Oleh: Mahfut Khanafi*
Di era modern, penggunaan teknologi dan internet menjadi sebuah keniscayaan. Realitas tersebut memiliki sisi negatif dan positif, terutama dalam konteks fenomena pembelajaran agama. Dewasa ini, semakin banyak orang belajar agama melalui media sosial baik dari Facebook, Instagram maupun Youtube. Implikasi salah satunya adalah meningkatnya kesalehan sosial masyarakat yang semakin memenuhi ruang-ruang dunia maya.
Tren Konservatisme
Tren ini semakin meningkat misalnya ditandai dengan munculnya banyak gerakan-gerakan hijrah di kalangan anak muda. Hal ini pernah disampaikan oleh Leonard Sebastian dan Andar Nubowo dalam sebuah tulisan yang bertajuk The ‘Conservative Turn’ in Indonesian Islam: Implications for the 2019 Presidential Elections. Dalam tajuknya, disebutkan bahwa kelompok muslim milenial di Indonesia mengilhami apa yang mereka sebut sebagai the new cool dalam melihat konservatisme islam.
Mereka juga menemukan bahwa terdapat kecenderungan terjadinya erosi signifikan pada kemampuan dua organisasi Islam moderat utama di Indonesia yakni Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama (NU) untuk bertindak sebagai benteng melawan Islam konservatif dan menjalankan kepemimpinan pemikiran spiritual dalam mendukung Islam moderat.
Dalam konteks perkembangan sosial media, fenomena konservatisme Islam ini juga didukung dari banyaknya pendakwah yang mengunakan media sosial sebagai platform dakwah. Argumentasi ini didukung oleh penelitian Annemarie van de Weert yang berjudul Jihad-Fighters Carry Guns and A Facebook Account : How Social Media Affect Jihad as A Popular Cult-Phenomenon yang mengatakan bahwa para jihadis dan radikalis dibeberapa negara mendapatkan doktrinasi mereka melalui dakwah-dakwah sosial media.
Di Indonesia sendiri, berkembangnya kelompok-kelompok penganut konservatisme ini disebut-sebut berkorelasi dengan praktik-praktik intoleransi yang terjadi dalam ruang publik di Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan hasil survei Setara Institute tentang Indeks Kota Toleransi di Indonesia. Sepuluh kota yang masuk dalam daftar papan bawah indeks tersebut secara berurutan adalah Sabang (3.757), Medan (3.710), Makassar (3.637), Bogor (3.533), Depok (3.490), Padang (3.450), Cilegon (3.420), Jakarta (2.880), Banda Aceh (2.830), dan Tanjung Balai (2.817) yang menempati posisi terbawah.
Oleh sebab itu, penulis ingin mengupas korelasi yang terjadi antara peningkatan kesalehan di media sosial, intoleransi, serta dimana peran pesantren dalam menyikapi fenomena tersebut?
Dakwah Media Sosial
Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika. Realitas tersebut menunjukkan bahwa hampir 100 juta lebih orang Indonesia mengakses informasi melalui smartphone.
Kebiasaan baru masyarakat Indonesia yakni berguru pada internet inilah yang kemudian memunculkan banyak perubahan sosial. Salah satunya adalah pola belajar agama yang kini juga telah mengalami pergeseran. Di era kekinian dakwah tidak lagi dilakukan secara konvensional, datang ditempat ibadah melakukan ceramah ataupun bertemu langsung.
Kegiatan dakwah sudah mengalami tranformasi dengan megunakan jejaring sosial, tanpa mengharuskan orang untuk bertatap muka secara langsung. Dakwah mengunakan media sosial memang lebih banyak diminati karena setiap orang dapat mengaksesnya. Sehingga dakwah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk bahkan secara kreatif, selama tujuan yang dicapai adalah kebaikan dan kemanfaatan kepada manusia.
Dakwah atau mensyiarkan ajaran agama merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan beragama. Dalam konteks islam, dakwah menjadi salah satu upaya penyebaran ajaran agama dengan menempatkan tokoh sebagai ikon yang mampu mendatangkan banyak pengikut. Perintah dakwah sendiri memang terdapat dalam kitab suci Al-Quran salah satunya di QS. An-Nahl ayat 125 yang menyatakan bahwa dakwah semestinya dilakukan dengan cara baik, menyeru kepada kebaikan (mau’idzah hasanah) dan harus dapat memberikan manfaat kepada orang lain (bil hikmah).
Salah satu yang kini tengah menjadi trendsetter di Indonesia adalah seorang pendakwah muda lulusan Universitas al-Azhar Mesir, Hanan Attaki. Ia adalah salah satu ustaz yang menggagas konsep Pemuda Berhijrah dengan metode pendekatan kultural terhadap komunitas-komunitas anak-anak muda, seperti komunitas pecinta sepeda BMX, musik underground atau skateboard.
Komunitas Pemuda Hijrah yang digagas Hanan, masif menyebarkan konten dakwahnya di media sosial dalam bentuk suara, grafis, atau video pendek yang menarik dan mengandung pesan-pesan moral kepada masyarakat. Bahkan akun @pemudahijrah kini memiliki pengikut mencapai 402 ribu orang. Ia bahkan berhasil menyasar anak-anak muda untuk mengikuti ceramah-ceramahnya secara offline.
Darurat Konservatisme Media Sosial
Namun dakwah mengunakan media sosial juga mempunyai banyak kekurangan. Sebab materi yang di sampaikan terlepas dari latar belakang konteks sosial pendengarnya. Artinya tidak semua pendengar mempunyai pemahaman yang sama terkait apa yang disampaikan pendakwah melalui media sosial. Sehingga aktivitas dakwah tersebut kini cenderung mendatangkan perdebatan di ruang maya karena berkorelasi terhadap tingkat pemahaman dan meningkatnya cara pandang konservatisme yang menyebar dikalangan masyarakat.
Dakwah melalui media sosial dapat mengkonstruksi opini seseorang, membanggakan kelompoknya, membuat tidak tenang, atau yang lebih ekstrem dapat membuat seorang menjadi radikal. Idealnya, dakwah dapat memperkuat solidaritas sosial bukan membuat sekat sosial. Dalam Islam dakwah seharusnya mengajak kepada kebaikan dan menjahui segala keburukan sekaligus memberikan rasa kedamaian. Namun akhir-akhir ini banyak kita temukan di media sosial bahwa esensi dakwah sudah mengalami pergerseran dalam realitanya.
Selain itu, dalam konteks politik, banyak ustaz gemar menyebarkan ceramah-ceramah yang menyebarkan kebencian. Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa Habib Bahar bin Smith yang harus mendekam di balik jeruji besi akibat ujaran kebencian yang ia pertontonkan melalui dakwah. Ditambah, platform media sosial kini banyak diisi oleh figur-figur yang menganut paham konservatif.
Dalam kadar tertentu, para pendakwah konservatif ini lebih aktif dalam menyuarakan wacana dakwahnya melalui media sosial. Setidaknya dibanding dengan kelompok moderat yang cenderung lebih dulu menganalilis persoalan sebelum kemudian merespon ataupun memberi ceramah. Sehingga, gejala ini tentu saja berbahaya bagi masa depan keberagaman di Indonesia.
Hal tersebut yang kemudian menjadi penyebab kenapa banyak orang akan lebih cenderung menyukai penceramah atau pun ustaz-ustaz seleb dadakan. Karena selain mudahnya akses terhadap sumber-sumber digital, mereka juga masif dan terstruktur dalam menyebarkan konten dakwah mereka.
Pentingnya Budaya Pesantren
Dalam konteks pendidikan, pesantren merupakan salah satu institusi pendidikan yang terbilang unik. Hal ini sempat digambarkan oleh Abdurrahman Wahid melalui konsep pesantren sebagai subkultur. Konsep ini didasarkan pada pendekatan sosiologi yang mengatakan bahwa subkultur merupakan sekelompok pola perilaku yang tetap memiliki hubungan dengan kebudayaan umum suatu masyarakat, tetapi pada bagian tertentu memiliki kekhususan yang dapat dibedakan dengan pola yang berlaku secara umum dalam masyarakat.
Selain Gus Dur, Cendekiawan muslim lainya seperti Nurcholis Madjid juga memiliki pandangan unik terhadap kurikulum pesantren. Cak Nur melihat kurikulum pesantren memiliki dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan yang menggambarkan corak pendidikan progresif dan spiritualitas.
Keunikan budaya pesantren di antaranya. Pertama, pendidikan akhlak. Dimaknai bukan hanya sekedar pada pendidikan etika namun lebih kepada permasalahan pola ucap dan pola sikap. Manusia bisa dianggap berakhlak ketika kehidupan yang dijalaninya seimbang antara ucapan,tindakan, fikiran, dan hati.
Kedua, pendidikan sosial. Di mana pesantren mengajarkan tentang bagaimana kehidupan bersosialisasi dan bersikap setara. Kehidupan santri banyak mencerminkan tentang bagaimana seharusnya seseorang hidup bertoleransi di tengah masyarakat. Santri diajarkan tentang kepekaan sosial tanpa melihat status sosial dan kekayaan. Sehingga pesantren mengajarkan santrinya untuk berfikir oposisi-binner, artinya pesantren mengajarkan bahwa perbedaan itu sebuah keniscayaan atau sunattullah. Perbedaan tidak perlu diperdebatkan, akan tetapi disikapi secara arif agar bisa berjalan beriringan.
Ketiga, sanad keilmuan. Dalam tradisi pesantren memang ada beberapa syarat dan ketentuan tertentu dalam mempelajari ilmu khususnya dalam hal sanad. Sanad ini memberikan penjelasan tranmisi dari mana ilmu ini didapat dari seorang guru sampai kepada nabi Muhammad SAW. Dengan kejelasanan sanad ini maka segala yang dipelajari di pesantren bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, kebenaran ilmu yang dipelajari di pesantren dapat dikatakan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Di pesantren juga, para santri akan dikenalkan terhadap pelajaran keagamaan yang mencakup fiqh, tasawwuf, nahwu, shorof, tauhid, tajwid hingga tafsir. Rujukan pembelajaran yakni teks-teks kitab kuning yang telah melalui fase penafsiran yang cukup panjang sejak dari zaman turunnya Al-Qur’an dan Hadis hingga ke masa sekarang.
Pesantren Seharusnya
Pendidikan pesantren sebenarnya sudah banyak melakukan perubahan dalam menjawab tantangan zaman. Namun di era modern dengan arus informasi yang cepat, perubahan sosial juga berubah dengan cepat sehingga perlu inovasi yang harus segera diadopsi supaya pesantren tetap menjadi acuan pendidikan di Indonesia. Ada beberepa hal yang perlu dilakukan oleh pesantren dalam merespon perubahan era digital atau media sosial ini.
Pertama, Pesantren harus melek teknologi. Teknologi dan penggunaan IT tak bisa lagi dipisahkan dalam kehidupan pesantren. lembaga pendidikan pesantren perlu meningkatkan kualitas dengan menggunakan sarana teknologi, baik untuk sarana pembelajaran maupun sarana penunjang. Hampir sama seperti sekolah umum, di pesantren juga harus memanfaatkan teknologi internet untuk pengajaran. Kenapa hal tersebut penting agar para santri tidak ketinggalan informasi dan tidak kaget ketika nantinya mereka keluar dari lingkungan pondok pesantren dan terjun ke masyarakat.
Kedua, memasifkan media sosial sebagai media dakwah para Kiai. Melihat banyaknya faham intoleran memang pondok pesantren juga harus terbuka secara luas dalam memberikan pencerahan dan pendapatnya melalui media sosial agar ruang maya tidak dipenuhi oleh wacana-wacana yang keras dan intoleran serta mendahulukan kepentingan kelompok dan pribadi. Idealnya para santri juga dapat merekam aktivitas pondok pesantren dan kemudian membagikan di media sosial.
Ketiga, Moderatisme pesantren. Lembaga pendidikan pesantren harus membuka diri dari segala perubahan di era digital. Pesantren harus mampu mengkombinasikan hal-hal positif baru tanpa meningalkan hal-hal lama yang baik.
***
Jika pesantren mengambil peran secara masif, bukan tidak mungkin Moderasi Islam di Indonesia akan segera dicapai. Islam Rahmatan Lil ‘Alamin-pun akan memenuhi ruang-ruang sosial kemasyarakatan.
*) Direktur Kenanga Institute