Selama ini banyak kalangan yang boleh dibilang tidak atau belum mengetahui seluk-beluk keyakinan sosok Dr. Sutomo, ketua organisasi Boedi Oetomo (BO). Dengan latar belakang keyakinan Theosofi, ia pernah menjabat sebagai adviseur (penasehat) Polikliniek Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) Muhammadiyah Surabaya. Dialog pemikiran teologis sempat terjadi antara Soetomo dan KH. Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah di Surabaya pada waktu itu.
Seperti apakah pandangan-pandangan teologis sosok Dr. Sutomo? Apakah dia seorang Muslim taat karena teman-temannya kebanyakan dari kalangan Muslim atau justru dia tidak terkait sama sekali dengan keyakinan “agama formal” (organized religion)? Dengan merujuk pada sumber Majalah Penganjur, No. 5 Th II/ Juli 1938, dialog teologis antara kedua tokoh nasional ini penulis rekam dari sudut pandang pemikiran KH. Mas Mansur. Tulisan ini akan mengkaji tentang bagaimana sistem keyakinan sosok pahlawan nasional kita ini dalam memahami keberadaan Tuhan.
Tuhan di Mata Dr Soetomo
Memang tidak banyak kajian yang mengangkat tema bagaimana sosok Dr. Soetomo yang telah banyak berjasa kepada bangsa Indonesia tentang bagaimana dia memahami Tuhannya. Tentu sangat menarik jika kita mengetahui bagaimana pandangan teologis seorang tokoh pergerakan nasional terkemuka di negeri ini. Dalam suatu pertemuan dialogis di tahun 1923 dengan KH. Mas Mansur, tokoh pergerakan nasional kita ini menyatakan:
“Menurut filsafat saya, kita manusia ini ialah penjelmaan Tuhan yang paling akhir, yang kemudian harus langsung kembali menjadi aslinya, menjadi Dzat Tuhan yang mula-mula. Supaya kita dapat kembali dengan langsung menjadi Dia, hendaklah kita memakaikan sifat-Nya, yakni “Rahman” dan “Rahim.”
Itulah sepenggal keyakinan Dr Sutomo sebagaimana dituturkan oleh KH. Mas Mansur. Sebelumnya, berdasarkan informasi dari KH. Mas Mansur, sosok Dr. Soetomo telah banyak melahap karya-karya filsafat terdahulu. Ia telah mempelajari kitab-kitab suci agama Budha. Lewat pendalaman kitab-kitab suci agama Budha, Soetomo menguasai Filsafat Emanasi (Pancaran).
Dari pengakuannya di atas telah menunjukkan bahwa ia terpengaruh oleh Filsafat Emanasi. Dalam filsafatnya meyakini bahwa kehidupan ini adalah merupakan penjelmaan terakhir dari Wujud Tuhan yang kemudian memancar pada tiap-tiap benda di alam semesta ini, termasuk manusia. Berdasarkan filsafat ini, realitas kehidupan merupakan manifestasi terakhir dari Wujud Tuhan sebagai “Yang Pertama.” Kemudian kehidupan ini dianggap dalam proses menuju Hakekat semula, yaitu menuju menjadi Dzat Tuhan. Termasuk kehidupan manusia merupakan proses menuju kembali menjadi Dzat Tuhan Yang Pertama itu.
Menurut Soetomo, syarat manusia bisa kembali ke Hakekat semula ialah dengan menerapkan sifat-sifat Tuhan itu sendiri. Dengan menerapkan sifat Rahman dan Rahim, manusia sedang dalam proses menjadi Tuhan. Hanya dengan menerapkan sifat-sifat Ketuhanan dalam perilaku manusia, ia dapat kembali menjadi Tuhan sebagai tujuan akhir.
Sederhananya, keyakinan yang dianut Dr Soetomo ini meyakini agar manusia berusaha mengimplementasikan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Sifat-sifat Tuhan tersebut adalah sifat Rahman dan Rahim, sebagaimana pengakuan Dr Soetomo. Dan, sifat-sifat tersebut memang diakui dalam teologi Islam sebagai sifat Tuhan. Menurutnya, manusia dan seluruh benda di alam semesta ini pada mulanya adalah Wujud Tuhan Yang Pertama.
Filsafat Emanasi
KH Mas Mansur menjelaskan keyakinan Dr Soetomo yang berpegang pada Teori Emanasi.
“…yaitu filsafat yang berpendapat bahwa sekalian alam atau benda apa saja yang ada ini daripada Dzat Tuhan. Tuhan menjelmakan Dzat-Nya pada segala benda. Jadi, di mana saja, di barang apa juapun, di situlah ada Tuhan. Atau dengan lain perkataan, tiap-tiap benda itu ialah Tuhan jua adanya.”
Penjelasan KH Mas Mansur sangat membantu kita memahami konstruksi keyakinan Dr Soetomo. Boleh dibilang Soetomo merupakan pengikut aliran Filsafat Emanasi (Pancaran) Plotinus. Yaitu, aliran filsafat yang berpendapat bahwa realitas alam semesta pada hakekatnya merupakan “Pancaran” dari Tuhan yang dianalogikan sebagai “Cahaya.” Dalam tiap-tiap benda memancar Cahaya Ketuhanan. Secara otomatis keyakinan seperti ini seakan-akan memandang Tuhan bersemayam pada setiap benda di alam semesta.
Dr Soetomo meyakini bahwa seluruh realitas alam berpangkal dari “Wujud Pertama.” Wujud Pertama itu diyakini sebagai “Tuhan” yang kemudian menjelma menjadi Realitas Terakhir (Ultimate Reality). Seluruh realitas alam semesta, termasuk di dalamnya manusia, adalah bagian dari “Wujud Pertama” itu.
Wujud Tuhan dalam realitas alam semesta merupakan penjelmaan terakhir. Penjelmaan terakhir dalam bentuk benda-benda untuk kemudian berproses menuju menjadi Tuhan kembali. Proses tersebut melalui pengejawantahan sifat Rahman dan Rahim yang menjadi sifat Tuhan itu dalam diri manusia. Dengan menerapkan sifat-sifat tersebut manusia dalam proses menuju atau menjadi Tuhan, kembali kepada Wujud Pertama.
Dalam hal ini, menurut KH Mas Mansur, keyakinan Dr Soetomo dianggap sepadan dengan beberapa filosof Muslim terdahulu. Mereka seperti Muhammad Abduh sebagaimana pandangan-pandangan teologisnya termuat dalam Waridlat-nya, kemudian Ibnu Araby dalam Futuhat-nya, dan Farid Wadjdy dalam Dairah al-Ma’arif-nya. Keyakinan teologis ketiga filosof Muslim ini sepadan dengan Teori Emanasi. Teori ini berkeyakinan bahwa seluruh realitas alam semesta merupakan penjelmaan dari Tuhan. Wujud Tuhan menjelma dalam tiap-tiap benda ciptaan-Nya, sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan ada di mana-mana. Inilah yang dalam sejarah teologi Islam disebut aliran Wihdah al-Wujud (Kesatuan Realitas).
Moralis-Egaliter
KH Mas Mansur menjelaskan kembali dampak dari keyakinan Dr Soetomo.
“Filsafat itulah yang menyebabkan beliau tidak mementingkan sembahyang. Filsafat itulah yang menyebabkan beliau tidak mementingkan segala upacara ibadat. Hanya beliau suka bersemedi, merasakan nikmat ketenangan kembali. Terhadap sesama manusia Dr Soetomo berpendirian: Aku = Dia, Dia = Aku. Aku dan Dia satu dalam Hakekat, yakni penjelmaan Tuhan yang sadar. Dari itu aku harus menolong menyadarkan aku yang belum sadar. Aku harus berbuat baik kepada diriku. Itulah yang menyebabkan beliau sangat peramah dan pemurah, menyebabkan halus dan tinggi budi pekertinya.”
Dengan keyakinannya yang cukup filosofis, Dr Soetomo tumbuh menjadi seorang moralis-egaliter. Dia tidak mementingkan formalitas (Syariat), menurut KH Mas Mansur, tetapi lebih pada Hakekat. Sementara Hakekat, menurutnya, merupakan pengejawantahan Tuhan dalam tiap-tiap pribadi manusia yang sadar.
Mengapa sosok Dr Soetomo begitu peramah dan pemurah? Tidak lain karena ia memiliki pandangan filosofis bahwa dirinya merupakan bagian dari diri orang lain, dan demikian juga sebaliknya. Prinsip ini mendorong dirinya untuk berbuat baik terhadap sesama. Tanpa memandang status sosial, perbedaan budaya, agama, dan lain-lain, dirinya mengabdi kepada masyarakat (diri orang lain) untuk menyadarkan mereka.
Itulah sosok dan pemikiran teologis Dr Soetomo, seorang pejuang kemerdekaan, organisator ulung, filosof, dan pahlawan kemanusiaan yang egaliter. Sikapnya yang demikian disebabkan karena ia berpegang teguh pada ajaran teologi yang berlandaskan Teori Emanasi. Dalam konteks sejarah teologi Islam, keyakinannya merupakan perwujudan dari prinsip Wihdah al-Wujud yang banyak dianut oleh para Mistikus Islam (Sufi).
Editor: Yahya FR