Perspektif

Santri Indonesia sebagai Duta Perdamaian Dunia

4 Mins read
Oleh: Finka Setiana Adiwisastra*

 

Bermula dari fatwa Resolusi Jihad KH. Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945 atas pertanyaan Bung Karno mengenai hukum mempertahankan kemerdekaan dengan melawan penjajah maka Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan ini ditegaskan melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015 sebagai bentuk apresiasi terhadap santri. Sehingga menarik untuk menelusuri peran santri Indonesia sebagai duta perdamaian dunia.

Resolusi Jihad yang dikeluarkan ulama semata-mata untuk membakar semangat rakyat. Termasuk santri agar bergabung dalam laskar-laskar perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan penjajah. Peringatan hari santri nasional menjadi bagian dari tonggak sejarah perjuangan para santri melawan kolonialisme dan imperialisme. Sejarah pun akhirnya mencatat santri memiliki peranan penting yang sudah rela berjuang dengan jiwa raganya untuk kemerdekaan Indonesia.

Santri Indonesia sebagai Duta Perdamaian Dunia

Menteri Agama RI berkolaborasi dengan Menteri Luar Negeri RI untuk mengusung tema “Santri untuk Perdamaian Dunia” pada peringatan Hari Santri Nasional 2019. Kali ini temanya berskala internasional. Sebelumnya pada tahun 2018 sekedar tema “Bersama Santri Damailah Negeri” yang sifatnya domestik.

Tujuan diusungnya tema “Santri untuk Perdamaian Dunia” ini untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara muslim moderat terbesar di dunia. Agar menunjukkan kontribusi nyata untuk perdamaian dunia. Juga menghilangkan stigma tentang pendidikan Islam sebagai sumber ajaran ekstremisme dan radikalisme.

Santri untuk Perdamaian Dunia juga diharapkan dapat memaksimalkan kontribusi Indonesia selama menjadi Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB periode 2019-2020. Bahwa Indonesia ingin memproyeksikan nilai-nilai moderasi Islam dan toleransi. Serta menonjolkan kiprah santri dan pesantren dalam merealisasikan perdamaian dunia. Melalui gagasan kontra kolonialisme, radikalisme, terorisme, dan ekstremisme.

Tema yang diusung “Santri untuk Perdamaian Dunia” relevan dengan keadaan kekinian dalam mengukur sejauh mana peran santri dan pendidikan pondok pesantren untuk dunia. Berbagai belahan dunia pernah mengalami konflik yang cukup mencekam dan korban dari semuanya adalah umat Islam.

Baca Juga  Omnibus Law ‘Jalan Tol’ Rezim Jokowi (Bagian 2)

Gaya Hidup dan Peran Santri di Dunia

Konflik tergambar jelas ketika bencana kemanusiaan terjadi pada penduduk sipil Rohingya yang termarjinalisasi di Myanmar. Krisis keamanan terjadi di Afghanistan, Sudan, dan Yaman. Begitu pula perseteruan yang panjang dalam kolonialisme Israel kepada Palestina.

Santri yang beriringan pesantren sebagai pengayom dalam membantu dakwah moderasi Islam. Membentengi akidah umat dan mewariskan karakter luhur di Indonesia sudah cukup menjadi modal dalam merealisasikan perdamaian dunia.

Sejatinya gaya hidup santri yang humanis, inklusif, mandiri, sederhana dan toleran yang pernah penulis rasakan juga saat belajar di pesantren rasanya dapat diaktualiasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Para cendekiawan bahkan sering merujuk kepada pesantren tatkala berkaitan tentang pentingnya pendidikan karakter. Artinya pesantren dikategorikan sebagai institusi yang berhasil menanamkan karakter secara praktis pada santri, sehingga dapat diteladani oleh banyak orang.

Pesantren berperan aktif dalam mengembangkan budaya ukhuwah islamiyah, toleransi, hidup sederhana, hidup hemat, hormat pada guru, santun, gotong royong, dan budaya hidup bermasyarakat bagi santrinya. Pada kenyataannya pesantren menjadi role model pendidikan Islam. Menjadi laboratorium perdamaian dan sub sistem dalam kehidupan di masyarakat sebagai aktualisasi hablum minannaas.

Dengan modal yang cukup dari pola hidup seorang santri disertai dukungan pesantren akan memaksimalkan kiprah santri untuk terlibat di parade Internasional. Terutama dalam merealisasikan perdamaian dunia di tengah dinamika internasional yang konfliktual.

Santri dan Ragam Ilmu Pengetahuan

Selain karakter-karakter luhur yang ditanamkan pesantren, santri juga turut aktif dalam menyelami samudra ilmu pengetahuan secara luas di pesantren sebagai pendukung dari terealisasinya perdamaian dunia. Pesantren mendidik para santrinya untuk dapat menjadi seorang pembelajar yang berfikir secara luas dan merdeka.

Berbagai referensi kitab klasik hingga kontemporer yang lokal maupun internasional sudah menjadi makanan sehari-hari bagi santri. Tergambar dari kesehariannya yang rutin belajar dan terus belajar dengan kitabnya. Gawai berganti menjadi kitab yang senantiasa dibawa santri kemanapun.

Baca Juga  Muhammadiyah, Pilpres 2024, dan Interpretasi Paul Ricoeur

Santri mempelajari banyak varian ilmu pengetahuan mulai dari ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi di pesantren tanpa mengenal dikotomi keilmuan. Memang identiknya santri terbiasa mempelajari ilmu pengetahuan Islam, namun santri pun tak lupa mempelajari ilmu pengetahuan umum lain.

Santri senantiasa dituntut untuk dapat menyeimbangkan dua spektrum besar keilmuan antara wawasan keislaman dan wawasan umum. Tujuannya supaya kelak santri akan menjadi excellent personality dengan berbekal ilmu pengetahuannya yang melimpah.

Dimulai dari Peran Santri untuk Bangsa

Sebelum menunjukkan peran santri Indonesia sebagai duta perdamaian dunia, maka alangkah baiknya terlebih dahulu santri mengatasi polemik bangsanya sendiri. Berupa disintegrasi nasional dengan sentimen agama dan ras.

Santri harus mampu merawat integrasi nasional agar tidak terjadi perpecahan yang diakibatkan oleh sentimen agama berbalut semangat rasialisme. Seperti konflik komunal yang pernah terjadi di Papua dan Papua Barat, terutama fenomena kemanusiaan di Wamena, Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus  diselesaikan untuk segera ditata kembali hubungan antar agama dan golongan di dalamnya.

Santri harus menunjukkan peran dengan membangun kesadaran bahwa eksistensi Indonesia bersifat majemuk dan akan tetap bertahan dengan merawat kemajemukan. Pesantren merupakan miniatur Indonesia yang di dalamnya diajarkan kepada para santri untuk dapat hidup di tengah kemajemukan ras, budaya, suku, dan bahasa dengan didukung sikap toleransi.

Nasionalisme Indonesia harus dibangun atas landasan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang termaktub dalam tubuh Pancasila. Sebaliknya sikap atheisme, liberalisme, sekularisme, separatisme, dan rasialisme menjadi benih-benih ancaman nasional yang utama.

Tiga Langkah untuk Peran dalam Perdamaian Dunia

Adapun konteks perdamaian dunia yang harus direalisasikan oleh santri dapat direalisasikan dengan modal luasnya ilmu pengetahuan dan luwesnya karakter santri yang didapatkan selama belajar di pesantren. Santri dapat menyebarluaskan nilai-nilai universalisme yang bernafaskan nilai-nilai Islam yang humanis kepada dunia.

Baca Juga  Negara Tidak Boleh Bermazhab: Menolak Rezimitasi Agama

Salah satunya yang pertama dengan nilai moderasi Islam (al-islam al-washathiyyah). Santri harus menjadi duta Islam yang bepikir dan bersikap atas dasar moderasi Islam yang menolak segala bentuk ekstremitas dalam kehidupan beragama dan pergaulan sesama manusia.

Santri juga harus menjadi teladan terkait dengan sikap moderat yang diajarkan Islam untuk masyarakat luas. Tetap berada di jalan tengah, tidak ekstrem ke kanan juga tidak ekstrem ke kiri.

Kedua, sikap tasamuh (open minded) yang harus dimiliki santri untuk perdamaian dunia atas segala perbedaan yang terjadi. Khususnya perbedaan kebudayaan yang diakibatkan oleh semakin derasnya arus perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0 yang interaksinya kian tanpa sekat.

Nasionalisme yang bernafaskan kemanusiaan harus diutamakan dalam hal ini, tidak terperangkap pada sikap chauvinisme. Interaksi yang terjadi dengan tanpa sekat menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa maupun agama yang sumbernya tertuju pada sikap fanatisme yang mengganggu stabilitas sosial.

Dengan sikap santri yang tasamuh didorong dengan sikap ta’aruf (saling mengenal), menumbuhkan salam (kedamaian), menyuburkan rahmah (kasih sayang), menjauhi sikap tanaakur (saling menolak), dan menghindari dari harb (peperangan) dapat menangkal fanatisme. Secara harfiah sikap seseorang yang tertutup dengan keyakinan dan pikirannya kemudian menganggap orang lain yang berbeda dengannya adalah musuh yang harus dilawan.

Ketiga, al-i’tilaf yang berarti harmoni. Santri harus mampu selaras antara keyakinan dengan sikap dan mensinergikan segala perbedaan dengan ikhlas. Dengan harmoni akan tercipta tatanan kehidupan yang indah, teratur, dan penuh kasih sayang.

 

*) Mahasiswa Hubungan Internasional UNILA

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *