Syariah—-Tulisan ini berawal saat penulis menonton serial Ramadan Amanah Wali 4 di RCTI. Setahu penulis, acara rating paling tertinggi (prime time) saat Ramadan itu justru pada saat Sahur, bukan pada saat berbuka. Karena pada umumnya keluarga berkumpul di ruangan besar untuk makan sahur, sebagai penghangat suasana maka televisi yang menjadi tontonan.
Maka dari itu, tidak mengherankan jika adegan/percakapan pada sinetron saat sahur menjadi trend di masyarakat. Sebagai contoh, ungkapan “dosen copet” pada Preman Pensiun, tentang syarat mencopet itu ada tiga: pengagguran, miskin, lemah iman.
Sinetron Amanah Wali 4 tayang dua kali, yakni pada saat menjelang buka, serta menjelang sahur. Penulis jarang sekali benar-benar memperhatikan sinetron ini pada saat tayang berbuka, lebih sering pada saat sahur. Keduanya merupakan episode yang sama.
Sinetron yang mencapai Jilid 4 tentu merupakan sinetron yang sukses. Seperti konsep Para Pencari Tuhan, pada dasarnya ide dasar dari sinetron ini adalah religi-komedi. Pesan-pesan keagamaan tidak jarang keluar dari para pemeran sinetron tersebut.
Bintang Utama dari sinetron Amanah Wali 4 tidak lain adalah personal Wali Band: Apoy, Faang, Ovie, dan Tomi. Lalu pada awalnya beberapa artis pun berperan, seperti Rano Karno dan Mandra. Sudah 3 hari jalan ceritanya dirombak, disebut-sebut karena efek korona yang tidak bisa menggelar syuting secara terbuka.
Tantangan Dakwah Religi
Pada dasarnya, penulis sangat suka dengan konsep religi-komedi. Daripada kita harus menyaksikan adegan dangdut, talkshow, dan acara hiburan lainnya saat sahur, penulis setia tidak mengubah channel televisi, dari hal yang berbasis religi-komedi.
Kenapa hal ini perlu penulis ungkapkan? Karena penulis tidak ingin ada anggapan, “Kenapa sih acara yang mencoba untuk konsep baik itu selalu mudah dikritisi, sedangkan yang jelas-jelas salah itu kadang tidak menjadi perhatian?”, seperti “Kenapa cadar dipermasalah, yang telanjang tidak?”.
Begini, agama atau pesan agama itu tidak hanya memberi efek perubahan yang minim pada seseorang, bahkan sampai pada aspek yang sangat prinsip. Harus disyukuri, agama di Indonesia sebagian besar masih diposisikan sebagaimana mestinya: sebagai petunjuk dan pedoman hidup.
Maka dari itu, wajar jika atensi kita terhadap apapun yang notabene memiliki pesan religi akan selalu kritis. Apalagi acara ini tampil pada saat prime time nya bulan ramadan.
Dalam agama, salah ajaran = salah tuntunan hidup. Merasa benar padahal salah, itu lebih buruk daripada, berbuat salah yang sudah benar-benar salah.
Pembeli Menentukan Harga= Syariah?
Pada episode sinetron yang tayang pada Kamis, 07/05/2020 secara umum menampilkan adegan, saat seorang pemilik kios protes terhadap pengelola pasar Genjing.
Pemilik kios protes kenapa tiga kios miliknya menjadi turun omsetnya, karena dianggap ada seorang pedagang yang mempermainkan harga. Pemilik kios memprotes, merusak harga adalah perbuatan curang, karena untuk harga makanan pokok sudah ada patokannya. Mungkin yang dimaksud semacam konsep Harga Eceran Terendah dan Tertinggi (HET).
Setelah menjelaskan dari asisten pengelola pasar (diperankan oleh Apoy) ternyata ada seorang pedagang (Pak Yusuf) yang memiliki cara dagang yang berbeda: yakni harga jual ditentukan oleh pembeli–dengan motivasi meniru cara dagang Rosulullah SAW.
Adegan selanjutnya, pengelola pasar bertanya mengapa Apoy tidak bisa menyelesaikan masalah ini? Apoy menjawab: dia tidak bisa menyalahkan cara dagang Pak Yusuf (sampai di sini kita sepakat).
Namun selanjutnya dia berkata, justru ingin semua pedagang pasar memakai cara tersebut. Hal itu dianggapnya adalah cara syariah.
Adegan selanjutnya pun saat Apoy pergi kembali ke pasar, kemudian dicegat oleh salah satu ‘semacam Joki’ tentang protes akan konsep dagang pak Yusuf. Kembali lagi Apoy mengatakan, “Gue malah mau semua pedagang disini pakai cara syariah seperti yang dilakukan pak Yusuf.”
Disinilah yang sebenarnya adegan yang cukup membuat menulis berfikir untuk menuliskan hal ini. Karena sudah ada dikotomi: cara dagang ini syariah, dan cara dagang (penjual menentukan harga beli) itu tidak syariah.
Kenapa? karena ini tentu akan membuat sebagian besar masyarakat was-was, apakah jual beli yang mereka lakukan selama ini tidak sesuai syariah? Karena konsekwensi syariah itu adalah kehalalan suatu transaksi. Jadi, apakah harta yang mereka makan adalah haram, dimakan anak-istri menjadi darah daging dan sebagainya.
Semoga adanya tulisan ini menjawab rasa was-was tersebut.
Misleading
Cukup masyhur memang riwayat tentang nabi Muhammad SAW memberi tahu modal dagang nya, kemudian menyerahkan kepada pembeli harga jual nya. Hal inilah yang mungkin mendasari mengapa adegan episode tersebut terjadi: ingin meniru cara dagang Rasulullah tersebut.
Tiidak ada yang keliru dari pemahaman dan motivasi ingin mengiktui praktik tersebut. Namun jika dilihat lebih lanjut, spirit utama dari kisah rosulullah tentang memberi tahu penjual harga modal adalah: kejujuran dan menghindari kecurangan dalam transaksi jual beli.
Pada kenyataanya, sebagian riwayat mengatakan justru adegan rosulullah menjelaskan harga modal adalah sikap pasif. Dalam artian, konsep utama dagang Rosulullah adalah menetapkan harga keuntungan yang wajar (sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis). Namun, lebih karena saking jujur (Al-Amin) dan tak mau curang, kalaupun jika ditanya harga modal oleh pembeli, Rosulullah tidak memiliki beban untuk menjawab, karena memang tidak berniat untuk menipu.
Meski begitu, memberi tahu harga modal secara aktif kepada setiap pembeli pun sebenarnya tidak mengapa. Hanya saja, jangan diklaim, konsep syariah nya itu ada di aspek tersebut. Dan jika dilihat dari sisi hukum, posisi tersebut ketika Nabi Muhammad belum resmi mengemban risalah kerasulan. Tapi bukan aspek ini yang kita bahas.
***
Buktinya, saat Rosululah memimpin Madinah, hal yang ditekankan oleh Rosulullah lebih kepada penghapusan transaksi yang bermuara pada penipuan, unsur riba, judi, gharar (ketidakpastian), keraguan, eksploitasi oleh pelaku monopoli, pengambilan untung secara berlebihan, penimbunan, pasar gelap, hingga penghapusan praktek kartel dagang. Inilah yang memenuhi unsur pasar syariah dalam transaksi jual beli.
Juga tentunya melarang penjualan terhadap hal-hal yang secara jelas dilarang dalam Alquran, seperti daging babi, bangkai, alkohol, miras, dan lain sebagainya.
Jadi, ada kekeliruan dalam penangkapan pesan (misleading) dari kisah nabi tentang pemberitahuan harga modal. Jika memang kita berdagang secara jujur, timbangan yang sesuai, transparansi dalam keadaan barang (baik/cacat) nya, menjual dengan harga wajar, maka konsep ini pun sudah syariah.
Oleh karena itu, jika soerang pedagang sudah berkomitmen jujur, transparan baik-buruk barang, menetapkan harga tidak terlalu tinggi, serta tidak curang, maka suatu saat ditanya pembeli harga modal, maka pastinya akan menjawab dengan jujur. Itu maksudnya.
Apalagi, jika ditinjau dari aspek jual beli ingin mengikuti sunnah nabi, tapi ternyata terbias kepada pengertian sunnah menurut ahli fiqih, maka ini akan jauh lebih keliru.
Konsep Muamalah Duniawiyah
Jual beli merupakan aspek yang termasuk ke dalam Muamalah Duniawiyah. Konsep Muamalah dalam Islam (juga diterapkan di Muhammadiyah) bahwa hukum dari muamalah pada dasarnya boleh. Bahkan progresifitas gerakan Muhammadiyah justru dilihat dari hal-hal yang berkaitan dengan aspek muamalah.
Jual beli merupakan hal yang berkaitan dengan orang banyak dan mempengaruhi keberkahan harta seseorang. Saat ini konsep jual beli sudah semakin berkembang, dari aspek perkembangan macam akad adalah jual beli online, pre order. Dari aspek service, ada delivery order (DO), cash on Delivery (COD), dan sebagainya.
Metode pelayanan pejualan seperti DO atau COD sama sekali tidak bertentangan dengan syariah, itu lebih menunjukkan betapa adaptifnya aspek muamalah dalam Islam. Sama saja seperti teknik seseorang yang aktif memberi tahu harga modal, itu pun metode pelayanan penjualan saja. Jangan ditarik lebih jauh kepada: ini syariah dan itu tidak syariah.
Penulis ingat, salah satu guru penulis pernah memberi pesan. “Salah satu tindakan ‘kriminal dalam agama’ di masa depan, adalah mewajibkan hal yang tidak wajib.” Mungkin sekarang juga sudah mulai terasa, “men-syariahkan apa yang tidak perlu diberi label syariah”. Sudah tidak aneh lagi kita melihat iklan, telur syariah, kulkas halal, pasta gigi syariah, dan sebagainya.
Kata syariah dan halal bukan lagi menjadi terminologi hukum, tapi dunia marketing. Mungkin itu.