Di tengah badai covid 19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, awalnya saya ragu, berniat membatalkan kesediaan sebagai fasilitator pelatihan Camping Perdamaian 10–11 Maret yang diinisiasi Indonesia KAICIID Fellows Network di Malino-Makassar. Selain situasi nasional yang penuh kepanikan dan tanpa protokoler pemeriksaan bebas covid 19 di bandara juga support social yang tidak saya miliki. Ketakutan saya melambung, bagaimana ini, apalagi di rumah anak-anak yang masih kecil harus saya tinggal dalam situasi Depok tidak bebas covid 19. Bulat tekad ingin kubatalkan.
Tetapi, suami mengingatkan saya tentang mimpi perdamaian di masa depan. Tentang ambisiku untuk terus memberikan pelatihan bagi anak muda, apalagi isu perempuan agar tidak lepas dan hilang dalam tiap pembahasan isu perdamaian. Tiba-tiba saya teringat pesan-pesan Noam Chomsky yang menggedor rasa kemanusiaan semua orang di dunia untuk membela Palestina. Atau Malala Yousafzai, sebuah peluru bersarang di kepalanya demi hak pendidikan perempuan di Pakistan. Apa yang saya alami saat ini, tidak sebanding dengan perjuangan mereka.
Penerbangan malam menuju Makassar saya jalani, bandara Soekarno-Hatta tampak sangat sepi ketika saya tiba sekitar jam 19.30 wib pada Senin, 9 Maret 2020. Gate 26 terasa panjang ditelusuri. Layaknya Robert Neville (Will Smith) yang menelusuri jalan-jalan sepi di kota dalam film I Am Legend. Bahkan dalam pesawat berkapasitas ratusan orang dengan penerbangan akhir ke Biak-Papua menjadi sangat dingin, seperti dinginnya salju dalam serial Narnia. Saya tiba disambut panitia yang bercerita ada tiga orang positif corona di Makassar. Entah benar atau hoax saya tidak berniat cari tahu. Kaki terasa semakin lemas.
Terbayar Lunas
Kekhawatiran, ketakutan saya kiranya terbayar lunas ketika berjumpa dengan 25 anak muda berusia rata-rata 20-25 tahun, mewakili ragam kampus di Makassar. Tiga orang beragama Kristen, dua Katholik, seorang Hindu, tiga Syiah, dua Ahmadiyah, dan sisanya Islam. Ada yang berafiliasi pada Muhammadiyah, ada juga Nahdatul Ulama.
Saya perlu mencaikan suasana, apalagi pesertanya anak muda. Memulai perkenalan saya memakai metode angin bertiup dengan berebut kursi yang dalam setiap putaran, kursi dikurangi sehingga selalu ada peserta yang tidak bisa duduk, berdiri, sambil menyebutkan nama dan alasan mengikuti camping perdamaian.
Materi pertama adalah prasangka. Saya meminta mereka untuk memilih satu gambar yang tersedia, lalu mempresentasikan apa makna gambar itu. Setelah semua selesai bicara, saya minta mereka membalik kertas dan membaca berita tentang gambar yang tadi mereka sampaikan. Tiba-tiba suasana menjadi ramai, tawa mereka karena salah menerka gambar. Hanya seorang peserta yang menebak benar sebuah gambar lukisan perjamuan kudus.
Materi kedua, identitas. Membayangkan peta Indonesia, saya minta peserta memberi tanda dan berpindah tempat ketika menjawab pertanyaan, lahir dimana, ibu suku apa, bapak suku apa, serta nenek dari ibu dan ayah lahir dimana. Walau rata-rata peserta kelahiran Makassar, tetapi nenek dari ibu ataupun dari bapak ternyata ada yang suku Jawa, Kalimantan, bahkan keturunan Arab-Cina. Situasi mulai hangat bahwa identitas tiap orang tidaklah tunggal.
Pokok bahasan selanjutnya mengklarifikasi prasangka dan identitas. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok. Saling memberikan catatan tentang suku lain, pada saat yang sama diminta saling klarifikasi. Situasi mulai terbuka, mulai ada rasa percaya. Satu demi satu peserta bicara. Mula-mula peserta yang beragama Hindu, berkata sepanjang hidupnya merasa sendiri, dosen pembimbingnya pun tidak sudi mendampingi karena berbeda agama. Ia menilai kelompok mayoritas terlalu arogan. Bahkan, dalam salam pembuka acara-acara resmi, tidak pernah menyebutkan ‘ohm syanti-syanti’, ketika agama lain disapa ‘assalammu’alaikum’, ‘salam sejahtera’, atau ‘name budaye’.
Seorang Ahmadiyah juga angkat tangan. Dalam suara yang bergetar ia berkata ‘apa rasanya jika kalian terusir dari kampung halaman, ketika mempertahankan keyakinan kalian. Lalu, rumah dan kenangan hanya tinggal abu’. Demikian pula peserta yang Syiah, berkata ‘tanya pada kami apa itu Syiah, jangan tanya pada MUI yang memberi fatwa haram tanpa pernah bertanya, hingga nyawa keluarga harus melayang’. Seorang peserta perempuan yang ibunya Syi’ah dan bercadar berkata ‘banyak orang mencibir pakaian mama, menuduh mama teroris, mama pernah diludahi orang, Syi’ah itu bukan teroris’.
Perempuan Ada Dimana?
Situasi mulai memanas, saatnya membahas isu perempuan. Perempuan-dalam budaya patriarkhi-sulit berkata tidak atas perintah laki-laki. Dalam setiap konflik, perempuan dan anak pihak paling terdampak. Laki-laki bisa pergi meninggalkan desa, kalo perempuan? Tidak. Ia akan bertahan dalam duka. Perempuan Ahmadiyah tetap bertahan dalam pengungsian ketika konflik Sampang-Madura. Perempuan Syiah yang bercadar harus menanggung beban dicap sebagai teroris. Apakah anda pernah berada pada situasi-situasi cerita itu?. Diskusi kembali hidup.
Akhir sesi, saya bertanya, apakah anda pernah memberikan ruang toleransi bagi orang lain, sekecil mungkin yang bisa anda lakukan? Saya memberi contoh, sebagai dosen, saya sering meminta mereka yang beragama Kristen/Katolik hadir dalam ibadah minggu, menuliskannya, dan meminta stempel gereja.
Mulailah satu-persatu peserta memberikan contoh. Saya sungguh terkesan pada Petrus, ada semboyan di desanya Tarami Tomi Nuku atau berbeda-beda tetapi satu. Ia bercerita Gereja Ismail Sinode GMIT dibangun oleh orang-orang Islam. Bila Natal atau Idul Fitri ibu-ibu di desa saling bantu dan saling berbalas kunjung, lestari hingga hari ini.
Ibu-ibu di desa Petrus adalah contoh peran perempuan melestarikan perdamaian. Situasi kondusif memang harus dikreasikan dan diciptakan. Tanpa itu, mustahil damai bersemi. Apalagi dalam situasi konflik suku/agama, perempuan pihak yang paling menderita. Isu perempuan dalam setiap pembahasan perdamaian mutlak diperlukan. Tidak ada dialog agama, tanpa perempuan. Kita bisa berhadap pada 25 anak muda yang mulai terbuka, berfikir kritis, dan bertekad menjadi agen perdamaian.