News

RUU PKS: Tanggapan dan Perspektif Para Tokoh Agama

3 Mins read

IBTimes.ID – Dimensi politik dari RUU PKS tidak bisa diabaikan. Konstelasi politik di DPR tidak bisa dilepaskan dari pendekatan dan lobi-lobi politik. Hal ini tidak selalu diperbincangkan dari aspek akademik, karna bahkan ada beberapa naskah RUU yang tidak menggunakan naskah akademik.

“Pendekatan terhadap ketua atau key person partai politik sekaligus komisi yang menangani memang perlu lebih intensif dilakukan. Ini tidak sederhana. Cara kita menyadarkan bahwa urgensi RUU ini tinggi adalah cara yang tidak mudah,” ujar Abdul Mu’ti.

Mu’ti menyampaikan hal ini dalam sambutannya pada Seminar Nasional Dari Kita untuk Mereka dengan tema “RUU PKS: Perspektif dan Tanggapan Para Tokoh Agama”. Seminar Nasional daring ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD) Jakarta pada Rabu (23/9).

Mu’ti menyampaikan bahwa dimensi agama juga berperan penting. Ia menceritakan bahwa di dalam tubuh Muhammadiyah terdapat sekelompok orang yang memahami teks wahyu secara skriptural. Kelompok skriptural melegitimasi kekerasan suami terhadap istri. Hal ini menjadi penting dalam perjuangan menghapuskan kekerasan seksual.

“Ada juga persoalan budaya. Ada tendensi dimana masyarakat semakin toleran terhadap kekerasan. Sebagian masyarakat memang memiliki kultur kekerasan. Kekerasan sudah menjadi bagian dari sebagian masyarakat,” imbuhnya.

Amin Abdullah sebagai pembicara pertama menyampaikan bahwa gender mainstreaming adalah upaya maraton yang harus selalu ditempuh. Ia menyebut perlu harmonisasi antar berbagai pihak, baik antara LSM, pusat studi, dan elemen politik.

“Namun kita harus tetap optimis. Misalnya, dulu perbudakan adalah hal yang biasa, namun sekarang menjadi hal yang tabu. Jadi jangan menyerah ketika ketika kalah secara hukum. Namun ini adalah perjuangan yang sangat panjang,” ujar Amin.

Baca Juga  Dibuka Beasiswa Kuliah di Al-Azhar Mesir, Seleksi Lewat Kemenag

Menurutnya gender mainstreaming sudah menghasilkan beberapa hal seperti KPAI, Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Wanita, dan lain-lain. Hal ini di sisi lain disumbangkan oleh pendidikan yang baik. Karena tanpa pendidikan yang baik, gerakan gender mainstreaming tidak bisa menghasilkan hal-hal tersebut diatas.

Amin juga menyampaikan bahwa maqasid syariah menjadi aspek yang penting. Maqasid syariah tidak boleh lagi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat proteksi semata, namun juga pembangunan hak-hak asasi manusia.

Dalam seminar nasional tersebut, KH Husein Muhammad menyebut bahwa agama adalah nilai dan norma universal dan budaya. Ketika agama muncul dalam teks, maka teks itu menjadi teks universal sekaligus teks partikular. Teks-teks universal ini mendasari seluruh proses kebudayaan. Sedangkan teks-teks partikular adalah teks yang merespon isu-isu tertentu.

Seluruh ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat partikular. Menurutnya, kebudayaan meliputi banyak hal seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan seterusnya. Karena ayat-ayat partikular menjawab isu-isu spesifik yang terus berkembang, maka tafsirnya juga berkembang. Namun, perkembangan itu dilandasi dengan nilai universal.

“Misi agama ini adalah membebaskan penderitaan manusia dan mengantarkan kepada kebahagiaan. Membebaskan manusia dari dzulumat kepada nur. Dzulumat adalah kegelapan, kegelapan adalah kebodohan, kebodohan adalah ketidakmengertian tentang orang lain, bahwa orang lain memiliki hak yang sama dengan dirinya,” ujar Husein.

Alimatul Qibtiyah menyebut kekerasan adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menyerang, memaksa, atau perbuatan lainnya terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat munculnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran ekonomi. Kekerasan seksual tidak hanya berdampak secara seksual, namun juga berdampak secara fisik, psikologi, bahkan hingga politik.

“Akar penyebab kekerasan terhadap perempuan adalah adanya budaya patriarki dan krisis maskulinitas. Laki-laki merasa tidak menjadi laki-laki lagi karena misalnya istrinya memiliki penghasilan yang lebih. Akhirnya ia mengembalikan jati dirinya dengan melakukan kekerasan terhadap istrinya,” ujar Alim.

Baca Juga  Jelang KUII, MUI Bahas Pengarusutamaan Konten Produktif di Media Sosial

Selain itu, penyebab kekerasan terhadap perempuan adalah paham agama yang misoginis, belum adanya payung hukum, dan faktor ekonomi. Ada 9 bentuk jenis kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Pembicara selanjutnya, Pendeta Sylvana Apituley, menyebut bahwa fenomena kekerasan seksual adalah fenomena gunung es. Selama pandemi, terutama bulan Maret – Juli terdapat 770 kasus inses terhadap anak perempuan dan 571 kasus kekerasan seksual lainnya. Dalam data pemerintah, ada 1962 anak yang telah mengalami kekerasan seksual pada periode tersebut.

“Jelas bahwa kedaruratan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di dunia. Sejak 2013, Komnas Perempuan sudah menyatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual karena dalam waktu satu jam ada 2 sampai 3 kasus kekerasan seksual. Padahal itu 7 tahun yang lalu,” imbuhnya.

Ia menyampaikan bahwa gerakan feminis Kristen menawarkan pendekatan kritik ideologi dan kekuasaan dalam lembaga agama agar kekerasan berbasis gender dapat diselesaikan secara proporsional. Kekerasan seksual berbasis budaya dan agama seolah-olah adalah kejahatan struktural patriarkis yang diterima begitu saja.

Izza Rahman sebagai pembicara terakhir menyebut jenis-jenis pemahaman keagamaan terkait dengan gender ada 3. Yaitu perempuan dianggap tidak setara dengan laki-laki, perempuan dimuliakan tapi belum setara, dan perempuan setara dengan laki-laki. Menurutnya perlu mufassir yang otoritatif dan bebas dari kepentingan.

Reporter: Yusuf

Avatar
1341 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
News

Muhammadiyah dan Arab Saudi Tetapkan Idulfitri 1445 H Jatuh pada Rabu 10 April

1 Mins read
IBTimes.ID – Pemerintah Arab Saudi menetapkan bahwa hari raya Idulfitri 1445 H jatuh pada hari Rabu, 10 April 2024. Keputusan ini berdasarkan…
News

Siswa dan Santri Muhammadiyah Harus Mampu Kembangkan Sains yang Islami

1 Mins read
IBTimes.ID – Siswa sekolah dan santri pondok pesantren Muhammadiyah harus memiliki kemampuan dalam mengembangkan sains yang tidak dilepaskan dari nilai-nilai keislaman. Hal…
News

Pengarusutamaan Moderasi Beragama untuk Generasi Muda

2 Mins read
IBTimes.ID – Pegiat Pendidikan Indonesia (Pundi) mengadakan Talkshow Ramadhan bertajuk “Haedar Nashir dan Pengarusutamaan Moderasi Beragama” di aula Ada Sarang, Banguntapan, Yogyakarta…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *