Covid-19 menjadi musuh dunia. Ia tengah melumpuhkan 185 negara dan membuat 267 ribu orang lebih terpapar tak berdaya. Akibat virus ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang ledakan rasio kematiannya tinggi. Pemerintah tak cukup kuat sendirian memerangi pandemi ini. Kelompok sipil Islam sebagai basis kekuatan negeri ini, perlu turun tangan.
Hingga artikel ini ditulis (Minggu, 22/3), jumlah pasien positif Covid-19 mencapai 450 orang di Indonesia. Sebanyak 38 orang di antaranya meninggal dunia dan 20 orang sembuh. Jakarta, Bali, Manado, Surabaya, Malang dan Kepulauan Riau terancam mengalami lockdown karena dianggap sebagai kota-kota yang paling terdampak oleh virus yang datang dari Tiongkok tersebut.
Jumlah pasien positif Covid-19 itu berpotensi mengalami peningkatan mengingat dua hal, yaitu: Pertama, ketika virus ini telah menyebar ke sejumlah negara, Indonesia masih abai untuk melakukan pengetatan terhadap pintu keluar-masuk wisatawan asing. Akibatnya, begitu virus ini diumumkan sebagai pandemi global dan mulai ada yang terdampak, pemerintah kalang kabut.
Kedua, hingga sekarang publik belum tergugah kesadarannya untuk bekerja, belajar dan ibadah di rumah. Social distancing pun tak benar-benar dipraktikkan, serta masih dijumpai sejumlah kelompok yang tak mengindahkan imbauan Presiden supaya menjauhi kerumunan. Â
Namun, menunjuk kesalahan dan menyerahkan penanganan wabah global ini hanya kepada pemerintah adalah sikap yang tidak bijak. Upaya melawan Corona ini membutuhkan keterlibatan masyarakat sipil, khususnya yang memiliki pengalaman bergerak di bidang penanganan kebencanaan.
Respons Sipil Islam: Muhammadiyah
Sipil Islam sebagai basis kekuatan negeri ini tak bisa diragukan peranannya. Keberadaannya memiliki kontribusi besar bagi pembangunan demokrasi di Indonesia (Hefner: 2000). Keterlibatan Muhammadiyah dalam memajukan sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial adalah teladan yang baik dari gambaran peran sipil Islam di negeri ini.
Peran sipil Islam semakin kentara pasca kejatuhan Orde Baru (1998). Muhammadiyah menjadi salah satu kelompok sipil Islam, yang melalui para intelektualnya, berkontribusi membuka kran demokrasi yang lebih besar. Dengan begitu, keterlibatan ini menunjukkan aspek lain bahwa kelompok sipil Islam memiliki bargaining position yang bagus dari dulu hingga kini.
Bargaining position ini juga ditampilkan dengan kemunculan banyak lembaga sosial Islam yang bergerak pada bidang penanganan kebencanaan. Hanya saja, sejumlah lembaga yang berdiri, lebih berperan sebagai agen filantropi. Sementara kerja-kerja respons kebencanaan, masih sedikit yang mengambil peran ini.
Dampaknya, pada kasus menyebarnya Covid-19 seperti sekarang ini, hampir tak ada kelompok sipil Islam yang mengambil sikap untuk benar-benar melakukan respons bencana. Hal ini karena mereka tidak memiliki pengalaman dalam merespons tanggap darurat bencana seperti kasus Covid-19 ini.
Padahal, Pandemi Corona ini terus meluas, mematikan, dan butuh keterlibatan berbagai elemen sipil Islam di Indonesia. Pada kasus ini, yang paling sederhana, masyarakat sipil Islam dapat berperan dengan terus memberikan kesadaran kepada publik untuk menghindari kerumunan dan segera menerapkan social distancing. Sebab, pada kenyataannya, meski pemerintah telah memberikan imbaun terhadap hal ini, tetap saja masyarakat masih bebal.
Dengan memegang teguh pada logika berfikir Jabariyah, mereka berpikiran takut itu hanya kepada Allah bukan pada Corona. Sebenarnya, jika ingin jujur, meledaknya cara pandang Jabariyah ini, karena selama ini lembaga-lembaga pendidikan yang ada lebih menerapkan pendidikan keagamaan yang dogamtis dibandingkan model pembelajaran yang akademis dan kritis.
Sejauh ini, sipil Islam yang tampak bergerak merespons bencana Covid-19 ini adalah Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). MDMC adalah satu-satunya tim medis darurat Indonesia yang terdaftar di World Health Organization (WHO). Lembaga ini aktif memberikan edukasi, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta pengurangan risiko bencana. Tak hanya bencana alam, MDMC juga merespons konflik etnis yang terjadi di Rakhine, Myanmar dengan memfungsikan diri sebagai peace builder yang memasok layanan kesehatan dan mendirikan pasar rekonsiliasi.
Covid-19 adalah wabah mematikan yang memerlukan aksi tanggap darurat bencana. Penanganan utama yang diperlukan meliputi pelayanan kesehatan, pelayanan psiko-sosial, dan kerja-kerja pengurangan risiko bencana lainnya. Karena itu, sejak awal virus ini masuk ke Indonesia, MDMC telah membentuk Tim Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), menyiapkan 20 rumah sakit yang siap menampung pasien positif Corona, mendirikan layanan call center Covid-19, dan melakukan kampanye kreatif di media sosial mengenai pentingnya social distancing, cuci tangan yang benar, penggunaan hand sanitizer dan lainnya.
Sejak dibentuk pada 2007, kehadiran MDMC memberikan corak baru bagi pekerjaan sosial Muhammadiyah di abad kedua. MDMC adalah wujud kongkrit dari ijtihad berkemajuan Muhammadiyah untuk menjawab tantangan nasional dan global, terutama dalam penanganan kebencanaan. Ia hadir menjalankan pekerjaannya melakukan respons bencana dan menjadi agen bina damai (peace building) pada kasus konflik tertentu.
Akhirnya, penanganan Covid-19 ini membutuhkan lebih banyak peran dari berbagai elemen sipil Islam. Opinion leaders dari organisasi masyarakat Islam sangat dibutuhkan agar masyarakat benar-benar paham dengan situasi perang melawan pandemi ini. Ini adalah bukti membela NKRI dan saatnya membuktikan nasionalisme.
Kemudian, secara struktural, para pemimimpin ormas seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga bisa memberikan fasilitas dasar untuk kesehatan menjeuhi virus ini dengan membagikan masker, sarung tangan dan hand sanitizer secara gratis kepada masyarakat.