Kita kembali menengok ke belakang, kondisi kebangsaan sempat terguncang, perhelatan Pemilu tahun 2019 menciptakan sekat polarisasi di tengah masyarakat. Aspirasi politik identitas menguat sejak pasangan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kepleset lidah saat berpidato di hadapan warga Kepuluan Seribu. Sehingga berbuntut pelaporan oleh sebagian yang mengaku perwakilan umat muslim karena dituding menistakan agama.
Peristiwa pelaporan tersebut berujung pada pemenjaraan Ahok. Kita kembali menelisik sebelum mendekam di jeruji besi, gelombang demonstrasi besar-besar terjadi sebagaimana yang terlihat dari demonstrasi 212 yang menuntut Ahok untuk dihukum. Sejak kasus tersebut, aspirasi teologis mewarnai dinamika perkembangan di akar rumput.
Tafsir Pancasila Menurut Bung Karno
Pancasila tentu saja memiliki peran yang sangat signifikan dalam dinamika demokrasi bangsa, terutama di era digital saat ini. Bung karno dalam memandang sila pertama, beliau menyebutkan sebagai: “Ketuhanan yang Berbudaya”. Ini adalah penegasan, masyarakat Indonesia bukan anti agama. Justru menjunjung tinggi nilai ketuhanan di tengah penghormatan atas kebebasan berkeyakinan dalam beragama.
Kelahiran Pancasila memang dirancang menjadi ideologi yang plural, yang tidak memandang rendah perbedaan. Negara menjamin semua rakyat bebas berkeyakinan. Semangat ini merekatkan solidaritas di tengah diferernsiasi dalam bentuk apapun. Menjadi manusia beragama linear dengan cinta kepada bangsa.
Bagi Bung Karno, beragama itu mengutamakan substansi, bukan sebatas kulit luaran. Ujaran kebencian atas paham lain seperti tuduhan bid’ah, kafir dan lain-lain yang mengemuka di ruang publik akhir-akhir ini tentu tidak sejalan dengan sila pertama.
Hal ini mungkin sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Muhammad Abduh di mana merasa menemukan Islam di negeri barat namun menyaksikan muslim tanpa Islam di sejumlah tanah Arab.
Sementara itu, sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” rasanya mustahil tanpa melibatkan petunjuk teologis. Kemanusiaan selalu berkaitan dengan ketuhanan. Kemanusiaan dan rasa adil dapat dimungkinkan apabila mengenal ketuhanan sebab agama mengecam kejahatan sebagai sesuatu yang terkutuk.
Selain itu, sila ketiga “Persatuan Indonesia” adalah upaya merekatkan kemajemukan yang merupakan modal sosial. Sejak awal negara ini dianugerahi keberagaman secara kultural, terbukti tahan banting terhadap tantangan multikulturalisme.
Kebhinnekaan merupakan keberkahan memulai bernegara, beragam suku, bahasa dan budaya. Indonesia lahir bagi semua golongan. Sudah otomatis sebagai warga negara memikul tanggungjawab membelah tanah air dan menjunjung tinggi Nasionalisme.
Di Indonesia, perbedaan tidak lantas membuat orang saling menegasi satu sama lain. Di situlah poin ketiga Pancasila. Hal ini berkaitan erat dalam konteks nasionalisme yang seringkali didengungkan oleh Bung Karno.
Nasionalisme dan islam menurut beliau saling menguatkan di antara keduanya. Sehingga muslim di mana pun berada akan selalu memperjuangkan kepentingan bangsanya.
Landasan Dalam Demokrasi
Sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sesungguhnya bukan terbatas pola one man one vote seperti kata istilah yang dikenal di masa sekarang ini. Musyawarah dan mufakat adalah jalan terakhir apabila tidak menemukan titik temu.
Artinya, dalam mencapai suatu keputusan politik bukan bertumpu pada suara terbanyak, melainkan lebih dulu menempuh jalan mufakat melalui perbincangan mencapai kesepakatan yang membawa prinsip kebaikan bersama.
Apabila kita membaca pemikiran filsuf Jerman, Jurgen Habermas, demokrasi yang diusung Indonesia lebih dekat bercorak demokrasi deliberatif. Dalam demokrasi yang demikian, kolektivitas dikedepankan di samping kebebasan individu perihal kebebasan berpendapat diberikan kesempatan untuk menggaktualisasikannya.
Dalam demokrasi, hendaknya dibutuhkan subjek politik yang dibekali keutamaan publik sebagai pra kondisi. Individu yang keras kepala terhadap versi kebaikannya masing-masing jelas membuat mufakat menemui jalan buntu.
Terlepas dari itu, demokrasi kita sesungguhnya demokrasi permusyawaratan, bersifat inklusif dan imparsial, menyediakan kesempatan partisipatif seluasnya demi melahirkan konsesus. Suara mayoritas bukan pertimbangan satu-satunya melainkan sebagai perbincangan dalam proses demokratis.
Menurut Yudi Latif dalam Revousi Pancasila, Bung Hatta menyamakan demokrasi musyawarah layaknya berembuk di desa. Berunding untuk mencapai mufakat. Rasionalitas publik adalah modal utama demi menghasilkan keputusan yang mengakomodir kepentingan bersama. Urusan publik diputuska secara hikmat kebijaksanaan dan kekeluargaan. Kesetaraan diberikan tempat. Apapun hasilnya tidak merusak persaudaraan.
Kemudian, kita masuk kepada sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Tampaknya sila kelima ini berbicara tentang ekonomi. Ada yang menyebutkan corak ekonomi kita pada dasarnya sosialisme.
Bagi Bung Karno, sosialisme Indonesia adalah jalan mencapai keadilan. Di sana tersimpan frase gotong royong. Pergerakan bisnis apapun ditujukan bagi kemanfaatan bersama bukan segelintir elite pemodal yang berhasrat mengeruk untung semata. Kemudian muncul teknis operasionalnya, di mana Bung Hatta melihat perlu dibentuk koperasi sebagai unit usaha untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.
Problem Demokrasi Bangsa Kekinian
Kita semua sepakat Pancasila adalah pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Pada judul kali ini, ada baiknya kita menggarisbawahi pembahasan tentang demokrasi dan sila keempat dari Pancasila serta kaitannya dengan kondisi kekinian. Yang secara formal Indonesia cukup demokratis sebab telah menjalankannya secara prosedural.
Menurut laporan Freedom House bertajuk pada “Demokrasi in Retreat (Freedom in The World” menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 68 negara yang mengalami penurunan soal hak-hak politik dan kebebasan sipil. Tentu ini bukan sekedar ranking ataupun angka, laporan tersebut sekaligus tamparan keras bagi kita untuk selalu berbenah.
Di Indonesia, kebebasan berpendapat dirayakan gagap gempita, media menjamur dan pemilu diselenggrakan rutin. Tetapi dalam rangka mencapai demokrasi secara substansial masih membutuhkan waktu yang lama.
Di saat persoalan perut belum terlalu tuntas, pencoblosan dalam sebuah pemilihan bukan mustahil berlangsung seperti pasar bebas yang mempertimbangkan logika dalam berdagang.
Itulah kenapa demokrasi kita seringkali dipandang oligarkis disebabkan ongkos politik yang setinggi langit memungkinkan bohir ekonomi mengendalikan urusan politik. Suara mudah dibeli bahkan lewat sekantung sembako. Rupa-rupa kandidat terpaksa mengeluarkan untuk apa yang disebut “serangan fajar”.
Dalam demokrasi, segalanya berpeluang mungkin. Diktator mayoritas bakal mengubah apapun. Bung Karno, pada 1 Juni 1945 seakan bersikeras bahwa Indonesia semacam pandangan tentang dunia dan kehidupan dalam menjalankan bangsa dan negara.
Solusi Probematika Bangsa
Problematika demokrasi bangsa menjadi pembahasan yang tak kunjung menemui solusinya. Ditambah lagi dengan teknologi yang semakin berkembang pesat dan cepat menambah kesulitan dalam mengatasinya. Pada saat ajang Pemilu tiba, di saat itulah kesadaran demokrasi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila akan diujinya.
Kini, bangsa Indonesia dihadapkan pada sejuta tantangan yang membuka segala kemungkinan. Rasanya, Pancasila telah final, meskipun di depan potensi apapun bisa terjadi. Tugas kita bersama bagaimana merumuskan seraya memperkuat supaya cita-cita itu beroperasi sesuai zamannya.
Saat ini, Pancasila dan demokrasi harus saling menguatkan. Semestinya demokrasi yang dijalankan merujuk ajaran-ajaran Pancasila. Lantas, saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa Pancasila sebagai solusi dalam problem bangsa yang ada. Dengan sila keempat yang menjadi landasan dalam berdemokrasi.
Editor: Rifqy N.A./Nabhan