Agenda Temu Penulis Muda Muhammadiyah yang berlangsung di Yogyakarta pada hari ini, Rabu (5/10/2022) diharapkan menjadi tonggak penting dalam rangka memasyarakatkan para penulis muda organisasi ini. Itu signifikan agar gagasan/narasi yang selama ini belum terekspos segera menemukan tempatnya.
Tidak hanya menebar gagasan ke media-media yang dikelola maupun terafiliasi dengan Muhammadiyah. Lebih dari itu, para penulis muda ini saatnya turun gelanggang ke media-media yang dianggap sebagai arus utama (mainstream). Di Jawa Pos, misalnya, semenjak wafatnya Pak Najib Hamid, tokoh Muhammadiyah Jawa Timur yang juga penulis itu, praktis tinggal Prof Biyanto yang secara ajek tulisannya bertengger di media ini. Baik tulisan yang berkaitan dengan Muhammadiyah (muktamar, milad) maupun yang temanya lebih umum. Memang ada penulis Muhammadiyah lainnya, tapi kemunculannya sporadis.
Nah, menjelang momen muktamar yang berlangsung sebulan lagi, mungkinkah ada penulis lain, yang lebih muda, yang bakal mengisi kekosongan yang ditinggalkan Pak Najib Hamid itu?
Kita tahu Muhammadiyah juga tengah menjalin kerja sama dengan media arus utama lainnya, Media Indonesia, terkait dengan penyemaian gagasan untuk dimuat di rubrik opini. Hal itu sebetulnya juga sudah mulai berjalan dengan beberapa penulis yang gagasannya juga nangkring di media tersebut, setahu saya. Juga telah dilakukan kerja sama dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah di seantero Indonesia yang salah satunya terwujud dalam pelatihan jurnalistik bagi siswa-siswi SD beberapa waktu lalu.
Menurut saya, ini semacam pembuka jalan sekaligus pemantik bagi penulis-penulis muda Muhammadiyah agar melebarkan sayapnya ke media mainstream tersebut, salah satunya di Media Indonesia itu, dalam rangka memasyarakatkan gagasan-gagasan yang diusung Persyarikatan secara lebih luas lagi. Terutama pada momen-momen penting seperti muktamar sebentar lagi maupun milad Muhammadiyah yang juga berlangsung pada bulan depan.
Regenerasi Penulis Muhammadiyah
Seperti halnya dorongan dan harapan agar Pimpinan Pusat Muhammadiyah kelak diwarnai oleh tokoh-tokoh muda, begitu pula di bidang kepenulisan. Penulis muda prolifik Muhammadiyah sudah waktunya menggantikan (atau lebih tepatnya melengkapi) penulis-penulis senior Muhammadiyah yang sudah mapan. Seperti (almarhum) Pak Najib Hamid, Prof Biyanto, juga Prof Syamsul Arifin dan Mas Boy, yang selama ini juga tampil menghiasi rubrik Opini Jawa Pos. Atau Prof Haedar Nashir yang konsisten menulis di Republika serta Prof Abdul Mu’ti yang juga silih berganti ajek menulis di Republika, Sindo, dan Media Indonesia (sependek pengetahuan saya). Tentu yang tak kalah jadi panutan almarhum Prof Syafii Maarif dan almarhum Prof Azyumardi Azra yang di usia senja pun masih sempat menuangkan gagasan-gagasannya dalam deretan kata demi kata.
Ada kaitan erat mengapa tokoh muda didorong menjadi pimpinan Muhammadiyah dengan peluangnya agar tulisan masuk ke media mainstream. Pasalnya, dengan menjadi pimpinan, kader muda yang juga penulis, misalnya, punya otoritas lebih. Dengan menjadi pimpinan itulah, tokoh sekaliber Prof Haedar Nashir dan Prof Abdul Mu’ti akan lebih mudah diteropong dan dijamin jika menulis di media mainstream tersebut. Seperti itulah harapan yang disematkan kepada penulis muda. Saya yang bukan siapa-siapa saja alias kader nonstruktural pernah dua kali tembus meja redaksi, masing-masing Republika dan Jawa Pos, ketika menulis soal milad Muhammadiyah. Apalagi jika teman-teman muda Muhammadiyah yang cocok berada di pimpinan pusat (entah sekarang atau di masa-masa mendatang), dijamin probabilitasnya akan lebih besar.
Tapi, memang ada tantangan yang mesti dihadapi penulis yang akan mengirimkan ke media-media arus utama sebagaimana tersebut di atas. Hairus Salim dalam tulisannya, Menulis di Zaman Old dan di Zaman Now, menyebut bahwa para penulis generasi baru (seperti mayoritas penulis Muhammadiyah yang akan berjumpa esok) lahir bukan dari media cetak yang membatasi jumlah karakter atau kata yang mereka tulis.
***
Para penulis masa lalu yang lahir dari media cetak itu, kata Hairus Salim, tak punya keleluasaan dan ruang yang jembar. Mereka dituntut untuk menulis dengan singkat dan efisien. Singkat dan efisien ini menjadi harga mati. Ruang yang tersedia di media cetak sangat terbatas: maksimal 6.000-7.000 karakter.
Karena itu, mungkin banyak tulisan ditolak bukan karena miskin argumentasi ataupun jelek narasi, tapi lebih karena dianggap terlalu panjang. Inilah yang menurut saya juga menjadi tantangan menulis di media arus utama. Termasuk pada penulis muda Muhammadiyah yang memberanikan diri menulis di media arus utama seperti surat kabar. Jadi, tulisan harus padat dan ringkas, tapi gagasan tetap jelas dan tersampaikan dengan baik.
Di samping terus merawat dan mengembangkan media-media milik sendiri, penulis Muhammadiyah di sisi lain juga perlu melebarkan sayap ke media-media lain agar jangkauan pembacanya lebih luas. Dengan begitu, narasi keislaman dan keindonesiaan yang diusung Muhammadiyah dapat diketahui di semua lapisan pembaca masyarakat.
Inilah, saya kira, salah satu gol pertemuan penulis muda Muhammadiyah yang menjadi bagian dari agenda muktamar di Solo November mendatang. Pertemuan yang digadang-gadang semakin menyolidkan upaya penulis muda membangun narasi. Masih ada waktu sebulan lebih untuk turun gelanggang. Selamat berjuang di ”medan perang”!