Pada 9 Agustus 2018, sebuah bus yang membawa anak-anak di Pasar Dahyan di provinsi Sa’ada, Yaman Utara, dihantam bom yang dilancarkan oleh serangan udara koalisi Saudi-Emirat. Serangan itu menewaskan 51 orang, termasuk 40 anak berusia antara 10 hingga 13 tahun, dan melukai 79 lainnya.
Peristiwa tersebut menggemparkan dunia. Pembunuhan anak-anak Yaman tak bersalah itu dikutuk oleh komunitas internasional. Selang beberapa tahun, peristiwa tersebut dan peristiwa-peristiwa serupa di Yaman seakan hilang dari radar pemberitaan media-media arus utama.
Agar tidak teralienasi dari perhatian dunia, perang yang menghasilkan salah satu “krisis kemanusiaan terparah abad-21” menurut PBB, harus kembali digaungkan. Krisis yang diakibatkan oleh perang berkepanjangan antara kombinasi aktor-aktor politik nasional, regional, dan internasional ini patut dikupas kembali dari perspektif kemanusiaan.
Ada Apa dengan Yaman?
Meski akar konflik Yaman sudah ada sejak 1960-an, namun kekacauan di Yaman saat ini bermula dari fenomena Arab Spring akhir tahun 2010 yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Yaman, para aktivis pro-demokrasi dan oposisi menggelar protes menentang kekuasaan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade sejak 1978.
Protes nasional yang berubah menjadi revolusi (2011) ini dipicu oleh keterbelakangan ekonomi Yaman, pergeseran lanskap politik, masyarakat suku yang terpecah-pecah, dan kebijakan pemerintah yang cenderung otoriter. Tujuan revolusinya jelas: turunkan Rezim Saleh!
Pertumpahan darah pun terjadi. Setelah tekanan luar biasa dari rakyatnya sendiri, Saleh akhirnya digantikan oleh wakil presidennya Abdrabbuh Mansur Hadi pada Februari 2012. Yaman di bawah kepemimpinan Hadi tak merasakan banyak perubahan. Kelompok yang paling tidak puas dari transisi tersebut adalah kelompok Houthi.
Houthi adalah salah satu elemen pergerakan politik di Yaman. Kelompok ini merefleksikan lemahnya manuver politik Hadi. Spirit Houthi adalah merebut Yaman pada kondisi carut marutnya ekonomi, politik, dan keamanan negara. Peluang yang dimanfaatkan oleh Houthi dan para pendukung eksternalnya: Iran dan Hizbullah.
Badai Penghancur
Gelombang tantangan pokok yang dipikul Hadi adalah mengembalikan politik Yaman pada martabat dan harga diri bangsanya. Kenyataannya, harapan tak sesuai dengan kenyataan. Kepemimpinan Hadi pun tak menunjukkan karakter yang diharapkan. Selang beberapa bulan kepemimpinnya, gelombang protes kembali merebak.
Kali ini, yang memobilisasi protes adalah kelompok Houthi dari wilayah utara Yaman. Pemimpinnya, Abdul Malik al-Houthi, menuduh pemerintah korupsi dan mengabaikan kebutuhan dasar rakyat Yaman. Pemerintah merespon dengan menembaki pengunjuk rasa, memicu serangkaian konfrontasi yang bereskalasi menjadi perang sipil.
Pada akhir September 2014, milisi Houthi menyerbu Ibu Kota Sana’a dan merebut gedung-gedung sentra pemerintah. Tidak lama setelah itu, ibu kota serta beberapa provinsi sentral lainnya jatuh ke tangan Houthi, membuat Presiden Hadi melarikan diri ke Arab Saudi mencari perlindungan. Vakum kekuasaan ini, menjadikan Houthi pemimpin de facto Yaman hingga tulisan ini dibuat.
Perang sipil menjadi lebih kompleks ketika intervensi eksternal datang pada akhir Maret 2015. Koalisi negara-negara yang dipimpin oleh Arab Saudi melancarkan serangkaian serangan udara yang disebut ‘Operation Decisive Storm’ untuk memukul mundur kemajuan Houthi yang terbukti sulit untuk mengusir mereka sepenuhnya.
Sebaliknya, serangan bom yang dipimpin Saudi menewaskan ribuan warga sipil dan menyebabkan kerusakan besar pada infrastruktur dan situs-situs warisan budaya kuno Yaman. Pertempuran terus-menerus telah mengakibatkan krisis kemanusiaan yang mengerikan. Sementara pemberontak Houthi bertekad tidak akan berhenti sampai pemerintahan Hadi digulingkan.
Malapetaka Kemanusiaan Abad-21
Perang berkepanjangan di Yaman ini telah menghasilkan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tercatat sekitar 24.1 juta (80 persen) rakyat Yaman membutuhkan bantuan dan perlindungan kemanusiaan. Di antaranya, 14 juta orang membutuhkan bantuan darurat dan lebih dari tiga juta orang telah mengungsi dari rumah mereka sejak 2015.
Dalam laporan terbaru PBB, konflik Yaman telah menyebabkan lebih dari 377 ribu kematian, dengan 60% di antaranya akibat kelaparan dan permasalahan kesehatan. Menurut laporan yang sama, lebih dari 10.200 anak telah tewas atau terluka sebagai akibat langsung dari pertempuran itu.
Diperkirakan 19 juta rakyat Yaman akan kelaparan dalam beberapa bulan mendatang. Berkurangnya pasokan gandum dari Ukraina, yang disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina saat ini, akan mendorong tingkat kelaparan di Yaman lebih tinggi. Harga-harga juga ikut melambung, rata-rata sekeranjang makanan meningkat 170% pada tahun 2021.
Yaman juga menderita salah satu wabah kolera terbesar yang pernah tercatat di dunia, dengan perkiraan 2.5 juta kasus dan sekitar 4 ribu kematian terkait sejak 2016. Runtuhnya institusi publik yang menyediakan layanan kesehatan, air, sanitasi dan pendidikan turut memperburuk situasi. Korban terbesarnya adalah wanita dan anak-anak.
Tak hanya nyawa yang menjadi korban perang, imajinasipun ikut terbunuh. Seraya matinya imajinasi, lenyap pula harapan yang menjadi dasar eksistensi bagi manusia. Sebuah bencana yang sedang berlangsung tak hanya di Yaman, akan tetapi di belahan dunia lainnya: Ukraina, Suriah, Palestina, Myanmar, Ethiopia, Libya, dan Afghanistan.
Quo Vadis Konflik Yaman?
Perang yang berlangsung selama lebih dari tujuh tahun ini menunjukkan bahwa tidak ada solusi berkelanjutan yang dapat ditemukan di medan perang. Meski telah ada beberapa inisiatif perundingan perdamaian seperti Inisiatif Oman, Kesepakatan Stockholm, Kesepakatan Riyadh, hingga beberapa resolusi PBB dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) terkait Yaman, namun belum mampu sepenuhnya mengakhiri konflik tersebut.
Kendati demikian, awal April 2022 membuka gerbang harapan atas penyelesaian krisis Yaman. Kelompok Houthi untuk pertama kalinya sejak 2015, menyetujui gencatan senjata selama dua bulan demi menghormati bulan Ramadhan. Inisiatif gencatan diajukan PBB melalui Utusan Khusus-nya untuk Yaman.
Lebih lanjut, beberapa hari pasca gencatan senjata, Presiden Hadi menyerahkan kekuasaannya kepada Dewan Kepresidenan yang baru dibentuk dalam upaya mendukung langkah PBB untuk mengakhiri perang tujuh tahun Yaman. Peristiwa monumental tersebut meningkatkan harapan tercapainya solusi politik yang komprehensif, terutama di antara arsitektur regional perang Yaman: Saudi, UEA, dan Iran.
Upaya lainnya yang harus dilakukan adalah menghentikan kiriman senjata dan peralatan militer AS ke koalisi Saudi. Lebih lanjut, blokade terhadap koridor kemanusiaan yang dilakukan para pihak bertikai harus segera dihentikan. Penghormatan atas hukum internasional serta implementasi resolusi-resolusi PBB pun menjadi krusial.
PBB mungkin menyebutnya krisis kemanusiaan terbesar abad-21, namun hal itu tampaknya tidak mempengaruhi banyak, selain warga Yaman itu sendiri. Karena sebagian besar biaya perang telah ditanggung oleh warga sipil Yaman, bukan oleh kelompok kombatan atau sponsor asing mereka.
Dengan demikian, episode-episode kedepan untuk negeri Yaman akan ditentukan oleh kebijakan para aktor regional dan internasional hari ini. Mengakhiri perang memang bukanlah perkara yang mudah, tetapi bukan perkara yang mustahil pula, dan penulis sangat yakin dalam waktu dekat perdamaian akan tercapai di negeri al-Yaman al-Saeed (Yaman yang berbahagia, damai, dan optimistis).
Editor: Yahya FR