Mayoritas ulama klasik maupun kontemporer bersepakat untuk tidak membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi jamaah laki-laki. Dengan alasan bahwa ibadah salat adalah perkara yang ta’abbudi sifatnya sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan di dalamnya.
Termasuk sifat kelaki-lakian (al-dzukurah) bagi imam sebagai syarat mutlak keabsahan salat berjamaah. Siapapun yang melanggar ketentuan ini, maka pelakunya bukan hanya akan berdosa, namun salatnya juga dianggap batal (dianggap belum salat), dan ditambah lagi ia akan dicap sebagi orang yang bodoh, sesat, dan tidak tahu hakikat agamanya.
Imam Harus Laki-Laki, Benarkah?
Para ulama (terlebih orang awam) hingga saat ini tidak berani mengubah-ubah rukun-rukun dan syarat-syarat salat ini (khususnya syarat kelaki-lakian) karena sudah dianggap “fix” dan sakral.
Namun sebagian ulama kontemporer mencoba mengkaji kembali syarat kelaki-lakian ini secara khusus dan mempertanyakan: apakah memang benar bahwa kelaki-lakian mutlak menjadi syarat sah salat berjamaah?
Dan setelah melakukan penelitian cukup dalam, mereka berkesimpulan bahwa sifat kelaki-lakian bagi imam bukanlah syarat sah salat berjamaah berdasarkan teks keagamaan yang jelas, melainkan “hanya” syarat yang ditetapkan jumhur ulama berdasarkan ijtihad individual mereka.
Buktinya tidak sedikit ulama klasik yang berpendapat bahwa perempuan sah-sah saja menjadi imam salat bagi laki-laki (lihat Fikih Feminis), dan bahwa terdapat hadis yang mengindikasikan bahwa Rasulullah membolehkan seorang perempuan untuk mengimami keluarganya yang diantaranya terdapat laki-laki.
Hadis yang dimaksud adalah apa yang sering disebut sebagai Hadis Ummu Waraqah.
Hadis Ummu Waraqah
Hadis di atas sangat terkenal di kalangan para ulama dan ahli hadis, walaupun sebagian mereka menilainya lemah (dha’if) karena terdapat sedikit masalah dalam silsilah sanadnya.
Dalam tulisan Wawan Gunawan di IBTimes tanggal 5 September kemarin, ia menyebutkan bahwa Hadis Ummu Waraqah ini adalah hadis sahih.
Namun sependek pengetahuan saya, hadis ini memiliki cacat dalam beberapa perawinya sehingga membuatnya lemah (lihat misalnya Fatawa al-Mar’ah), dus tidak boleh dijadikan dasar hukum secara pasti.
Namun saya tentu setuju dengan kesimpulan Wawan Gunawan, cuma menurut saya, ada cara lain untuk mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi imam salat bagi laki-laki walaupun hadis Ummu Waraqah tersebut tidak sahih.
Menurut Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir dan ulama senior al-Azhar, meski hadis Ummu Waraqah ini memang lemah, namun ternyata hadis lain bahwa “tidaklah boleh seorang perempuan menjadi imam (la ta’ummanna imra’atun rajulan)” juga lemah.
Beliau lalu berkesimpulan bahwa hukum imam salat bagi perempuan ini sebetulnya bukannya tidak boleh dari sisi dukungan hadis (qauli), namun tidak boleh dari sisi ijmak ulama dari dulu hingga sekarang.
Artinya, dari sisi kesahihan dalil, hadis boleh dan tidaknya perempuan menjadi imam salat ini sama-sama lemah. Sehingga kalau kita akan berdalil bahwa hanya laki-lakilah yang boleh menjadi imam salat berdasar hadis la ta’ummanna imra’atun rajulan, maka kita pun juga bisa berdalil bahwa perempuan boleh menjadi imam salat berdasar Hadis Ummu Waraqah.
Sebab, apa alasan yang mengharuskan kita memilih satu hadis dan meninggalkan yang lainnya sementara keduanya berderajat sama?
Memahami Hadis Secara Kontekstual
Kalau kita tidak akan menggunakan kedua hadis tersebut, maka kita akan menggunakan metode lain dalam menganalisis hukum, yaitu dengan melihat konteks (sosio-historis) dari suatu teks atau kejadian.
Metode ini jarang digunakan oleh kebanyakan ulama, sebab mereka lebih condong memilih (atau bertaklid?) kepada sesuatu yang dianggap ijmak atau kesepakatan jumhur ulama.
Ali Jum’ah misalnya, setelah mengakui bahwa hadis boleh dan tidaknya perempuan menjadi imam salat adalah lemah, ia memilih jalur mengikuti jumhur ulama.
Sebagian sarjana progresif kontemporer memilih jalur lain, yaitu jalur analisis hukum secara kontekstual dan sosio-historis, seperti yang dilakukan oleh misalnya Jamal al-Banna (lihat Jawaz Imamah al-Mar’ah al-Rijal).
Analisis yang dimaksud adalah penelaahan ulang terhadap suatu teks atau kejadian yang mungkin saja dalam situasi tertentu berhukum A tapi boleh jadi dalam situasi lain akan berubah menjadi berhukum B.
Ini sebetulnya adalah manifestasi dari kaidah umum tentang taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkimah (perubahan hukum itu [terjadi] dengan berubahnya zaman dan tempat).
Dalam kasus imam salat, boleh jadi dulu belum ada perempuan yang berani menjadi imam salat dikarenakan mereka masih menjadi kaum nomor dua, masih boleh dipoligami, masih diberi setengah dari harta warisan, dan masih belum mendapatkan hak penuh untuk bersaksi (walaupun kita tahu ini adalah nikmat yang sangat besar bagi perempuan jika dibandingkan dengan keadaan mereka sebelum datangnya Islam).
Namun dalam kondisi di mana masyarakat telah mencapai suatu keterbukaan pikiran dan menganut budaya anti-patriarki, perempuan boleh saja menjadi seorang pemimpin negara, pemimpin keluarga, bahkan pemimpin dalam salat; apalagi jika memang ia adalah perempuan terpelajar.
Tolak Ukur Kebolehan Menjadi Imam Shalat
Karena itu tolok ukur dalam hal kebolehan menjadi imam salat bukanlah gender, melainkan kepahaman akan Al-Qur’an. Inilah yang dimaksud dalam hadis Nabi bahwa yang paling afdal menjadi imam salat adalah “aqra’uhum li kitabillah“, yang berarti kedalaman ilmu atau kemampuan dalam memahami dan membaca Al-Qur’an (lihat Shahih Muslim).
Jika laki-laki lebih memiliki kapasitas, maka ialah yang paling sempurna untuk menjadi imam salat; dan jika perempuan yang lebih sesuai kualifikasi, maka ialah yang lebih berhak sebagai imam salat. Apakah kita akan tetap bersikukuh untuk mengedepankan imam laki-laki walaupun ia hanya seorang buruh yang tidak terpelajar, daripada mengedepankan imam seorang perempuan yang cerdas dan bergelar doktor dalam Ilmu Keislaman?
Jika iya, itu artinya kita lebih mengedepankan kebodohan daripada kecerdasan, dan lebih mengedepankan keterbedaan daripada kesetaraan.
Editor: Yahya FR