Tajdida

Jangan Pisahkan Islam dari Cinta dan Peradaban!

5 Mins read

Islam, Cinta, dan Peradaban

Peradaban Islam – Mari memulai suatu kegiatan yang baik, dengan pernyataan yang juga baik. Menulis adalah kegiatan yang baik – dan mari mulai dengan pernyataan yang baik, yaitu cinta. Suatu hari, barangkali itu pagi, siang, atau sudah gelap; Muhammad Saw akan berkata sesuatu. Sulit untuk tidak jatuh cinta pada sosok pribadi semacam Muhammad. Jelas, mereka yang memutuskan untuk hidup di sekelilingnya, semata-mata didorong oleh kompisisi kimiawi dan neurologis dalam diri manusia. Cinta.

Muhammad ingin berkata begini: Kullu amrin dzi balin lam yubda’ bi-bismillahi al-rahman al-rahim, fahuwa aqtha’u. Artinya: “Semua kegiatan – semua, baik fisik maupun mental – yang tidak dibuka dengan menyebut – dan mengingat – nama Tuhan yang maha cinta dan maha sayang, maka kegiatan itu terputus dari cita-citanya – dari kebaikan, kebijaksanaan, dan keberkahannya.” Saya sering lupa (dan semoga Anda tidak) bahwa ucapan basmalah yang lengkap itu sebenarnya adalah deklarasi cinta.

Ada beberapa pasang mata malam itu, di kediaman Muhammad. Lelaki ini tak pernah menonjolkan dirinya di tengah sukunya. Sulit melihat jejak arogansi dan kesombongan di raut wajah, gerak badan, dan langkah kakinya. Muhammad begitu rendah hati sebagai seorang ayah, suami, sepupu, dan keponakan. Yang hadir malam itu di rumah kecilnya, tak bisa mencapnya sebagai penipu. Ada cinta di hati Khadijah, Ali, dan Zaid – kepada Muhammad. Jangan kesampingkan hati yang sudah melebur sebagai alasan pendorong mereka memeluk Muhammad dan pesan spiritualnya.

Kita Lahir dengan Cinta

Menurut Fred M. Donner (2010), terlalu naif, bahkan menyimpang, untuk menyebut gerakan Muhammad adalah gerakan politik, ekonomi, atau etnosentrisme Arab pra-modern. Sumber-sumber klasik – dimulai dari Al-Quran, hingga biografi – sangat konsisten melukiskan nuansa kesadaran spiritual dan transcendental dari wahyu Islam dan kepribadian Muhammad. Ada batas-batas psikologis yang Anda lampaui ketika Anda menjadi pribadi yang sadar akan ilahi. Tak ada lagi etnis dan ambisi. Hanya rindu yang membuncah untuk mencintai Tuhan. Donner berkata, itulah Islam.

Maka, jika Islam menyebut dirinya sebagai reminder (dzikr) bagi umat manusia, maksudnya adalah pengingat akan sesuatu yang paling mudah kita lupa. Tatkala Al-Quran menyebut dirinya pengingat, ia sedang menyelaraskan dirinya sendiri dalam frekuensi yang persis sama dengan tradisi ilahiah sebelum dirinya, seperti Yahudi, Kristen, dan yang lainnya. Ia mengingatkan kita bahwa manusia hadir ke dimensi dunia terrestrial dengan cinta dan pelukan Pencipta.

Baca Juga  Pemuda dan Al-Qur'an: Konstruksi Istimewa yang Mulai Rapuh

Kita perlu sedikit wawasan esoteris untuk mengerti makna dari konsep-konsep kunci dalam agama kita sendiri. Dan, semakin Anda memeras (extracting) sebuah buah, semakin keluar isinya, sarinya, hingga biji-bijinya. Konsep kunci seperti Islam, Iman, Syukur, dan Kufur, harus dimengerti hingga saripatinya. Dengan Nahwu dan Balaghah kita cukup terbantu, untuk bisa mengeri logika dan poros (axis) dari konsep-konsep tersebut. Dengan melihat struktur Nahwiyah dan Balighah dari Islam, Iman, Syukur, dan Kufur, kita sampai pada porosnya – yaitu cinta.

***

Islam berarti penyerahan diri sepenuhnya. Tanpa cinta, Anda tak bisa. Iman berarti kepercayaan dan mempercayakan sepenuhnya. Tanpa cinta, apa Anda bisa? Syukur berarti rasa terima kasih dan balas jasa. Tanpa cinta, Anda tahu sendiri rasanya. Dan, akhirnya, Kufur berarti berpaling dari kewajiban untuk berterima kasih. Anda tahu sendiri, itu hanya terjadi jika tak ada lagi cinta. Itu alasannya Muhammad tak melihat perbedaan antara iman yang benar, dengan cinta yang tulus. Kata Muhammad: “Iman belum tertanam, sampai cinta itu kalian berikan terutama untuk Tuhanmu, dan kemudian aku.”

Jumlah pasang mata yang menyaksikan Muhammad bertambah dari malam itu. Telinga-telinga mereka tak bisa menahan diri untuk terbuka dan menghampiri Sang Nabi yang akhirnya berbicara. Berbicara bahwa Tuhan telah memutuskan untuk sekali lagi menjulurkan tangan-Nya bagi keselamatan ruhani kita. Ketika Muhammad menjadi corong wahyu, dan berkata bahwa “Kembali, dan sembahlah Tuhan yang menciptakan kalian,” para pendengar itu dengan jelas memahaminya sebagai pengingat akan cinta. Karena cinta Tuhan, Dia menciptakan kita. Maka, sudah seharusnya kita kembali pada-Nya.

Membangun Puing Peradaban dengan Cinta

Ada seorang anak yang terdampar di sebuah desa tak berpenghuni. Ia melihat bangunan besar tak terurus. Pintunya jelas sudah rusak, angin dengan mudah mendorongnya terbuka. Bangunan itu dulunya perpustakaan. Kini seperti tempat pembuangan sampah, dipenuhi puing, rongsokan lemari buku, dan buku-buku yang rusak dimakan rayap. Anak itu sedang melihat warisan ratusan tahun peradaban, yang hari ini lapuk. Anak itu adalah Anda, dan kita semua. Puing-puing dan buku tak terurus itu adalah peradaban Islam.

Baca Juga  Masalah Peradaban Islam dan Keharusan Pembaruan Pemikiran

Bagi saya, perlu waktu banyak untuk tiba pada kesadaran bahwa dunia hari ini nyaris kehilangan satu warisan terpentingnya, yaitu peradaban Islam. Saya pribadi memulai perjalanan ini setelah lulus dari SMA. Rasanya seperti baru memulai hidup sebagai Muslim. Saya perlu lima tahun mempelajari Islamic studies di level sarjana, tiga tahun mengembara di Turki, dan saat ini, masih belajar memahami peradaban yang sama di Universitas Paramadina. Peradaban mencetak kita. Peradaban Islam tidak mencetak kita menjadi kaum kapitalis, relativis moral, fundamentalis, dan hedonis. Ada alasan mengapa peradaban Islam begitu memprioritaskan hati dan kesadaran individu untuk kebahagiaan spiritual.

Peradaban Islam yang Harus Dibangun Kembali

Dan, siapa pun yang mengenal peradaban Islam ini, akan merasakan dorongan di dalam hatinya untuk membangun kembali reruntuhan puing perpustakaan tua itu. Anda tahu, mengapa saya memulai tulisan ini dengan ungkapan cinta? Karena itulah inti peradaban Islam (Allawi, 2009). Cukup sedih sebenarnya, melihat Islam dijadikan jargon politik, kekuasaan, bahkan kekerasan. Tapi, itulah kenyataannya. Allah sedang menguji kita dengan saudara sesama Muslim kita. Anak itu tahu, bangunan ini dulunya adalah perpustakaan; pusat budaya dan pengetahuan, maka ia harus dibangun kembali sebagaimana adanya. Bukan sebagai rumah jagal.

Apa simbol dari peradaban Islam? Hari ini Anda akan membayangkan pedang dan bendera kalimat tauhid yang berkibar-kibar di medan perang, sebagai simbol peradaban Islam. Padahal, tidak. Secara historis, Jonathan Lyon (2013), tak bisa menolak bahwa simbol itu sebenarnya adalah Ka’bah, Bait al-Hikmah, observatorium, madrasah, universitas, rumah sakit, astrolabe, dan Alhambra. Semuanya adalah wujud kesadaran akan cinta Tuhan kepada umat manusia, dan kewajiban mencintai sesama. Karena cinta-Nya, Tuhan berikan kita jiwa dan akal. Maka, akal itu dioptimalkan, diaktualkan, dan jadilah pengetahuan. Dan karena kewajiban cinta pada sesama, pengetahuan itu disebar, dan terus dikembangkan untuk kemanusiaan.

Penyakit dan Obatnya

Seharusnya Anda penasaran, apa yang membuat perpustakaan itu runtuh, dan tak kunjung kembali dibangun. Akan ada penjelasan historis dan sosiologis yang panjang untuk menjawabnya. Tapi, peradaban yang dibangun – dan yang runtuh – tak lain adalah cermin bagi watak manusia itu sendiri. Seringkali kita sudah mencapai puncak, lalu lupa diri, dan akhirnya gagal mempertahankan prestasi. Melihat watak hidup yang memang begitu, Muhammad tak mau orang-orang yang ia cintai terjerumus ke dalam sumur putus asa. Katanya, “Kullu bani Adam khaththa’un, wa khayr al-khaththa’in al-tawwabun.” Artinya: “Kita semua cenderung berbuat salah, dan sebaik-baik kita adalah yang bertaubat dan menyadari kesalahannya.”

Baca Juga  Akal Sehat Kiai Dahlan

Dalam Islam, membangun peradaban yang maju itu sendiri bukanlah tujuan, melainkan sarana. Tujuannya sendiri adalah mendidik hati manusia supaya sadar akan Tuhannya, dan sadar akan kewajibannya atas sesama. Kesadaran tersebut baru bisa tumbuh jika benih cinta yang ditanam, dan disiram juga dengan cinta. Artinya, kebaikan di atas kebaikan – nur ‘ala nur. Sasarannya bukan hanya kedamaian kolektif sistematis dalam ruang publik, melainkan juga kedamaian pribadi yang reflektif dalam ruang batin. Islam selalu merangkai antara iman yang menjadi ciri cinta batiniah, dengan ihsan yang menjadi ciri cinta lahirah.

Membangun Peradan Islam yang Maju

Rangkaian itu disampaikan dengan sangat lugas (baligh/balaghah) dan jelas (fashih/fashahah) oleh Muhammad dalam sabdanya berikut ini: “Ya ayyuha al-nas, ittaqi Allaha haitsuma kunta, wa atbi’i al-sayyi’ata al-hasanata tamhuha, wa khaliqi al-nasa bi khuluqin hasanin.” Ia berbicara dalam posisi berkhutbah, di hadapan pengikutnya yang hadir saat itu. Katanya, “Wahai umat manusia, bertakwalah pada Allah (cintailah Dia, patuhi, dan sadari kehadiran-Nya) di mana pun kamu berada, dan ikut sertakan keburukan itu dengan kebaikan, maka kebaikan pun akan menghapuskannya. Dan, bergaullah dengan sesamamu dengan pekerti yang terbaik.”

Akhirulkalam, penyakit kita, sehingga peradaban berharga yang pernah kita punya, kini sirna, adalah watak manusia yang pelupa dan cenderung melakukan keburukan. Jangan putus asa dengan dosa masa lalu itu. Innama yay’asu min rauhi Allahi hum al-kafirun (Hanya yang menutup hatinya dari Tuhan-lah yang putus asa dari rahmat dan kelapangan Tuhan), kata Al-Quran. Dan obat untuk menyembuhkannya adalah kembali menjadi al-tawwabun – mengedepankan cinta, pengetahuan, dan pengabdian, sebagaimana sabda Nabi di atas yang mengiringkan takwa, pengetahuan akan baik dan buruk, dan pergaulan yang baik dengan sesama.

Editor: Rozy

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds