Perspektif

Peran Kampus dalam Mencegah Kekerasan Seksual

3 Mins read

Perguruan Tinggi (kampus) sejatinya merupakan tempat mempersipkan generasi muda untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan profesional. Tempat generasi terdidik calon-calon penerus estafet kepemimpinan bangsa dalam mengembangkan potensi dirinya dengan knowledge, attitude, dan skill.

Karena kampus menjadi tempat mahasiswa mengembangkan kompetensinya untuk memiliki pengetahuan, kepribadian, dan keahlian sesuai dengan bidang studinya masing-masing, maka seharusnya kampus menjadi tempat yang sehat, aman, dan nyaman bagi semua mahasiswa yang ada di dalamnya.

Kekerasan Seksual di Kampus

Tetapi yang amat disayangkan, pada faktanya, kampus juga bisa menjadi salah satu tempat yang kondusif bagi terjadinya kekerasan seksual seperti yang pernah terjadi di UIN Malang, Undip Semarang, USU Medan, UGM Yogyakarta, dan STMIK Primakara, Bali. Ini merupakan kasus-kasus yang terekspose karena korbannya menjadi penyintas yang mau speak-up ke publik. 

Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus seperti fenomena gunung es, hanya tampak sedikit di permukaan, tetapi yang di bawah permukaan merupakan bongkahan besar. Banyak korban yang tidak berani melapor karena dianggap aib dan tabu. Atau karena adanya upaya meredam untuk menjaga nama baik kampus. Atau jika korban melapor, belum tentu mendapat perlakuan yang proporsional terhadap pelakunya.

Inilah antara lain yang menjadi pembahasan serius dalam diskusi nasional “Peran dan Strategi Catur Dharma Perguruan Tinggi Muhmmadiyah dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan” yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan  (PSIPP) bekerjasama dengan The Asian Foundation (TAF) tanggal 18 September 2020 lalu.

Tidak adanya keseriusan dalam menangani kekerasan seksual membuat korban makin kehilangan harapan terhadap penyelesaian kasusnya. Hal ini terjadi antara lain karena belum tersedia norma hukum yang jelas dan tegas. Amat disayangkan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang diharapkan bisa menutup kekosongan hukum malah dikeluarkan dari program legislasi nasional (prolegnas) 

Baca Juga  Peran Penting Anggota Dewan untuk RUU TPKS di Masa Reses

Modus kekerasan seksual di perguruan tinggi bisa terjadi dalam proses kegiatan belajar mengajar, bimbingan riset dan karya tulis, kegiatan intra atau ekstra kampus, dan aktivitas lainnya. Pelakuknya bisa dosen, mahasiswa, maupun staf. Korbannya juga sama, bisa dosen, mahasiswa maupun staf yang ada di lingkungan kampus.

Fungsi-fungsi perguruan tinggi itu yakni menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat (Tridarma). Atau untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, ditambah Al Islam Kemuhammadiyahan (Caturdarma), dalam implementasinya belum memiliki korelasi satu sama lain. Putusnya korelasi nilai antar darma ikut menjadi faktor pendorong terjadinya kekerasan seksual di kampus.

Mengatasi Praktik Kekerasan Seksual di Kampus

Bagaimana cara mengatasi kekerasan seksual di kampus? Bisa dilakukan secara preventif dan kuratif. Secara preventif, bisa melalui; pertama, penguatan norma. Yaitu dengan membuat aturan yang tidak sekadar persuasif, tapi juga punya kekuatan untuk pemberian sanksi yang bisa memberi efek jera.

Kedua, deteksi dini. Yakni mengenali dan mengidentifikasi ciri-ciri pelaku melalui sifat-sifat dan kebiasaannya dalam menyikapi persoalan; serta mengidentifikasi tempat/ruangan yang mendukung kemungkinan terjadinya kekerasan seksual dengan mengawasinya baik secara langsung oleh aparat keamanan maupun tidak langsung melalui pemasangan alat perekam (CCTV).

Ketiga, bimbingan. Yakni untuk membangun kesadaran (awareness) mahasiswa terhadap aspek-aspek yang tekait kekerasan seksual. Mahasiswa yang mengalami kekerasan seksual pada umumnya mereka yang tidak memiliki kepekaan baik pada struktur lingkungan maupun struktur fisiknya sehingga tidak mampu merespon secara cepat dan tepat.

Keempat, konseling. Dengan cara menyediakan tempat dan konselor yang selalu bersedia, baik secara pasif (menunggu laporan) maupun proaktif dengan mendatangi korban.

Kelima, melalui intervensi kurikulum. Yakni dengan memasukkan isu tentang pentingnya pencegahan kekerasan perempuan dalam kurikulum beberapa mata kuliah yang sesuai. Misalnya; mata kuliah agama, psikologi, biologi, Pancasila dan Kewarganegaraan, dan lain-lain.

Baca Juga  Rencana Konser Ambyar dan Sosok Lord Didi dalam Ingatan Pengetahuan
***

Adapun secara kuratif bisa ditempuh melalui; pertama, penegakan hukum, yakni dengan cara memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku tanpa pandang bulu.

Kedua, melalui trauma healing. Yakni dengan cara menyediakan waktu, tempat, dan tenaga profesional untuk mendampingi, menemani, dan menangani para korban kekerasan seksual.

Ketiga, melalui kebijakan afirmatif, untuk mendorong agar korban tetap memiliki semangat dan optimistis untuk menyelesaikan studi baik melalui kuliah tatap muka maupun jarak jauh.

***

Rencana pemerintah seperti disampaikan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Prof Nizam yang akan segera menerbitkan peraturan menteri (permen) guna mencegah dan mengatasi pelecehan serta kekerasan seksual di lingkungan kampus patut kita apresiasi.

Permen bisa dianggap sebagai upaya pemerintah dalam memberikan kepastian dan pelindungan hukum bagi penyintas (korban kekerasan seksual) agar mereka bisa dan bersedia. Misalnya melaporkan kejadian yang dialaminya agar bisa tertangani dengan baik, dan bukan sebaliknya malah distigma dengan keburukan-keburukan yang justru akan memperpuruk kondisi korban.

Yang juga penting adalah bagaimana mengubah mindset bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang bisa diperkarakan secara hukum. Masing-masing warga masyarakat juga seyogianya memiliki kepekaan sosial dalam mengantisipasi kemungkinan adanya bibit-bibit potensi terjadinya kekerasan seksual.

Bila langkah-langkah tersebut bisa kita lakukan bersama-sama, kita punya harapan besar bahwa kasus-kasus kekerasan sesksual di lingkungan kampus bisa dihindari atau setidaknya bisa diminimalisasir.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta dan FISIP UMJ
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds