Review

Makalah Terakhir Azyumardi Azra: Jangan Remehkan Peran Lingkungan untuk Kemajuan Peradaban!

10 Mins read

Membicarakan Azyumardi Azra, tentunya seorang dengan cepat menyebut bahwa ia adalah pengkaji Islam kenamaan asal Indonesia. Karya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII yang juga merupakan karya disertasinya bahkan telah menjadi klasik bagi studi Islam di Asia Tenggara. Namun tidak banyak yang tahu jika Azra juga memiliki perhatian terhadap isu lingkungan. Pada konteks inilah maka tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi pandangan dan sekaligus kontribusi Azra dalam kaitannya dengan isu lingkungan hidup.

Jika mencermati makalah Azra yang sedianya akan dipresentasikan dalam seminar yang diselenggarakan ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) dengan tema Kosmopolitan Islam: Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan, kita akan menemukan gagasan evironmentalisme yang khas dari sang intelektual.

Namun dikarenakan kesehatan Azra memburuk saat akan mendarat di Malaysia dan mesti dilarikan ke rumah sakit dan pada akhirnya ia meninggal dunia, makalah tersebut tidak sempat dielaborasi secara detail oleh Azra.

Meskipun tidak sempat dielaborasi secara detail, namun bisa dikatakan bahwa lewat pembacaan seksama terhadap makalah tersebut yang diberi judul Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan Peran umat Muslim Asia Tenggara, kita akan bisa memahami kontribusi penting dari sang intelektual merdeka -istilah yang dipakai Fachry Ali- tersebut terkait isu lingkungan.

Dalam konteks ini, Azra menjadikan pembahasan mengenai lingkungan sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembicaraan mengenai kebangkitan peradaban. Satu analisis yang unik namun amatlah penting untuk dikaji secara mendalam.

Lingkungan: Dimensi Pokok Kemajuan Sebuah Peradaban

Menurut Azra, lingkungan adalah satu dimensi pokok dari kebangkitan atau kemajuan sebuah peradaban. Pernyataan Azra ini menjadi krusial sebab ketika seorang membicarakan peradaban, seringkali mengasosiasikannya dengan kemajuan yang sifatnya material, biasanya ditandai dengan kemajuan ekonomi dan juga sains dan teknologi.

Namun orang seringkali luput membicarakan dampak dari kemajuan yang sifatnya materiil tersebut yang acapkali menjadikan lingkungan sebagai “tumbalnya”. Bagi Azra peradaban semacam ini tidak pantas untuk disanjung atau dijadikan model. Kemajuan yang sifatnya material mesti memasukkan dimensi ekologis di dalamnya sehingga kemajuan mesti berbanding lurus dengan kelestarian alam.

Cara pandang Azra terhadap peradaban dapat dikatakan sebagai cara pandang yang holistik. Tidak mengherankan dalam akhir makalahnya ia menyebut bahwa peradaban yang ideal adalah peradaban yang menjadi blessing bagi semesta, dan bukan peradaban yang justru menjadi petaka bagi semesta dan manusia yang menguninya.

Cara pandang yang holistik atau bisa kita katakan sebagai wujud bermetodologi “khas” yang menekankan pada upaya menemukenali big picture ini sejatinya telah melekat pada diri Azra sejak lama.

Teori Masuknya Islam ke Nusantara Menurut Azra

Sebagai bukti jika kita membaca karya monumentalnya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, maka kita akan menemukan posisi khas Azra terkait masuknya Islam ke wilayah nusantara yang selama ini menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi.

Ada akademisi yang mempertahankan tesis Arab, Persia, India, China, dan sebagainya. Azra tidak melihat teori tersebut sebagai suatu yang saling menegasikan tetapi justru memperkaya satu sama lain (teorinya ia namai sebagai teori mata air). Dengan kata lain, bagi Azra, teori-teori tersebut layaknya aneka puzzle yang membantu kita untuk melihat “big picture” dari perkembangan Islam di Asia Tenggara.

Sifat Asasi Peradaban Islam di Asia Tenggara

Lebih jauh, ketika membicarakan jaringan ulama di Asia Tenggara, sebenarnya Azra juga sedang mengajak para pembaca untuk melihat nature (sifat asasi) dari peradaban Islam di Asia Tenggara itu sendiri yang dicirikan dengan konektivitas tinggi dengan wilayah-wilayah lain di dunia Islam dalam rangka memastikan kesinambungan transmisi dan dinamika keilmuan di wilayah Asia Tenggara.

Dengan kata lain, peradaban Asia Tenggara adalah peradaban ilmu. Di mana, hasrat untuk memperdalam pengetahuan termanifestasi secara fisik dengan pembangunan dan manajemen jaringan keilmuan bersakala internasional tersebut.

Jika memperbandingkan dengan makalah Osman Bakar berjudul Gerakan Islam & Optimisme Mada Depan: Mengartikulasi Potensi Wilayah Nusantara untuk Kebangkitan Umat” dalam seminar ABIM yang menggarisbawahi bahwa Asia Tenggara telah mengenal globalisasi ekonomi jauh sebelum era kontemporer saat ini (Osman Bakar menyebutnya sebagai tahap common market dan satu kesatuan tanpa sempadan).

Maka bisa kita katakan, Azra menambahkan poin penting bahwa tidak hanya dimensi ekonomi yang menjadi wajah peradaban Asia Tenggara, tetapi juga dimensi ilmu. Dengan kata lain kemajuan peradaban di Asia Tenggara tidak hanya ditopang oleh dinamika ekonomi belaka tetapi juga dinamika keilmuan yang kuat.

Baca Juga  Humanisme Religius: Paradigma Masa Depan Pendidikan Islam

Tesis Azra ini sekaligus mengkritik narasi/wacana kolonial yang menyatakan “pribumi malas” (baik terkait penduduk di Malaysia, Filipina, Indonesia, sebagaimana yang tercermin dalam karya Hussein Al Attas atau juga Jose Rizal). Karena jika memang penduduk Asia Tenggara “malas”, tidak mungkin seorang bersusah payah untuk memperdalam keilmuan di wilayah lain.

Dengan kata lain berkebalikan dari mitos “malas” ala kolonial, masyarakat Asia Tenggara justru dilekati dengan sifat sophia atau cinta pada kebenaran atau cinta kepada kebijaksanaan. Sifat tersebut amat kriusal karena sophia tidak bisa direduksi semata sebagai nalar “ekonomistik-pragmatik” ala VOC atau kolonial Barat lain yang tujuan utama dari pembentukan jaringan kolonial mereka bukanlah sophia tapi greedy (kerakusan).

***

Kalaupun dimensi keilmuan juga hadir dalam jejaring kolonialisme, maka yang hadir justru pengembangan keilmuan untuk menyokong kuasa penjajahan. Sehingga ilmu yang diproduksi berposisi di bawah logika ekonomi-politik kolonial.

Hal ini berbeda dengan perkembangan jejaring keilmuan di Asia Tenggara sebagaimana dipaparkan Azra dalam karya monumentalnya yang justru menjadi dimensi penting yang tak tereduksi dalam dimensi ekonomi yang juga menjadi penanda Asia Tenggara pra-kolonial.

Metodologi khas Azra yang menekankan pada upaya melihat big picture inilah yang sekiranya juga membuat Azra menjadikan dimensi lingkungan sebagai poin penting yang mesti diperhitungkan jika seorang ingin membahas mengenai kebangkitan peradaban Asia Tenggara.

Lebih jauh, kaitan antara budaya ilmu dan kebangkitan peradaban juga menjadi kata kunci penting dalam tesis Azra terkait dengan penciptaan peradaban Asia Tenggara yang ekologis di masa depan. Bagi Azra, ilmu adalah prasyarat mutlak kebangkitan peradaban secara umum dan sekaligus juga menjadi prasyarat mutlak untuk memahami dan mengurai problem ekologis di Asia Tenggara jika ingin menciptakan peradaban yang menjadi blessing untuk semesta.

Problem Kesadaran Umat Islam

Azra – dalam makalahnya- melihat bahwa ada problem kesadaran yang terjadi di tengah umat Islam, tak terkecuali muslim di Asia Tenggara. Ia secara khusus mengelaborasi satu manifestasi dari problem kesadaran ini yang ia nyatakan muncul dalam bentuk “psikologi konspiratif” dan juga captive mind.

Problem ini muncul dari ketidakmampuan sebagian umat Islam dalam membaca realitas pascakolonial berbasis lensa keilmuan. Di mana, berkebalikan dengan border regime (border dalam arti luas bukan hanya perbatasan tetapi logika eksklusivisme territorial) di era pra-kolonial yang bisa dikatakan “cair”, kuasa kolonial meninggalkan warisan berupa “border regime” yang “padat” di berbagai wilayah dunia Islam.

Implikasinya, ketika terjadi upaya untuk membangkitkan kembali peradaban Islam pasca kolonial, terkhusus di bidang ekonomi, banyak negara Muslim yang tidak memiliki kapasitas ekonomi memadai untuk melakukan transformasi tersebut.

Azra mengakui bahwa terdapat sejumlah negara Muslim yang menjadi kaya akibat pendapatan yang diperoleh dari eksploitasi sumber daya minyak misalnya. Namun keuntungan itu tidak “merembes” ke negara-negara muslim lainnya.

Kalaupun ada menurut Azra, sangatlah terbatas. Jika kembali mengacu pada perbedaan border regime pasca kolonial, bisa dimaklumi bahwa “rembesan” ekonomi itu dianggap sebagai loss dan bukan gain.

Padahal di era pra-kolonial, “rembesan” ilmu dan ekonomi justru merupakan suatu hal yang positif karena melalui “rembesan” (atau deteritorialisasi border regime) menjadi penopang eksistensi dari jaringan ekonomi dan keilmuan itu sendiri.

Dikarenakan kapasitas ekonomi yang tak memadahi dan sulitnya mendapat “rembesan” di antara negara Muslim yang ada, maka cara yang dipikirkan untuk dipakai oleh banyak negara muslim adalah berhutang pada negara-negara bekas penjajah mereka yang kemudian mengakibatkan ketergantungan.

Fenomena tersebut sayangnya ketika dipahami dengan kesadaran/kacamata ideologis – jika meminjam istilah Kuntowijoyo– maka yang terjadi kemudian adalah merebaknya mindset konspiratif.

***

Bagi Azra, mindset konspiratif tersebut bukannya membantu proses kebangkitan peradaban tetapi justru memperburuknya. Alasannya, munculnya distrust akut pada negara dan kemudian merembet kepada instabilitas politik akibat aksi politis yang dilakukan sejumlah pihak karena merasa bahwa itu adalah solusi jitu untuk mengubah keadaan umat yang “terpuruk” tersebut.

Kita juga perlu mendudukkan analisis Azra tersebut secara hati-hati. Bukan maknanya Azra mengesampingkan analisis “ekonomi politik”, karena ia sendiri juga menggunakannya dalam makalahnya tersebut.,Tetapi yang sejatinya ia kritik adalah analisis “ekonomi politik” yang tidak holistik akibat penggunaan kesadaran/kacamata ideologis dan bukannya kesadaran/ kacamata ilmu -meminjam istilah Kunyowijoyo- sehingga yang terjadi bukan solusi yang sifatnya konstruktif tetapi justru destruktif bagi peradaban.

Baca Juga  Abdul Malik Fadjar dan Trilogi Perdamaian

Satu contoh untuk memahami perbedaan dua wujud kesadaran di atas, kita bisa menganalogikannya dengan kasus Covid-19. Kesadaran ideologis cenderung melihat fenomena Covid secara konspiratif-politis sehingga muncul istilah “virus china” oleh Trump, atau “virus muslim” oleh Modi.

Kesadaran ini bukannya membantu penyelesaian Covid-19 di Amerika atau India tetapi justru memperparahnya karena tindakan yang kemudian diambil adalah tindakan yang berbasis pada emosionalisme dan bukan berdasar kajian ilmiah. Dalam kasus India dan Amerika misalnya tidak heran kesadaran ideologis semacam ini memicu meningkatnya sikap rasisme baik terhadap warga Asia atau terhadap warga Muslim yang dianggap “sumber virus”.

Pentingnya Memiliki Nalar Analisis Ilmiah

Maka bagi Azra, “crisis of mind” -memimjam istilah Abu Sulayman- ini mesti dilampaui dengan menumbuhkembangkan kembali budaya ilmu. Tidak mengherankan dalam makalah ABIM-nya, Azra menekankan bahwa pembangunan budaya ilmu tidak hanya sebatas transfer pengetahuan saja (pengajaran) tetapi juga mesti ditumbuhkan ke arah riset ilmiah.

Dengan kata lain Azra membayangkan dengan nalar riset (nalar analisis ilmiah) inilah seorang dapat memahami big picture dari sebuah fenomena tanpa terjebak pada “emosionalisme” atau “pandangan yang reduktif dan distortif” karena ketiadaan data yang memadahi.

Bisa kita tambahkan juga tanpa kesadaran ilmu dan hanya terjebak pada “psikologi konspiratif”, “captive mind”, atau kesadaran ideologis, maka nalar ekologis atau kesadaran akan dimensi ekologis dalam sebuah peradaban akan sulit untuk ditumbuhkan.

Tetapi ketika kesadaran ilmu yang berkembang, seorang dengan mudah memahami bahwa dengan mengabaikan dimensi ekologis, maka yang terjadi bukan kegemilangan tetapi justru petaka peradaban.

Azra sendiri menggarisbawahi dalam makalahnya bahwa berbagai bencana alam yang menimpa masayarakat Indonesia dan Malaysia -mulai dari banjir besar, banjir bandang, kebakaran hutan, hingga bencana asap- tidak dapat dilepaskan dari salah urus lingkungan di wilayah tersebut yang dampaknya ternyata juga mengenai masyarakat luas.

Bahkan dalam konteks bencana asap misalnya, tidak hanya masyarakat dalam “tapal batas” Indonesia saja yang terkena dampaknya tetapi juga masyarakat Malaysia dan Singapura.

Terkait dengan problem ekologis di Asia Tenggara, Azra juga menekankan pentingnya kesadaran ilmu dalam memahami persoalan tersebut. Bisa dikatakan Azra mendayagunakan perspektif “ekonomi politik” untuk melihat “big picture” dari problem ekologis di Asia Tenggara.

Bagi Azra problem ekologis tidak hanya terkait dengan transformasi individual semata misal mengurangi penggunaan plastik atau mematikan lampu jika tidak digunakan tetapi mesti dimaknai sebagai keniscayaan transformasi yang sifatnya struktural.

Dari Mode of Governance ke Arah Democratic Governance

Bisa kita katakan, transformasi struktural yang dimaksud Azra ialah transformasi mode of governance ke arah democratic governance. Terkait dengan pewacanaan democratic governance ini, dapat kita lihat paralelitas ide Azra dengan Vandana Shiva yang juga melihat bahwa demokrasi tidak hanya terkait dengan kedaulatan manusia (rakyat) tetapi juga alam.

Dengan kata lain, jangkar dari kebangkitan peradaban di Asia Tenggara adalah bekerjanya democratic governance ini. Sebab, jika ia tidak bekerja dengan baik, maka otomatis dimensi ekologis juga akan merosot.

Azra memberikan contoh menarik dalam makalahnya ketika ia mengoneksikan isu ekologis dengan isu sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam secara semena-mana bagi Azra merupakan faktor penting dari menurunnya kualitas lingkungan dan merebaknya bencana ekologis di berbagai wilayah Indonesia dan Malaysia. Dengan kata lain, problem lingkungan adalah problem governance sumber daya alam.

Menariknya, Azra juga membicarakan tentang urgensi ekonomi berkeadilan dengan menggarisbawahi bahwa masih ada sekitar 40-50 juta penduduk miskin di Indonesia. Dengan kata lain, ia berupaya menepis anggapan luas yang sering mempertentangkan antara lingkungan dan ekonomi.

Lingkungan rusak dianggap sebagai harga yang pantas bagi kemajuan ekonomi. Bagi Azra, tata kelola (governance) lingkungan yang “anti-ekologis” ternyata justru berbanding lurus dengan absennya demokrasi ekonomi (ekonomi berkeadilan).

Dengan kata lain, eksploitasi lingkungan semena-mena juga akan berdampak pada kemalangan manusia (rakyat) dan hanya menguntungkan segelintir elit saja. Maka transformasi struktural menuju democratic governance yang bertumpu pada kesatuan dimensi ekologis dan kemanusiaan (dalam bahasa Shiva demokrasi bumi) adalah keniscayaan untuk mewujudkan peradaban ekologis.

Baca Juga  Kosmopolitanisme Islam di Asia Tenggara

Maka tidak mengherankan jika dalam karir intelektual Azra, ia memberikan perhatian lebih pada soal perbaikan mutu demokrasi ini. Dalam sejumlah artikel yang diterbitkan di berbagai media massa misalnya ia menyoroti soal regresi demokrasi, resentralisasi kekuasaan, dan juga oligarki.

***

Dalam makalah ABIM-nya ia juga menyoroti problem demokrasi di indonesia mulai dari fragmentasi politik, kepincangan politik, oligarki politik, korupsi, tidak fungsionalitasnya check and balance, dan problem lain yang memperburuk mutu demokrasi.

Tidak mengherankan pula Azra di samping aktif mengambangkan wacana akademik, juga terlibat langsung dalam aktivisme publik untuk memperkuat democratic governance khususnya dalam konteks Indonesia.

Di antara contohnya ialah ia menerima untuk menjadi Ketua Dewan Pers dalam rangka menjaga independensi pers dari pengaruh kekuasaan (dalam bahasa Azra menjadi mitra kritis pemerintah). Azra juga terlibat dalam upaya judicial review terkait UU IKN yang dianggapnya tidak dibangun di atas prinsip pelibatan publik dalam formulasinya.

Jika menggunakan istilah Shiva, Azra adalah sosok yang mempraktekkan demokrasi bumi dalam dua level sekaligus yakni memformulasikannya secara akademis. Makalah ABIM-nya adalah contoh bagaimana ia mampu mem-framing isu democratic governance sebagai “resep” penting bagi kebangkitan peradaban.

Azra juga memperjuangkan gagasan demokrasi bumi tersebut dengan keterlibatan aktifnya dalam berbagai aktivisme publik. Kesesuaian antara “kata” dan “laku” menjadi inheren dalam kerja-kerja intelektualitas Azra hingga akhir hayatnya.

Dalam upaya menegakkan demokrasi bumi, Azra juga meyakini bahwa aktivisme publik ini hanya mungkin memiliki efek luas jika ditopang oleh penguatan civil society dan juga keadaban masyarakat (public civility).

Karena dalam rangka melakukan transformasi struktural maka basis kultural yang kuat mesti dikembangkan sedemikian rupa sebagai basis penopang aktivisme transformatif tersebut.

Dalam konteks inilah, kita bisa kembali menegaskan bahwa Azra menjadikan kebangkitan budaya ilmu sebagai prasyarat penting penciptaan civil society dan public civility yang kokoh.

Karena tanpa kesadaran ilmu yang kuat, maka akan sulit mengembangkan sikap kritis-reflektif di tengah publik terhadap realitas yang terjadi di sekeliling kita. Dengan kata lain, Azra kembali menegaskan keniscayaan transformasi pikiran dan kesadaran dari sebelumnya bercorak ideologis (captive mind dan psikologi konspiratif) ke kesadaran ilmu.

***

Di sinilah peran gerakan literasi menjadi penting sebagai upaya membangun kesadaran ilmu di tengah publik tentang bagaimana mestinya peradaban Islam dapat dibangkitkan kembali dalam konteks Asia Tenggara.

Bagi Azra, kebangkitan peradaban meniscayakan kerja-kerja peradaban yang dipandu dengan landasan etika yang kokoh. Satu landasan etis yang mengafirmasi kemanusiaan dan juga lingkungan hidup sekaligus.

Pada titik inilah, konsep rahmatan lil alamin yang dipaparkan dalam makalah ABIM-nya, dapat dibaca sebagai tawaran etis Islam bagi merekahnya demokrasi bumi di wilayah Asia Tenggara. Tawaran Azra tersebut masuk akal mengingat konsep Rahmatan lil alamin -sebagaimana dijelaskan dalam makalahnya- mengandung dimensi spiritual, kemanusiaan, dan juga lingkungan hidup sekaligus.

Kontribusi Penting Azra dalam Isu Lingkungan

Sebagai penutup, kita bisa sumpulkan bahwa Azra memiliki kontribusi penting dalam diskusi mengenai lingkungan hidup. Metodologi khas Azra yang menekankan pada upaya menemukenali big picture membuatnya mampu melihat wacana lingkungan hidup sebagai diskursus yang terintegrasi dengan diskurus lebih besar yakni wacana kebangkitan peradaban Islam di Asia Tenggara.

Bagi Azra, hanya jika konsep peradaban dibangun di atas fondasi etika demokrasi bumi maka peradaban yang humanis sekaligus ekologis -dan juga spiritual- dapat ditumbuhkan di bumi Asia Tenggara ini dan dapat menjadi “mercusuar” bagi tumbuhnya peradaban serupa dalam skala global.

Tentu ini adalah mimpi dari Azra yang hingga akhir hidupnya ia coba memperjuangkannya melalui “kata” dan “tindakan”. Namun dapat dikatakan warisan intelektual tersebut akan terus hidup ketika para akademisi dan publik baik di Indonesia, Malaysia, dan negara lain di Asia Tenggara secara umum secara aktif melanjutkan warisan sang intelektual merdeka tersebut.

Semoga mimpi Azra tentang kebangkitan peradaban Islam di Asia Tenggara yang berporoskan pada kebangkitan budaya ilmu yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta penghargaan kepada alam semesta dapat diwujudkan di masa depan.

Editor: Yahya FR

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UGM
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *