Perspektif

Peran Strategis Guru Sufi dalam Proses Islamisasi Nusantara

4 Mins read

“Adalah suatu kenyataan bahwa tidak mungkin memahami penyebaran Islam di Nusantara jika orang tidak memperhitungkan permusuhan antara para pedagang Muslim dan bangsa Portugis,” begitu pernyataan Azyumardi Azra.

Tentu pernyataan tersebut tidak tendensius, melainkan hasil pelacakan dan rekonstruksi proses Islamisasi Nusantara yang Azra kerjakan bertahun-tahun demi menemukan titik terang penyebaran Islam di Nusantara. Dalam hal ini, Azra tidak menampik betapa tidak ada teori tunggal yang mampu menjelaskan secara gamblang teori penyebaran Islam.

Bahkan, banyak ketidaksepakatan di antara para kesarjanaan dan peneliti mengenai makna “Islam” yang sesungguhnya, maka sebagai konsekuensinya juga tidak ada kesepakatan tunggal mengenai penetrasinya ke Nusantara. Keluh kesah Azra semakin beralasan tatkala minimnya bukti sejarah yang reliable. De Graaf, misalnya, menuturkan bahwa penuturan-penuturan tentang perkembangan awal Islam di dalam literatur Melayu-Indonesia sangat tidak reliable. Ada semacam keseragaman ihwal historiografi tradisional itu yang tak selalu menyampaikan gambaran yang utuh.

Kurangnya bahan semacam itu di Kepulauan Melayu-Indonesia, kata Azra, sudah lama dikeluhkan oleh para sarjana. Snouck Hurgronje, misalnya, menyatakan bahwa ketersediaan data faktual tentang periode Islam paling awal di Hindia Timur sangat sedikit. Data arkeologis dan antropologis yang tersedia dalam bentuk batu nisan dan artefak pun sangat minim.

Teori Balapan (Race Theory)

Menurut Schrieke yang dikutip Azra, ekspansi Portugis ke Nusantara pertama-tama dapat dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Dalam pandangannya, keinginan berpetualang dan ambisi yang dikombinasikan dengan semangat keagamaan sebenarnya merupakan kekuatan pendorong yang bagi bangsa Portugis berekspansi di Nusantara.

Proses penyebaran Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia mencapai puncaknya terjadi tatkala persaingan dan konflik semakin sengit di antara orang-orang Portugis dan para pedagang Muslim serta penguasa di Tanah Arab, Persia, India dan Asia Tenggara. Dalam teori yang disebut “teori balapan” (the race between Islam and Christianity theory), Schrieke menyimpulkan bahwa semangat ekspansi Islam harus dianggap sebagai suatu tandingan (counter-check) terhadap misi Kristen yang agresif.

Baca Juga  Hagia Sophia: Museum yang (Kembali) Menjadi Masjid

Namun konflik di antara keduanya jelas bukan didorong oleh agama, melainkan kepentingan ekonomi-politik dan bisnis. Ini dapat dilihat dengan jelas dalam catatan Schrieke yang menyatakan bahwa ketika Konstantinopel jatuh (1204), Dinasti Abbasiyah bertekuk lutut di hadapan pasukan Mongol (1258), dan Acre, pertahanan terakhir Kristen di Palestina, terpaksa tunduk kepada kaum Muslim (1291) semakin menjadi bukti untuk itu.

Teori yang lebih masuk akal dan lebih bisa banyak dipakai dibandingkan dengan semua teori yang telah dibahas secara singkat tadi dikemukakan A.H. Johns. Dengan mempertimbangkan kemungkinan sangat kecil bahwa para pedagang memainkan peranan paling penting dalam ekspansi Islam dan dugaan motif ekonomi, politik, ia mengemukakan, pada kenyataannya para sufi pengembaralah yang secara ekstensif menjalankan dakwah Islam.

Mereka berhasil mengislamkan banyak penduduk di Kepulauan Melayu-Indonesia paling tidak semenjak abad ke-13. Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh kemampuan kaum sufi dalam menampilkan Islam dalam bentuk yang akomodatif. Dalam artian, penekanan kontinuitas Islam dengan kepercayaan dan praktik tradisional ketimbang perubahan total.

Sufisme sebagai Kategori

Dengan menggunakan sufisme sebagai sebuah kategori di dalam sastra dan sejarah Melayu-Indonesia, Johns menguji sejumlah historiografi tradisional lokal untuk menyokong teorinya tersebut. Setidaknya ada empat hal utama yang ingin disampaikan dalam historiografi tradisional lokal. Pertama, Islam di Nusantara dibawa langsung dari tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah profesional (mursyid). Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah para penguasa. Keempat, sebagian besar juru dakwah “profesional” tersebut datang di Nusantara pada abad ke-12 dan 13.

Sebagaimana dinyatakan Arnold dan ditegaskan ahli Melayu-Indonesia, bahwa orang-orang Muslim dari luar memang telah ada di Nusantara sejak abad pertama Hijriyah, tetapi jelas bahwa hanya setelah abad ke-12 pengaruh Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia menjadi lebih established dan kuat. Karena itu, Islamisasi tampaknya baru mengalami akselerasi khususnya selama abad ke-12 hingga abad ke-16.

Baca Juga  Mantan Kriminal Jadi Duta: Bukti Viralitas Lebih Dominan Ketimbang Kualitas

Menurut Johns, banyak sumber lokal yang menghubungkan pengenalan Islam di daerah mereka kepada guru-guru sufi pengembara. Karakteristik mereka secara di antaranya adalah mereka adalah juru dakwah keliling (semacam kyai kampung) yang merambah berbagai tempat di Nusantara yang dengan sukarela ikut merasakan kemelaratan atau sesrawungan (baca: bergaul dan menyatu); mereka lebih sering dihubungkan dengan ikatan dagang atau kerajinan (trade or craft guild) sesuai dengan tarekat yang mereka ikuti.

Selain itu, mereka (baca: guru sufi) mengajarkan – dalam bahasa Johns – teosofi sinkretis yang sangat familiar dengan orang-orang Indonesia, tetapi tetap berada dalam koridor dan ruang lingkup syariat Islam. Mereka juga piawai dan cakap dalam hal magis dan memiliki kekuatan supranatural seperti pengobatan, penyembuhan, serta tidak kurang secara sadar atau tidak, mereka siap siaga menjaga kontinuitas dengan masa lalu dan menggunakan istilah serta unsur-unsur budaya pra-Islam dalam konteks islami.

***

Jadi, apa yang dikemukakan John dan diamini Azyumardi Azra, berkat otoritas kharismatik (charismatic authority) dan kekuatan magis, sejumlah sufi ini dapat menyebarkan Islam relatif lebih smooth dan mengakar. Implikasinya, mereka juga dapat menikahi anak-anak gadis kaum bangsawan Melayu-Indonesia sehingga memberikan prestise darah kerajaan (atau darah biru) kepada anak-anak mereka, selain aura kesucian dari kharisma keagamaan.

Oleh karena itu, Johns menyimpulkan bahwa Islam tidak dapat dan tidak pernah membenamkan akarnya di kalangan rakyat Nusantara atau memenangkan penguasa sampai kemudian didakwahi oleh guru sufi dan ini tidak menjadi suatu pengaruh yang dominan di dalam Islam sampai abad ke-13. Teori sufi ini didukung, misalnya, oleh Fatimi dan Azyumardi Azra yang memberikan tambahan argumen di antaranya dengan menunjuk pada kesuksesan kaum sufi dalam mengislamkan penduduk di Anak Benua India selama periode yang sama.

Baca Juga  Kyai dan Pesantren dalam Dinamika Politik di Indonesia

Terkhusus Azyumardi Azra, melalui riset doktoralnya yang kontributif, ia menyatakan, salah satu alasan utama dibalik proses konversi massal ke dalam Islam adalah berkat kemampuan guru sufi menghadirkan Islam dalam bentuk yang menarik (lain daripada yang lain) terutama dengan menekankan kontinuitas daripada perubahan total (atau pemberangusan total) terhadap kepercayaan masyarakat Nusantara pra-Islam. Oleh karena itu, model Islam yang tersebar di kawasan ini selama periode awal Islam di Nusantara adalah model sufisme-sinkretis yang dalam gradasi tertentu (dan sepintas) berlainan dengan syariat Islam.

Dilihat dari perspektif yang lebih luas ini, orang akan mendapatkan pegangan yang lebih baik tentang proses konversi dan islamisasi kepulauan Melayu-Indonesia. Tentu, ada banyak faktor yang pada batas tertentu berkelindan satu sama lain yang mempengaruhi jalannya proses tersebut. Terlepas dari itu semua, kompleksitas proses konversi dan islamisasi di kawasan ini merepresentasikan suatu contoh yang baik tentang transformasi keagamaan dalam skala luas di kalangan mayoritas penduduk Nusantara.

Editor: Soleh

Avatar
33 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds