Tafsir

Perbedaan Qira’at dalam Penafsiran Surat An-Nisa’ Ayat 43

3 Mins read

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan bagi orang yang telah berwudu, apakah membatalkan wudu atau tidak. Penyebab dari perbedaan hukum tersebut, dikarenakan perbedaan dalam perbedaan bacaan (qira’at) yang ada. Kemudian berimplikasi kepada perbedaan pemahaman dalam menafsirkan ayat tersebut. Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 43 disebutkan:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’: 43)

Penggalan ayat اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ  di atas. berbicara tentang batalnya wudu yang disebabkan bersentuhnya laki-laki dengan perempuan. Ada beberapa pendapat tentang perbedaan qira’at yang terjadi pada kalimat dalam ayat ini. Di antaranya yang jika kita kumpulkan, bermuara kepada dua pendapat, yaitu membatalkan dan tidak membatalkan.

Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Qira’at

Imam Ibn Katsir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr dan Ibn ‘Amir membaca penggalan ayat tersebut dengan memanjangkan huruf lam (لاَمَسْتُمُ النِّساءَ). Sedangkan Imam Hamzah dan al-Kisa’i membaca dengan memendekkan huruf lam  (لَمَسْتُمُ النِّسَآءَ).

Baca Juga  Tafsir Kontekstual Mustahik Selama Pandemi

Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki, bersentuhan biasa antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudu. Karena dengan berpegang pada qira’at لامستم (memanjangkan lam), yang mengandung arti adanya unsur kesengajaan untuk saling bersentuhan. Yang mana dalam hal ini adalah hubungan suami istri (jima’), maka bersentuhan biasa tidak membatalkan wudu.

Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti dalam Tafsir Jalalain menjelaskan ayat di atas: Menurut satu qira’at lamastum itu tanpa alif, dan keduanya yaitu baik pakai alif atau tidak, artinya ialah menyentuh yakni meraba dengan tangan.

Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Umar, juga merupakan pendapat Syafi’i. Dan dikaitkan dengannya meraba dengan kulit lainnya, sedangkan dari Ibn Abbas diberitakan bahwa maksudnya ialah jima’ atau bersetubuh. (Tafsir Jalalain jilid 1, hal. 335)

Apakah Ayat Tersebut Bermakna Jima’?

Ada beberapa landasan dari hadis yang mendasari pendapat bahwa ayat tersebut bermakna jima’. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Aisyah. Bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium beberapa istrinya, kemudian ia keluar menunaikan shalat dan tidak berwudu lagi.

Hadis lain yang diriwayatkan Aisyah. Ia berkata, ”Pada suatu malam, aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau, saat itu beliau berada di masjid, sementara kedua telapak kakinya ditegakkan sambil berdoa ‘Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu’.” (HR. Muslim no. 486)

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa bersentuhan biasa dapat membatalkan wudu. Karena dengan berpegang pada qira’at لَمَسْتُمْ (memendekkan lam), berarti persentuhan dilakukan oleh salah satu pihak, tanpa harus ada unsur kesengajaan untuk saling bersentuhan yang mengandung arti jima’.  Dalam hal ini terlihat, bahwa perbedaan qira’at dapat mengakibatkan perbedaan hasil istinbat hukum.

Baca Juga  Mengenal Konsep Makkiyah dan Madaniyah

Imam Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm:

Telah sampai kepada kami dari Ibn Mas’ud yang mendekati makna ucapan Ibnu Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebagian tubuhnya pada sebagian tubuh istrinya di mana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudu. (Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 26)

Al-Mulasamah Dimaksudkan Sebagai Jima’

Akan tetapi, jika kita melihat dari bentuk dan susunan ayat tersebut, menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-mulamasah adalah jima’.

Karena Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan, bahwa di antara yang membolehkan tayamum adalah kembali dari buang air besar untuk menegaskan adanya hadas kecil, dan menyebutkan al-mulamasah untuk menegaskan atas hadas besar.

Hal tersebut sepadan dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala mengenai perintah mencuci dengan air:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6).

Baca Juga  Toleransi Beragama dalam Membangun Keutuhan NKRI

Seandainya ‘mulamasah’ dipahami dengan sentuhan yang membatalkan wudhu, niscaya akan hilang penegasan bahwa tanah dapat menggantikan air dalam menghilangkan hadas besar, dan bertentangan dengan awal ayat.

Editor: Zahra

Avatar
7 posts

About author
Peneliti Studi Islam dan Penulis Essai Lepas
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds