Inspiring

Resolusi Jihad Buya Sutan Mansur

2 Mins read
Oleh: Fikrul Hanif Sufyan*

 

Tidak banyak warga Muhammadiyah yang menyadari. Bahwa setelah berita proklamasi kemerdekaan, pimpinan Konsul Muhammadiyah Minangkabau A.R Sutan Mansur, atau akrab disapa Buya Sutan Mansur, pernah mengeluarkan resolusi jihad.

Kisah ini, bermula dari kesaksian Kasim Munafy–seorang aktivis juga pimpinan Muhammadiyah Daerah Padang Pariaman, dalam manuskripnya.  Pemuda Kasim yang aktif di kepanduan Hizbul Wathan pada Februari 1943, dikirim oleh Sidi M. Ilyas. Ia mengikuti program Algeemene Kennis Muhammadiyah Minangkabau.

Datangnya Berita Kemerdekaan

Dalam latihan kepemimpinan selama 15 hari itu, Kasim dikader oleh Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Rasjid Idris, Malik Ahmad, Iskandar Zulqarnaini, Abdullah Kamil, dan Yakub Rasjid. Pengkaderan di Muhammadiyah Minangkabau, juga dibantu guru-guru muda Kulliyatul Muballighin Padang Panjang. Seperti Raden Sulaiman (pengajar mars Muhammadiyah, HW, dan Pemuda Muhammadiyah), Adam (mata pelajaran Sejarah), Datuk Sinaro Panjang (administrasi persyarikatan) (Kasim Munafy, 1984: 17).

Dalam pengkaderan, Kasim menuturkan, para peserta dibimbing mentor yang berasal dari pimpinan Konsul ataupun guru-guru Kuliyatul Muballighin Muhammadiyah. Kadang-kadang sampai  15 hari lima belas malam lamanya.

Periode berikutnya, tepatnya pada 15 Agustus 1945, kembali Kasim diutus Cabang Pariaman, mengikuti kursus di Kauman Padang Panjang. Kursus dilaksanakan dua hari jelang kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.

Berita kemerdekaan Indonesia itu diterima orang Minang pada waktu yang bervariasi, mulai dari tanggal 17 Agustus sampai 22 Agustus 1945. Sebaran pertama terjadi di Bukit-tinggi—diawali pegawai PTT bernama Ahmad Basya menangkap berita Proklamasi yang disiarkan kantor Domei Bandung (Haluan, 15 Agustus 1975).

Lalu berita itu diketik Asri Aidid gelar St. Rajo Nan Sati sebanyak 10 rangkap. Selanjutnya dibawa diam-diam keluar gedung dan ditempelkan di lokasi-lokasi penting di Bukittinggi malam itu juga.

Baca Juga  KH. Badri Mashduqi: Menelisik Hubungan Ulama dan Umara’

Resolusi Jihad 

Pada 18 Agustus 1945 selebaran itu terbaca oleh beberapa orang, dan segera tersebar melalui lisan. Selain selebaran, berita kawat diterima Adinegoro—yang menjabat Sekretaris Chuo Shangiin. Namun, ia masih ragu-ragu. Sekelompok pemuda revolusioner kemudian meminta berita kawat tersebut, dan menyerahkannya kepada Moh. Safei  tanggal 19 Agustus 1945.

Sorenya, Moh. Syafei mengadakan rapat di rumah dr. Rasyidin, Padang Panjang. Dalam pertemuan itu disepakati, untuk memperbanyak selebaran dan berita kawat itu. Kemudian berita kawat disebarkan secara diam-diam ke berbagai kantor pemerintah, serta masyarakat.

Pada suatu Kuliah Subuh tanggak 19 Agustus 1945 diantarkan oleh Buya Sutan Mansur. Setelah membuka kajian selama tiga menit, menantu Haji Abdul Karim Amrullah itu memberitakan proklamasi kemerdekaan Indonesia telah ia terima. “…bahwa Proklamasi  Kemerdekaan  Indonesia  telah dikumandangkan oleh Dwitunggal  Indonesia Soekarno-Hatta.”. kenang Kasim dalam manuskripnya.

Sontak saja, seluruh peserta meluapkan kegembiraannya. Para pemuda HW dan peserta kader seakan tidak percaya. Bahwa Indonesia telah lahir dan mereka bebas dari cengkeraman penjajahan. Sutan Mansur yang masih diliputi kegembiraan itu, langsung berdiri. Dengan suara lantang ia berbicara,

“Pulang!  Jam ini  kursus  kader  ini  ditutup. Saudara-saudara semua cepat pulang. Asah ladiang, kampak dan tombak  Hari yang kita nanti-nanti telah tiba dan kita tidak boleh berlalai-lalai. Bentuk barisan untuk  perang, perang dan perang. Proklamasi menghendaki perjuangan secara gigih. Sebentar lagi Belanda tentu akan datang membonceng dengan tentara sekutu baratnya. Belanda akan merebut kembali tanah air kecintaan  bangsa Indonesia ini. Belanda telah lama mempunyai pendirian, kalau Indonesia merdeka, lepas dari tangan Belanda itu akan berarti  karamnya negeri Belanda!”

Ipar HAMKA itu tentu menyadari, bahwa proklamasi adalah kemenangan sesaat, bila tidak ditindaklanjuti dengan langkah konkrit, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. “Sekarang juga kursus ini Saya tutup! Dan kita semua kembali pulang ke negeri masing-masing dalam rangka mempersiapkan diri  untuk perang  melawan  Belanda dengan  senjata apa yang ada.”.

Suasana diakhiri dengan pekik merdeka dari peserta Algemene Kennis Muhammadiyah. Resolusi jihad dari Buya Sutan Mansur inilah yang menjadi titik awal berkobarnya semangat pimpinan dan warga Muhammadiyah Sumatera Barat. Melawan kembalinya Belanda ke Tanah Air.

Baca Juga  Emansipasi ala Kartini dan Masa Depan Perempuan Indonesia

 

*) Pemerhati sejarah lokal dan Ketua Litbang PUSDAKUM Muhammadiyah Wilayah Sumatera Barat

Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *