Tafsir

Imam Khomeini: Tafsir al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Qadr

4 Mins read

Biografi Imam Khomeini

Citra Ruhullah Musawi al-Khomeini—selanjutnya disebut Imam Khomeini—yang lahir pada 24 September 1902 dan wafat pada 3 Juni 1989, selain sebagai revolusioner, ahli fikih, atau mujtahid, ia juga memiliki kemampuan filosofis dan kecakapan dalam bidang ‘irfani, suatu kredibilitas yang jarang ditemui di diri ulama sezamannya.

Imam Khomeini mewarisi disiplin gnostik sekaligus politik, setidaknya dari Mirza Muhammad Ali Syahabadi (w.1328/1950), yang kemudian menjadi satu identitas yang melekat dalam dirinya. Pembentukan spiritual dan intelektual Imam Khomeini dimulai ketika ia sampai di Qum untuk menyelesaikan jenjang pendidikan madrasah (sutuh).

Ia menaruh minat pada topik dan disiplin ilmu yang tidak hanya absen dalam kurikulum madrasah, tetapi juga dimusuhi dan dipandang negatif. Yakni filsafat dari berbagai mazhab serta gnostisisme (‘irfan).

Pada aspek gnostik, Imam Khomeini pertama kali mempelajari satu kitab tafsir yang diproduksi oleh Mullah Muhsin Fayz-e Kashani (w.1091/1680) bersama dengan teman sebayanya, Ayatullah ‘Ali Araki (w.1994).

Pengetahuannya terkait gnostisisme dan disiplin etika didapatkan dari Haji Mirza Javad Maliki-Tabrizi. Sedangkan dalam disiplin filsafat, ia pertama-tama berguru kepada cendekiawan filsafat paripatetik dan iluminasionis, Sayyid Abul-Hasan Qazvini (Algar, 2009: 41-42).

Perannya sebagai pemimpin spiritual berpengaruh terhadap kehidupan yang berkelindan erat dengan dakwah yang disampaikan secara oral maupun melalui karya tulis. Ia berupaya untuk memberikan pemahaman terkait Islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an.

Ia seringkali menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, meski tidak dikatakan ia meninggalkan satu kitab tafsir yang utuh. Namun, sisi intelektualitasnya sebagai seorang mufasir terekam dengan jelas sebagaimana pribadinya yang mendalami mistisisme. Berbicara tafsir, Imam Khomeini pun tidak bisa dilepaskan dari latar belakang atau horizon yang melekat dalam dirinya.

Deskripsi Tafsir al-Fatihah, al-Ikhlas, dan alQadr: Perspektif‘Irfan

Salah satu karya Imam Khomeini yang sangat merepresentasikan dimensi sufistik adalah kitab al-Adabu al-Ma’nawiyyatu li al-Shalah. Kitab ini diproduksi tidak dalam bentuk tafsir terhadap teks Al-Qur’an secara khusus dan komprehensif, melainkan dalam bentuk tulisan umum yang pada mulanya bertujuan untuk menghadirkan pemahaman terkait adab dan makna didirikannya salat.

Baca Juga  Ulil Albab (1): Orang-orang Berakal dan Bijak

Kitab ini membahas tentang etika berhadapan dengan Tuhan, tingkatan dari ahl al-suluk, bagaimana mencapai salat dengan khusyuk, bagaimana terhindar dari bisikan setan, bagaimana menghadirkan hati saat salat, rangkaian rukun salat, dan sebagainya.

Meskipun demikian, di dalam kitab tersebut terhimpun penafsiran terhadap beberapa surat yang sering dilafalkan ketika salat, yakni al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Qadr, dengan maksud agar orang yang mendirikan salat dengan membaca surah tersebut dapat merenungi maknanya (Khomeini, 2004: 295).

Tiga surah tersebut kemudian dihimpun dalam satu kitab terpisah dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tafsir al-Fatihah, al-Ikhlas dan al-Qadr: Perspektif ‘Irfan.

Secara singkat, tafsir ini adalah edisi petikan sub bab pembahasan dari kitab lengkap Imam Khomeini yang berjudul al-Adabu al-Ma’nawiyyatu li al-Shalah.

Sistematika penyajian tafsir ini dimulai dengan menafsirkan secara ringkas di setiap suratnya. Kemudian, diuraikan secara rinci dari berbagai aspek, khususnya kajian ‘irfani, kajian filosofis, dan hikmah isyraqi.

***

Tiga aspek ini menunjukkan kedalaman penafsiran yang dituliskan Imam Khomeini, bahkan penafsirannya sulit untuk dipahami secara rasional. Sebab, horizon sufistiknya sangat mewarnai hasil penafsirannya.

Maka tidak heran jika nuansa, corak, warna (lawn) Tafsir al-Fatihah, al-Ikhlas dan al-Qadr: Perspektif ‘Irfan adalah nuansa sufistik. Sebab, Imam Khomeini menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari sudut pandang esoterik atau didasarkan pada isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi melalui suluk-nya.

Dalam beberapa kesempatan dan kepentingan, Imam Khomeini juga mengutip hadis-hadis yang disandarkan kepada ahl al-bayt.

Sedangkan dari segi metode penafsirannya, berdasarkan klasifikasi al-Farmawy, tafsir ini termasuk dalam kategori tafsir dengan metode mawdu’i (tematik surah). Sebab, Imam Khomeini menafsirkan ayat Al-Qur’an pada surat-surat tertentu, yakni al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Qadr. Meski penafsirannya diuraikan dengan beberapa klasifikasi pembahasan, namun ruang lingkupnya tidak mencerminkan adanya penafsiran yang rinci.

Baca Juga  Siapakah Orang Yang Paling Merugi di Akhirat Kelak

Nuansa Sufistik dan Contohnya

Dengan menyibak makna-makna teks berdasarkan pengalaman spiritualnya, Imam Khomeini sampai pada pemaknaan esoterik yang dalam tradisi tafsir disebut dengan tafsir isyari. Ia menafsirkan Al-Qur’an didasarkan pada ‘irfan yang sejalan dengan konstruksi epistemologi ‘irfani. Di mana, pengetahuan mengenai hakikat ketuhanan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman langsung dan tidak melewati verifikasi empiris dan penalaran rasional.

Pengalaman langsung yang otentik, orisinil, dan belum terjamah oleh konstruksi logika yang dirasakan oleh intuisi inilah yang di dalam khazanah intelektual Islam disebut sebagai al-‘ilm al-hudhuri.

Meskipun tradisi penafsiran isyari banyak ditentang, namun penafsiran Imam Khomeini dapat diterima. Sebab, ia memenuhi persyaratan yang ketat dari para ahli ulumul quran. Seperti: penafsirannya tidak bertentangan dengan makna lahiriah dari teks Al-Qur’an, tidak menyatakan bahwa penafsirannya merupakan satu-satunya yang dimaksudkan ayat dengan mengesampingkan yang lahir, dan ada kesekian syarak yang memperkuatnya, sehingga tidak bertentangan dengan syarak dan akal (Khomeini, 2007: xvii).

Selain masih berpedoman pada makna lahiriah teks, Imam Khomeini juga mempunyai komitmen untuk merujuk ayat Al-Qur’an yang memiliki relevansi dengan ayat yang sedang ditafsirkan (munasabah) dan juga riwayat-riwayat yang disandarkan kepada ahl al-bayt.

Imam Khomeini juga memandang bahwa doa-doa para imam ahl al-bayt sarat dengan muatan ‘irfan sekaligus khazanah tasawuf. Sikap demikian tidak perlu dipertanyakan, sebab Imam Khomeini menggunakan hermeneutika sufistik (isyari), bukan tafsir bathini.

Konsepsi demikian dapat dilihat dalam penafsiran Imam Khomein pada term al-Rahman dan al-Rahim dalam surah al-Fatihah, di mana penafsirannya tidak lagi mencakup makna zahir, melainkan sampai pada makna batin.

Penafsirannya sampai pada ranah eksistensi dan manifestasi Tuhan. Dalam menjelaskan eksistensi dan manifestasi-Nya, Imam Khomeini mengutip QS. An-Nur, 24: 35 di mana “Allah adalah cahaya segenap langit dan bumi...” dan QS. Az-Zukhruf, 43: 84 di mana “Dan Dialah Allah, yang di langit adalah Tuhan dan yang di bumi adalah Tuhan…”.

Baca Juga  Fatwa Muhammadiyah tentang Syiah
***

Bahwa kasih sayang atau belas kasih dari “ke-rahman­-an” Allah adalah keluasan dari asal-usul wujud. Dalam artian, manifestasi Allah yang bersifat umum dan berlaku untuk semua maujud.

Dalam memperluas asal-usul wujud, Allah tidak memiliki sekutu atau mitra. Dengan bahasa lain, tangan-tangan makhluk lainnya tidaklah memiliki sifat al-rahman­ dalam penciptaan.

Artinya, tidak ada pencipta lain di alam wujud, kecuali Allah sendiri. Hal ini menunjukkan eksistensi Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta, bahwa tidak ada Tuhan dalam Rumah Perwujudan (dar at-tahaqquq) kecuali Allah.

Sedangkan, kasih sayang atau belas kasih “ke-rahim-an” Allah dalam konsepsi segenap pancaran-Nya (manifestasi) adalah bimbingan dari Sang Penunjuk Jalan yang dikhususkan kepada orang-orang beruntung dan bagi mereka yang memiliki derajat tinggi (Khomeini, 2013, 9-11).

Rika Leli Dewi Khusaila Rosalnia
2 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Konsentrasi HermeneutikaAl-Qur'an, minat kajian bidang pemikiran-keagamaan.
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *