Perspektif

Syarat Menghadapi Sekularisme: Akal Sehat dan Ilmu Kokoh

4 Mins read

Sebelum memahami syarat menghadapi sekularisme, kita perlu tahu bahwa belakangan ini banyak sekali gagasan-gagasan dari para pemuka bangsa nasional maupun internasional yang kemungkinan bisa kita maknai mengandung nilai sekularitas. Nilai ini menjadi alasan untuk kemajuan peradaban manusia. Karena menurut mereka seringkali terhambat oleh hukum-hukum ataupun aturan yang terdapat dalam kitab suci agama.

“Kita harus menduniawikan yang duniawi, tidak usah mengukhrawikan yang seharusnya duniawi. Karena berpotensi akan memunculkan tahayul”

Nurcholish Madjid

Tentunya dalam lembaran sejarah tidak jarang pula kita jumpai sekelompok pemuka agama yang menentang secara terang-terangan terkait gagasan tersebut yang menegasikan nilai agama dalam kehidupan, terkhusus pada ranah pemerintahan.

Kritik untuk Umat Islam

Dalam pendahuluan buku Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam yang ditulis oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, ia mengakui sejak tahun 1973 dirinya sudah menuliskan perihal kerusakan yang meluas dan mendalam terkait akhlak dan ilmu masyarakat Islam sezaman. Masalah ini pun masih kita rasakan dalam keadaan genting yang masih luput dari tinjauan kepahaman yang benar menurut wahyu Islam.

Namun hal yang menarik dari tulisan al-Attas yaitu ia justru mengkritik umat Islam itu sendiri. Sehingga menjadi salah satu penyebab ideologi sekularisme meluas ke berbagai negara. Menurutnya umat Islam masih belum mempunyai pembacaan dan prediksi tentang realitas masa depan yang kuat terkait kejahilan dari rencana falsafah modern dan pascamodern.

Namun di sisi lain falsafah modern juga mempunyai fungsi untuk merasionalkan eksistensi Tuhan kepada orang-orang atheis maupun sekular sekaligus. Dalam diskusi dengan Bentala yang dipantik oleh Mas Alam, ia menjelaskan tentang turunan dari falsafah modern itu ada empat bagian, yaitu rasionalisme falsafi, rasionalisme sekular, empirisme, dan empirisme logis.

Tentunya gagasan tersebut berangkat dari hal-hal realitas yang tampak oleh inderawi. Sehingga menurut Kuntowijoyo dengan hal tersebut kita mampu untuk memberikan nilai-nilai Islam kepada orang sekural maupun non-muslim. Tentunya tanpa harus menggunakan istilah Islam yang terdengar asing dimata mereka. Dengan harapan mereka bisa menerima hal tersebut. Mungkin yang sering kita kenal dengan istilah “objektifikasi Islam”.

Baca Juga  Menghadapi Quarter Life Crisis: Pedoman dari al-Quran

Pandangan Ideologi Sekuler

Wacana sekuler memang terdengar sangat humanis dan menjadikan manusia sebagai sentral ideologinya. Dan apabila manusia menjadi peran sentralnya, maka agama akan menjadi bagian yang terpisah dari proyek ideologi ini. Bahkan dalam pengertian filsafat praktis sekularisme yaitu manusia menafsirkan dan mengorganisasi kehidupan tanpa bantuan supranatural.

Menurut beberapa pemuka ideologi sekuler, agama memiliki aturan yang cenderung tidak pro-kemanusiaan. Maka lahirlah renaissance yang puncaknya adalah konflik besar antara pemuka gereja dan ilmuwan pembaharu.

Perang Enam Hari yang terjadi kisaran tahun 1967, tragedi tersebut yang melibatkan antara koalisi Arab dan Mesir yang berusaha membendung serangan Israel yang berupaya mencaplok sisa wilayah yang berada di Palestina. Namun dalam peperangan singkat tersebut dimenangkan oleh Israel yang berhasil mengambil wilayah di kota suci Palestina dengan menghimpun kekuatan dengan Amerika Serikat.

Lantas dampak dari kelahan koalisi Arab dan Mesir tersebut menjadi pukulan moral bagi bangsa mereka. Karena rencana mereka bisa diredam oleh Israel hanya dalam waktu enam hari. Tanpa berpikir panjang, para pemikir dan cendekiawan dari Arab Saudi mencoba untuk berpikir modernis yang melampaui ajaran agama. Sehingga kecenderungan dari pola pikirnya menegasikan agama dengan dalih untuk menyaingi negara maju. Seperti AS yang membantu Israel dalam perang 6 hari tersebut.

Syarat menghadapi Sekularisme

Hal yang sangat disayangkan dari keputusan para pemikir dan cendekiawan Arab tersebut adalah mereka terlalu dini untuk menerapkan suatu ajaran tanpa melihat lebih jauh dampak ilmu-ilmu pascamodern yang ada. Lebih parahnya lagi, keputusan itu dapat berdampak pada Ilmu Pengetahuan yang nantinya akan diteruskan oleh generasi muslim yang akan datang.

Namun kita di sini bisa sama-sama untuk mengkritisi keputusan yang diambil oleh para pemikir dan cendikiawan muslim dari Arab tersebut dengan membuka buku Quraish Shihab yang berjudul Logika Agama.

Dalam bukunya, Quraish Shihab mengatakan, syariah Islam datang, antara lain untuk membebaskan manusia dari jeratan nafsu yang selalu mengarahkan manusia kepada kejahatan. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam surah Yusuf [12]: 23:

Baca Juga  Milenial Menolak Anti Sosial dengan Islam Transformatif

Artinya: “Sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf [21]:23).

Nafsu dan setan seringkali memperindah bagi manusia hal yang buruk. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada jaminan bahwa apa yang dianggap seseorang baik, itu benar-benar baik. Lebih-lebih kepada hal yang menyangkut telah ada petunjuk agama yang jelas.

Dari sini timbulah demarkasi antara yang baik dan yang buruk serta sampai di mana peranan akal kita berada. Seringkali pribadi tidak menyadari hal ini, hingga hampir semua manusia tidak mencurigai pandangan nalarnya.

Maka dibutuhkan akal yang sehat agar dapat memandang lebih jauh tentang keputusan yang akan kita ambil. Terlebih dalam aspek keagamaan. Agar syarat menghadapi sekularisme dapat terpenuhi.

Eksistensi Duniawi dalam Islam

Al-Attas pernah menyebutkan bahwa agama yang dimaksudkan olehnya adalah tidak menentang pengosongan alam tabi’i ruhaniah. Namun, yang dimaksud pengosongan adalah upaya penyingkiran dari kepahaman segala pandangan alam yang dipenuhi oleh berbagai mitos dan kesaktiannya. Hal ini diciptakan oleh khalayak etnik yang menjelma menjadi takhayul.

Penulis pernah menonton film Percy Jackson yang menjelaskan tentang perseteruan antara semua dewa pengendali alam raya. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Al-Attas.

Pada dasarnya dunia ini memang tidak perlu ditambahkan dengan mitos. Karena mitos justru akan menambah ketakutan dan ketundukan yang tidak jelas kepada umat manusia. Segala kehidupan di alam raya tetap mengandung makna ruhani tanpa harus ditambahkan. Hal itu sudah tertera dalam pedoman hidup seorang muslim yaitu Al-Qur’an. Kitab yang memerintahkan untuk menyembah Allah, menjalankan syari’at, dan menjauhi larangan-Nya.

Tuhan yang Maha Esa bukanlah mitos buatan budaya di suatu daerah. Bukan juga sebagai suatu gambaran yang dicitakan. Bukan pula suatu simbol yang senantiasa memiliki perubahan makna menurut akal fikri yang mengikuti perubahan masa.

Baca Juga  Toxic Buzzer di Kasus Donasi UAH

Hakikat iman mengandung unsur ilmu yang memahamkan tentang kebenaran kepada akal insan. Salah satu titik perbedaan antara agama dan falsafah sains sekuler adalah cara dan kaidah kita memahami tentang sumber ilmu.

Menduniawikan yang Duniawi

Nurcholis Majid berpendapat bahwa kita harus menduniawikan yang duniawi, tidak usah diukhrawikan karena akan mengakibatkan munculnya tahayul. Seringkali terjadi di zaman sekarang adalah banyak sekali manusia yang melakukan pembenaran atas semua feomena yang terjadi bahwa itu semua adalah skenario Allah.

Memang betul semua kejadian di dunia ini adalah kehendak Allah, namun di sisi lain ada juga peristiwa alam yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Padahal Allah memerintahkan manusia untuk menelaah sebab apa yang menjadikan alam dunia seperti sekarang ini. Hal ini agar mereka tidak mengulanginya lagi.

Bahkan lebih parahnya ada yang membenarkan takdir Tuhan atas ketidakmampuan mereka melakukan suatu hal, karena sebagian kalangan kurang memahami makna ikhtiar. Dewasa ini bisa dikatakan munculnya teologi neo-jabariyah ketika virus Corona melanda.

Pengalaman penulis selama aktif dalam beberapa kegiatan yang berorientasi pada literasi. Sebagian besar kakak tingkat atau pemateri pasti akan mengajarkan suatu kebenaran, namun diawali dengan sebuah keraguan. Dengan timbulnya keraguan dalam diri kita, otomatis diri kita akan terpaksa berpikir keras sehingga melatih untuk berpikir secara metodis dan radikal (mendalam).

Sama halnya kita memeluk Islam. Jangan hanya atas garis keturunan saja tanpa mengalami perenungan yang lebih mendalam, karena di situ akan menimbulkan bertambahnya keimanan dengan adanya akal berpikir yang sehat.

Maka gunakanlah akal yang sudah dianugerahi Allah sebagai alat untuk menyelami alam pikiran anda sendiri terhadap alam agar mengenal Sang Pencipta. Juga menjadi jalan memenuhi syarat menghadapi sekularisme seperti yang telah dijelaskan.

Editor: Nabhan

Avatar
11 posts

About author
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *