Perspektif

Perayaan Natal: Antara Prasangka Keagamaan dan Toleransi

5 Mins read

“Tak kenal maka tak sayang”, pepatah tua entah dari siapa namun tidak pernah berhenti dinukil orang, seolah menjadi golden rule. Ketidakmampuan kita untuk mengerti dan menyayangi pihak lain seringkali bersumber dari ketidaktahuan (tak kenal) sehingga sulit sekali untuk toleransi muncul. Dalam kondisi seperti itu, yang kita miliki hanya prasangka (prejudice). Prasangka secara sederhana diartikan sebagai thinking ill of other without sufficient warrant, berpikir negatif tentang pihak lain tanpa alasan yang cukup (Allport, 1966). Prasangka mudah menjangkiti orang-orang yang tidak mau mengenal pihak lain; sikap merasa paling benar dan paling baik sering menjadi penghalang untuk dapat mengenal yang lain. Oleh karena itu prasangka justru sangat mudah menjangkiti orang beragama, sebab setiap orang beragama memiliki klaim kebenaran (truth-claim).

Lalu, secara tak terhindarkan berarti mengklaim kekurangbenaran agama lain. Urusan benar-salah, lebih benar dan kurang benar, sangat erat kaitannya dengan masalah doktriner atau pangkal keimanan. Sehingga akan menguras tenaga dan waktu jika diperdebatkan antar umat beragama. Cara untuk dapat mengenal pihak lain, dengan demikian, bukan melalui dialektika benar-salah, namun melalui dialog kebudayaan. Inilah jalur yang akan mereduksi prasangka dan merukunkan manusia.

Sebagai contoh kasus, tulisan ini menempatkan Natal sebagai fenomena kebudayaan dalam agama Kristen. Hal ini akan lebih mudah diterima non-Kristen daripada membahasnya sebagai doktrin keagamaan. Dengan ulasan ini diharapkan kita tidak lagi memandang Natal secara doktriner dengan tudingan yang sering muncul seperti “Natal tidak ada dalilnya dalam injil”, “Yesus tidak memerintahkan untuk diperingati kelahirannya”, dan seterusnya. Natal dalam tulisan ini ditelisik secara kronologis dan ringkas, dimulai dari konteks kehadiran Isa dalam masyarakat Yahudi.

Munculnya Yesus

Bangsa Yahudi, di mana Isa Putera Maryam dilahirkan, adalah bangsa yang sedang menunggu pemimpin baru yang didambakan. Munculnya Isa (Iesus (bahasa Yunani)/ Jesus (bahasa Inggris)) dengan segala keluarbiasaannya disambut suka cita oleh masyarakat Yahudi yang telah menanti-nanti. Umat yang sudah ngebet mengharap pemimpin baru ini adalah komunitas eskatologis (merasa sudah di akhir zaman) sehingga tidak merasa perlu mencatat detail waktu kelahiran Isa/Yesus (Epafras, 2020). Oleh karena itu, catatan kapan Yesus dilahirkan memang tidak ditemukan.

Baca Juga  Buya Syafii, Wajah Islam Demokratis, Toleran, dan Emansipatif

Abad-abad berikutnya, orang baru merasa perlu mengumpulkan segala catatan tentang Yesus. Kebutuhan untuk menata dokumen inilah yang pada gilirannya meniscayakan “biografi” Yesus. Artinya, pertanyaan tentang kapan tepatnya Yesus mulai ada di muka bumi mulai dipikirkan. Penggambaran tentang Yesus secara lebih detail juga merupakan tuntutan dari perkembangan keumatan (fellowship). Kristen terus berkembang melintasi berbagai wilayah, dan semakin beragam secara rasial. Sehingga pengkabaran tentang Yesus perlu piranti yang lebih kompleks daripada sekedar deskripsi lisan.

Penjelasan tentang siapa Yesus juga diperlukan untuk menyangkal pandangan-pandangan kontra seperti “Yesus bukan manusia, ia tidak pernah dilahirkan”. Pandangan ini menyebar melalui paham Manichaeism (gnostisisme Persia abad ke-3) dan Docetism (gnostisisme Kristen yang tertolak dalam Konsili Nicea tahun 325). Dengan menuliskan sejarah Yesus, maka diharapkan Yesus dapat diyakini sebagai tokoh historis, bukan tokoh mitologis.

Menetapkan Yesus sebagai tokoh sejarah sangat penting bagi Kristen, sebab dengan itulah doktrin Trinitas semakin dikuatkan. Selain itu, beberapa Injil non-kanonik, yaitu injil-injil yang tidak termasuk dalam kompilasi yang kita kenal dalam Kitab Injil saat ini, juga memuat kisah-kisah tentang masa kanak-kanak Yesus, sehingga membuka celah untuk meneliti biografi Yesus.

Asal-muasal Tercetusnya Natal

Beberapa peneliti dan pencetus yang penting untuk dicatat misalnya Clement of Alexandria (150-210) yang meneliti beberapa pendapat dan akhirnya merekomendasikan hari kelahiran Yesus (Natal) pada 17 November. Sextus Julius Africanus (160-240), seorang sejarawan, merekomendasikan tanggal 25 Desember. Kitab De Pascha Computus yang ditulis secara anonimus oleh Pseudo-Cyprian pada abad-3 memilih tanggal 28 Maret sebagai hari Natal, atau tiga hari setelah Penciptaan yang diprediksi setara dengan 25 Maret.

Orang Kristen di Mesir dan Timur Tengah memilih tanggal 6 Januari, dan pada abad ke-4 telah ditulis Himne Kelahiran Yesus 6 Januari oleh Ephrem of Edessa, seorang pemuka di Gereja Siria. Gereja Ortodox Timur (Rusia) memilih tanggal 7 Januari karena penggunaan Kalender Julian yang berselisih 13 hari dengan kalender Gregorian.

Baca Juga  MAARIF House Edisi 4: Bincang Soal Agama, Kebudayaan, dan Moralitas Publik

Terpilihnya tanggal 25 sebagai hari Natal saat ini, dalam perspektif budaya, adalah keberhasilan upaya akulturasi Kristen terhadap budaya paganisme Romawi. Sejak tahun 274, Kaisar Romawi, Aurelius, menetapkan 25 Desember sebagai hari raya Sol Invictus untuk pemujaan Dewa Matahari. Kemudian terdapat catatan bahwa tahun 354 diperingati hari ulang tahun para martir (orang-orang suci yang telah meninggal) dimulai dengan ulang tahun Yesus pada 25 Desember. Sekitar tahun 361, melalui khotbahnya, Uskup Optatus menganjurkan agar Hari kelahiran Yesus 25 Desember tidak hanya untuk diperingati, namun dapat menjadi Sakramen atau upacara keagamaan.

Pada abad 4 pula, semakin lazim orang berziarah ke Betlehem pada bulan Desember hingga Januari untuk merayakan festival musim dingin, yang semakin memperkuat tradisi Natal. Upaya mengadopsi budaya non-Kristen lalu diubah menjadi bernuansa Kristen juga didukung oleh Paus Gregorius Agung pada abad-6. Dynosius bar Salibi, tokoh Gereja Ortodoks Siria abad 12, juga dengan terang-terangan mengatakan bahwa upaya menggeser Natal dari tanggal 6 Januari ke 25 Januari adalah sebagai upaya Kristenisasi terhadap tradisi Sol Invictus Romawi. Dengan demikian Natal jika dilihat dari kajian budaya, sebenarnya merupakan upaya akulturasi Agama terhadap budaya sebelumnya.

Jalur Kebudayaan lebih Toleransi

Dalam konteks budaya Islam di Indonesia, upaya akulturasi oleh agama terhadap budaya lain dapat dengan mudah ditemukan contohnya. Beberapa upacara Islam tradisional dalam bentuk selametan juga merupakan hasil akulturasi dengan budaya dominan pra-Islam di nusantara. Bahkan, kisah Mahabarata dan Ramayana yang jelas-jelas lahir dari tradisi Hindu pun digubah sedemikian rupa sehingga bernuansa Islami. Jamus Kalimasada (kalimah syahadat) sebagai senjata paling ampuh di dunia pewayangan tidak mungkin kita temui dalam film Mahabarata ala Bolywood, bahkan di kitab Mahabharata sendiri. Namun itu terjadi di Indonesia karena dahulu ada peran para da’i yang menyebarkan Islam melalui akulturasi budaya.

Natal secara historis merupakan keberhasilan orang-orang Kristen dalam memberi pelayanan pada umatnya sesuai konteks perubahan zaman saat itu, bukan sebaliknya, bukan Kristen yang terpengaruh tradisi pagan sebagaimana banyak dipropagandakan. Kini, Natal oleh umat Kristen tampaknya lebih dimaknai sebagai semangat pembaruan iman, kelahiran kembali atau pemurnian iman, tanpa merasa perlu memperdebatkan ‘tanggal’ yang sebenarnya bagi mereka memang tidak terlalu prinsip.

Baca Juga  Masyarakat Dusun Sarapati: Penghayat Kejawen yang Sukses Menerapkan Nilai-Nilai Toleransi

Setelah kita memahami Natal dalam sejarah pembudayaannya, prasangka terhadap Natal semestinya mulai mencair. Umat Muslim tetap perlu memandang umat Kristen sebagai “berbeda”, namun prasangka yang mengarah kepada kebencian dan permusuhan harus dipungkasi. Sebaliknya mengakui mereka sebagai berbeda dan berhak memiliki keberbedaannya adalah cermin kedewasaan beragama. Sebagaimana Nabi dan Khulafaur Rasyidin juga tidak memaksakan Islam kepada semua orang; sebab tugas nabi dan umatnya hanyalah mengingatkan manusia, bukan mengubah secara paksa, toh dari Tuhan semata datangnya hidayah. Pertanyaan yang kerap muncul di kalangan Muslim pada akhir Desember ini, adalah bagaimana sikap kita terhadap Natal?

Prinsip Nabi Menghadapi Perbedaan

Prinsip dasar dalam Islam untuk urusan ini adalah “lakum dinukum waliyaddin”, bagimu agamamu bagiku agamaku: “Silakan saja anda rayakan, saya tidak akan ikut-ikutan merayakan, dan sudah pasti tidak akan menganggu perayaannya.” Umat Islam memposisikan Ahludzdzimmah (non-Muslim yang bersahabat) sebagai saudara yang punya hak-hak kemanusiaan yang sama. Rasulullah menyatakan bahwa melukai mereka sama dengan melukai Nabi sendiri (H.R. Thabrani). Artinya, kalau tidak ingin melukai Rasulullah, jangan lukai non-Muslim. Apalagi membunuh, melesakkan bom ke gereja di hari Natal sebagaimana pernah terjadi, hal itu jelas bertentangan dengan sikap tegas Nabi “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Sebagai penutup perlu ditegaskan bahwa pelanggaran terhadap hak non-Muslim sering dipicu oleh prasangka. Dalam pandangan Allport, mengurangi prasangka (prejudice reduction) dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, kontak langsung dengan kelompok berbeda, dan kedua, mengembangkan cara pandang yang terbuka. Tulisan ini setidaknya membantu untuk metode yang kedua tersebut. Semoga bermanfaat.

Editor: RF Wuland

Avatar
2 posts

About author
Penggemar Studi Agama-Agama dan Filsafat. Saat ini masih menempuh S3 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds