Falsafah

Perbedaan dan Kesetaraan Gender dalam Islam

5 Mins read

Salah satu tema sentral sekaligus prinsip pokok ajaran Islam adalah prinsip egalitarian, yakni persamaan antar manusia. Baik laki-laki dan perempuan (dari sudut pandang gender dan jenis kelamin), antar bangsa, suku, maupun keturunan.

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)

Ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hal:

  1. Ibadah (dimensi spiritual)
  2. Aktivitas sosial (urusan karier profesional)
  3. Mengikis tuntas pandangan yang menyatakan bahwa antara keduanya terdapat perbedaan yang memarginalkan salah satu diantara keduanya.
  4. Mempertegas misi pokok al-Qur’an diturunkan adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan. Termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya.

Konteks khalifatullâh fî al-ardh secara terminologis, berarti “kedudukan kepemimpinan”. Ini berarti bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan diamanatkan menjadi pemimpin. Qur’an maupun hadis yang kelihatannya berdimensi maskulin, dan secara sepintas menyorot masalah misoginis. Sementara ajaran Islam, diyakini sebagai rahmat untuk semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin.

Dewasa ini, agama sering dituduh sebagai sumber terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat. Termasuk ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan, yang sering disebut dengan ketidakadilan gender.

Gender dan Jenis Kelamin

Gender adalah jenis kelamin bentukan yang dikonstruksi oleh budaya dan adat istiadat. Seperti laki-laki kuat, berani, cerdas, menguasai, sedangkan perempuan itu lemah, penakut, kurang cerdas (bodoh), dikuasai, dan lain-lain.

Isu gender menguat ketika disadari bahwa perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan, telah melahirkan ketidakadilan dalam berbagai bentuk. Seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan yang negatif bagi perempuan.

Citra perempuan yang dimaksud hanya bergelut 3R (dapur, sumur, kasur), kekerasan, dan double burden (beban ganda); terhadap perempuan yang bermuara pada perbuatan tidak adil yang dibenci oleh Allah Swt.

Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

Baca Juga  Immanuel Kant: Cara Menciptakan Perdamaian Hidup

Dalam konteks tersebut, gender harus dibedakan dari jenis kelamin (seks). Jenis kelamin merupakan pensifatan, atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

Sedangkan, konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lembut dan cantik. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gender adalah interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin.

Gender dan jenis kelamin perlu disikapi berbeda. Gender bukan perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (seks), adalah kodrat Tuhan. Dan oleh karenanya, secara permanen berbeda.

Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial. Yakni perbedaan yang bukan kodrat, atau bukan ketentuan Tuhan. Melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan), melalui proses sosial dan kultural yang panjang.

Gender Menurut Perspektif Al-Qur’an

Mansour Fakih berpendapat, perbedaan gender akan melahirkan manifestasi ketidakadilan. Antara lain: terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin; pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), dan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (double burden).

Pada umumnya, yang menjadi korban adalah perempuan dengan adanya tradisi dan keyakinan masyarakat; bahwa perempuan-lah yang bertugas dan memelihara kerapian rumah, serta tanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.

Perspektif gender dalam al-Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu. Al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan.

Konsep berpasang-pasangan (azwâj) dalam al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia, melainkan juga binatang (QS. al-Syura: 11), dan tumbuh-tumbuhan (QS. Thaha: 53). Bahkan, kalangan sufi menganggap makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan.

Langit diumpamakan dengan suami yang menyimpan air (QS. at-Thariq: 11), dan bumi diumpamakan istri yang menerima limpahan air; yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan (QS. at-Thariq: 12). Satu-satunya yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq Yang Maha Esa (QS. al-Ikhlas: 14).

Baca Juga  Sejarah Matinya Filsafat dalam Dunia Islam

Secara umum, tampaknya al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya.

Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis; yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga (QS. al-Rum: 21). Sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri damai penuh ampunan Tuhan (baldatun Thayyibatun wa rabbun ghafûr) (QS. Saba: 15).

Al-Qur’an juga terobsesi untuk mengalihkan pola hidup yang bercorak kesukuan (tribalism), yang rawan terhadap berbagai ketegangan dan kezaliman; menuju ke pola hidup ummah. Seperti disebutkan dalam (QS. al-Baqarah: 213), pola hidup ummah adalah pola hidup yang lebih mendunia. Dan lebih menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan.

Dalam pola kesukuan, promosi karier hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan perempuan sulit sekali memperoleh kesempatan itu. Dalam pola hidup ummah, laki-laki dan perempuan terbuka peluang untuk memperoleh kesempatan itu secara adil.

Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender

Nasaruddin Umar mengemukakan, bahwa ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Variabel-variabel tersebut, antara lain sebagai berikut:

Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba

Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam (QS. Al-Zariyat: 56).

Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di Bumi

Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah; di samping untuk menjadi hamba (âbid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah Swt.; juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fî al-ard).

Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan di dalam (QS. al-An’am: 165), artinya sebagai berikut:

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial

Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Sebagaimana disebutkan dalam (QS. al-A’raf: 172).

Baca Juga  Ketika Friedrich Nietzsche Membunuh Tuhan Demi Kemerdekaan Hidup

Menurut Fakhr al-Razi, tidak ada seorang pun anak manusia lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan. Dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan “tidak”.

Dalam Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia. Dengan demikian, dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.

Al-Qur’an menegaskan, bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam. Sebagaimana disebutkan dalam (QS. al-Isra: 70).

“Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan”. Sebagai sanksi terhadap kesalahan perempuan itu maka kepadanya dijatuhkan semacam sanksi sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kejadian (3:16).

“Firmannya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu, namun engkau akan berahi kepada suamimu dan dia akan berkuasa atasmu.” (3:16)

Konsep yang Ideal

Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, ditegaskan secara khusus di dalam beberapa ayat. Di antaranya, (QS. Ali-Imran: 195).

Ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal, dan memberikan ketegasan; bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan berpeluang memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.

Namun, dalam kenyataannya dalam masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi. Karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.

Salah satu obsesi al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Karena itu, al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan. Baik berdasarkan kelompok, etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas, atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan; maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan atau direinterpretasi.

Editor: Zahra/Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Penulis adalah Staff/Pengajar Praktikum di Lab. Syariah prodi HKI UMM
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds