Syaikh Muhammad Abduh mengungkapkan, “Seorang Muslim tidak menjadi muslim sebelum dia menjadi Masehi,” dalam arti mengakui bahwa Isa Al-Masih adalah seorang Nabi Suci yang diutus Allah sebagaimana nabi-nabi lainnya.
Dua Kemungkinan Makna Kata Al-Masih
Dalam Al-Qur’an, kata Al-Masih ditemukan sebanyak sebelas kali, semua menunjuk pada Isa as. Kata Al-Masih lazim digunakan dalam arti yang terpilih, sebagaimana para penafsir menyebutkan terdapat dua kemungkinan makna dari kata tersebut.
Pertama, bila terambil dari kata “masaha” maka artinya adalah diurapi. Mengurapi sesuatu dengan minyak suci merupakan bentuk penyucian dan penghormatan. Yang mana dalam kitab Perjanjian Baru, ditemukan antara lain penjelasan bahwa ada seorang perempuan berdosa yang berdiri di dekat kaki Nabi Suci itu sambil menangis dan membasahi kaki beliau dengan air matanya serta menyekanya dengan rambutnya, lalu mencium kaki beliau dan mengurapinya dengan minyak wangi (Lukas VII-36).
Kemungkinan makna kedua adalah Al-Masih terambil dari kata “Saaha-Yasiihu” yang berarti berwisata. Ini mengacu pada kebiasaan Isa as. yang dikenal sering berpindah tempat, melakukan perjalanan untuk mengajak manusia ke jalan yang benar. Dalam perjalanan itu, banyak pesan moral beliau serta sikap dan tindakannya yang patut diteladani bagi siapa pun yang mendambakan tegaknya budi pekerti yang luhur tanpa memandang apa agamanya.
Betapa pun umat Islam berbeda akidah dengan umat Kristiani menyangkut kedudukan Al-Masih, merujuk pada literatur Islam, maka kita akan memahami bahwa banyak ajaran moral beliau yang yang sejalan dengan ajaran Islam.
Rupa Isa Al-Masih yang Memesona
Abbas Al-Aqqad dalam bukunya, Hayah al-Masih, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, menjelaskan bahwa terdapat riwayat populer sejak abad keempat Masehi yang merupakan laporan kepada Senat Imperium Romawi. Laporan itu melukiskan bahwa Al-Masih adalah seorang yang berpenampilan sangat terhormat.
Perawakannya sedang, dari wajahnya terpancar kasih sayang bercampur wibawa, sehingga yang melihatnya simpati sekaligus takut padanya. Keindahan nampak jelas pada ucapannya yang sering menggunakan perumpamaan-perumpamaan.
Rasa keindahan itu juga tecermin pada kebiasaannya mengunjungi taman bunga. Keindahan itu juga tercermin pada penampilannya yang memesonakan, khususnya bagi kaum wanita. Tetapi bukan pesona syahwat atau jasmani, melainkan pesona yang melahirkan ketenangan sebagai dampak kesucian dan keterhindaran dari segala macam gejolak nafsu.
Demikianlah beberapa penjelasan tentang Al-Masih, yang pada poinnya sedang menggambarkan kepada kita bahwa dia bukanlah sosok yang berpenampilan buruk. Melainkan adalah sosok yang mulia, baik fisik maupun psikisnya.
Teladan Isa Al-Masih dan Rasulullah
Kemajuan peradaban suatu umat, dilihat dari apa yang dapat dipersembahkan oleh sistem perundang-undangan yang berlaku di umat tersebut, khususnya kepada kaum yang lemah. Dalam hal ini, Isa Al-Masih menjadi teladan yang mengajarkan tentang kepedulian terhadap sesama.
Di hadapan khalayak ramai, Al-Masih berdiri tanpa senjata, harta, ataupun kelompok, mengumandangkan pembelaannya,
“Aku diutus untuk mengobati mereka yang patah hatinya menyeru mereka yang tertawan agar agar dapat bebas bergerak dan yang buta agar dapat melihat….”
Dikutip dari kitab Al-Bashaair wa al-Zawaahir, Abu Hayyan menyebutkan bahwa suatu ketika Al-Masih bersabda,
“Telah dihamparkan untuk kalian dunia ini, telah didudukkan kalian di punggungnya, sedang aku sendiri tidak beristri, tidak beranak, kasurku tanah, bantalku batu, pelitaku bulan.”
Begitu pula Nabi Muhammad saw. mencontohkan ketika orang-orang terpandang dalam masyarakat menyatakan kesediaan mereka mendengar ajaran Islam, asal kaum lemah tidak ikut duduk di antara mereka. Nabi Muhammad saw. secara tegas menolak usul tersebut berdasarkan perintah Allah Swt.
“Janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul n tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka, dan mereka tidak sedikitpun memikul tanggung jawab atas perbuatanmu yang menyebabkan kamu berhak mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim,” (QS Al-An’am: 52)
Di lain kesempatan, beliau mengingatkan pada mereka yang terpandang dan berpunya dengan mengatakan,
“Kalian memperoleh rezeki dan kemenangan berkat orang-orang lemah di antara kalian.”
Demikianlah Al-Masih dan Nabi Muhammad saw. mencontohkan pengambilan sikap yang tegas dan tepat terhadap permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Kondisi Sosial Masyarakat Dahulu dan Kini
Kita memahami bahwa terdapat kesamaan kondisi sosial masyarakat pada saat Al-Masih atau Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad saw. diutus dengan saat ini.
Manusia yang sejak dulu memang dikenal sebagai kaum homofestivo yang senang dengan selebrasi dan pesta. Kerap tenggelam dalam hedonisme, foya-foya, dan bermuka dua. Pemuka-pemuka agama hanya terkait dengan bentuk formalitas acara ritual, namun setelah pesta berakhir, mereka tak tahu akan kemana dan bagaimana selanjutnya.
Jiwa mereka gersang dan kering, mereka melepas dahaga dengan minuman sedang hati mereka kehausan, tubuh mereka larut dalam riuhnya pesta namun jiwa mereka tenggelam dalam kesepian. Di tengah kondisi kegalauan spiritual itulah Al-Masih diutus.
Sebuah pesan dari peradaban terdahulu yang masih relevan dalam kehidupan saat ini bagi setiap individu, sebagai reminder dalam menjalani kehidupan di dunia.
Menyambut Natal dan tahun baru, tentu bukanlah hal yang dilarang apabila merayakan hari itu dengan bersukacita dan berpesta. Namun tenggelam dalam perayaan dan berlebih-lebihan dalam euforia bukan juga hal yang dianjurkan.
Esensi Asli Perayaan Kelahiran Al-Masih
Pada perayaan kelahiran Al-Masih, sesungguhnya kita sedang mengenang dan mengingat kembali perjalanan hidup dan pesan-pesan moral yang disampaikannya. Sebagai esensi dari perayaan tersebut, yang jauh lebih penting daripada sekadar menyalakan kembang api dan meniup terompet.
Selamat bagi yang merayakan Natal dan tahun baru.
Editor: Zahra