturalisme semakin penting dalam era ini, tekankan terus agar tidak mengkhianati sumpah pemuda karena virus intoleransi itu muncul karena mungkin ada rantai pendidikan yang terputus,” kata Buya yang jiuga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah di sela Pelatihan Pengawas Sekolah Program memperkuat Peran Auditor dan Pengawas Sekolah dalam Mempromosikan Toleransi dan Mulikulturalisme yang dilaksanakan MAARIF Institute bekerja sama dengan Inspektorat III Itjen Kemendukbud RI, 25-27 Maret 2019 di P4TK Matematika Kemendikbud, Jalan Kaliurang Km 6, Sleman Yogyakarta.
Buya berharap, untuk menangkal intoleransi pada generasi muda, pelajaran agama tidak hanya memenuhi ranah kognitif atau pengetahuan. Pelajaran agama harus lebih efektif menyentuh moral, etika, dan rasa, tetapi tidak perlu sampai mengubah kurikulum. “Pelajaran agama lebih ke efektif, moral, etika, dan rasa. Tapi, memang selama ini mungkin kering, otak diisi, tetapi hati dibiarkan telantar,” tandasnya.
Menurut Buya, perlahan namun pasti virus intoleransi yang masih ada hingga saat ini berpotensi memisahkan nilai-nilai Kebhinekaan dari Bangsa Indonesia. Kendati demikian, ia menyakini virus intoleransi itu masih bisa diantisipasi dan diatasi. “Contoh kecilnya, kalau ada seorang murid di sekolah itu sudah merasa tidak nyaman bersama dengan murid lain yang berbeda agama dengannya,” kata anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini.
Tinjau Kurikulum
Di acara yang sama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Dr Muhadjir Effendy mengusulkan agar kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah ditinjau secara radikal. Untuk merealisasikan usulannya, Muhadjir mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Agama
Muhadjir menilai pendidikan agama yang diberikan di sekolah saat ini orientasinya terlalu serba pengetahuan dan yang menjadi kontennya pun sangat determenistik. “Maksudnya sangat deterministik itu bahwa dalam pendidikan agama itu isinya pokoknya agama yang dianut anak didik itu yang paling benar, yang lainnya tidak benar,” ujar dia.
Pengetahuan pendidikan agama yang deterministik itu yang menurut Muhadjir menjadi salah satu penyebab sempitnya pemahaman agama. Dan karena dibentuk sejak dini, lambat laun mengubah orang menjadi berpandangan radikal.
Muhadjir menuturkan jika ingin memasukkan konten semangat toleransi pada anak didik, materi pemahaman agama harus bisa memberi gambaran utuh. Misalnya jika si anak mendapat materi bahwa agamanya paling benar, dalam saat bersamaan harus diyakinkan pula jika ada orang lain yang berpandangan agamanya paling benar juga. Dengan demikian akan tumbuh rasa saling memahami antara pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya.
“Tapi yang tertanam di kesadaran anak-anak didik sekarang hanya satu sisi, bahwa agama yang dianutnya paling benar dan lainnya salah,” ujarnya. Ruang kesadaran anak pun terbentuk secara dominan menyalahkan orang lain dan membenarkan dirinya sendiri.
Perubahan persepektif yang berimbang dalam pendidikan agama ini, menurut Muhadjir, harus mulai disuarakan lebih gencar. “Kita harus berani telanjang membuka diri bagaiamana pendidikan agama yang ada di sekolah, tidak hanya lembaga formal tapi juga non-formal.”
Muhadjir mengakui persoalan di Indonesia saat ini bukan hanya toleransi antar umat beragama, tapi juga toleransi internal umat beragama. Masing-masing kelompok, kata dia, melalui lembaga pendidikan berusaha meyakinkan apa yang diajarkan kelompok itu paling benar.
Muhadjir menuturkan pendidikan agama ini sebenarnya bukan menjadi ranah yang ditangani kementeriannya, melainkan kewenangan Kementerian Agama. Namun, seringkali jika ada peristiwa radikalisme atau intoleransi di sekolah yang kena getah pihaknya. Karena dalam undang-undang yang bertanggungjawab atas peristiwa di sekolah tetap kementerian pendidikan.
Ancaman Serius Kemanusiaan
Pengurus MAARIF Institute Abd Rohim Ghazali yang menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa dengan motif apapun, tindakan kekerasan dan terorisme yang berawal dari sikap intoleran merupakan ancaman serius bagi kemanusiaan. Rohim mengilustrasikan beberapa contoh kekerasan dan teror yang terjadi di berbagai tempat, seperti yang terjadi baru-baru ini di Kota Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 50 orang, juga penembakan brutal di dalam Trem di kota Utrecht, Belanda, yang memakan tiga korban jiwa.
Kedua aksi teror ini membuktikan bahwa kebencian bukan monopoli satu agama atau ideologi tertentu. Di Indonesia, aksi teror kerap dikaitkan dengan Islam karena faktor motif dan agama pelakunya. Padahal di samping faktor agama/ideologi, ada tindakan kekerasan serupa teror yang motifnya karena kepentingan politik seperti yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Nduga, Papua, atau karena kebencian terhadap mazhab tertentu seperti pernah terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten; di Sampang, Madura, Jawa Timur; dan di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Selain itu bahkan ada juga kekerasan yang dipicu karena fanatisme supporter sepak bola seperti yang menimpa Haringga Sirla (supporter Persija, Jakarta) yang tewas dikeroyok supporter Persib Bandung.
“Berbagai peristiwa di atas memberi pelajaran penting bahwa dengan motif apa pun, tindakan teror dan kekerasan selalu menimbulkan dampak yang sangat buruk dan menjadi ancaman paling serius bagi kemanusiaan,” kata Abd Rohim Ghazali yang juga Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden. “Oleh karena itu, mempromosikan toleransi dan multikulturalisme menjadi sangat urgen untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan kebangsaan kita. Dari mana memulainya? Dari bangku sekolah. Pendidikan di sekolah harus dijadikan sarana untuk mempromosikan toleransi sekaligus menghalau intoleransi dan kebencian,” tandasnya.