Memang agak sulit Perguruan Tinggi (PT) kelas menengah ke bawah untuk mendongkrak penerimaan SPP-nya. Akibat centang perenangnya penanganan wabah pandemi Covid-19 memantik terjadinya ketimpangan yang lebar antara PT menengah ke atas dan PTN di satu sudut, dan di sudut yang lain bagi PT menengah ke bawah.
Pesan data BPS (Agustus 2021) mengabarkan, pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran konsumsi memang tumbuh 5,93%. Tapi ingat? Pertumbuhan ini masih di bawah angka pertumbuhan agregat 7,07% pada triwulan kedua (Q2) 2021.
Dari rerata komponen pengeluaran rumah tangga, ternyata yang terendah adalah pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Tumbuh terseok-seok hanya 1,2% terutama pengeluaran pendidikan/kesehatan bagi kelas masyarakat miskin. Kontras dengan itu, belanja rokok mereka justru makin terdongkrak melebihi angka 5%. Bagi masyarakat miskin, tentu lebih penting belanja rokok ketimbang untuk pendidikan dan kesehatan keluarganya.
Rendahnya pengeluaran komponen pendidikan dan kesehatan paralel dengan turunnya rerata upah pekerja baik di sektor industri maupun sektor pertanian. Bahkan mereka banyak yang terpental dan kehilangan pekerjaan.
Maka, bagi pengelola pendidikan tinggi, khususnya level menengah-bawah, kenaikan SPP menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Elastisitas permintaannya harus menjadi variabel determinan.
Jika ada pengelola perguruan tinggi terutama kelas menengah ke bawah berani menaikkan SPP, pasti akan ditinggalkan mahasiswa. Terjadi eksodus alias putus kuliah atau mencari tempat kuliah yg jauh lebih mudah dan murah.
Sementara untuk perguruan tinggi level menengah ke atas dan PTN, justru menjadi ladang subur untuk menggaet jumlah mahasiswa.
Masyarakat menengah atas, catatan BPS melaporkan bahwa mereka ini justru memilki tingkat simpanan dan tabungan yang masih sangat tinggi termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Tentu, kelas ini mencari pilihan kuliah dan kesehatan yang lebih mahal dari rerata untuk anak-anaknya.
***
Artinya, ke depan akan terjadi ketimpangan antara perguruan tinggi kelas menengah atas dgn kelas menengah bawah terutama dalam rekrutmen jumlah mahasiswa.
Namun, perlu diingat, hukum alam berbicara, bahwa yang survive dalam setiap bencana adalah mereka yg mampu beradaptasi dengan situasi.
Di tengah gelombang tsunami digital, maka perlakuan kebijakan fleksibilitas pengelolaan perguruan tinggi harus diterapkan secara fair. Jadi, jargon kampus merdeka, sejatinya juga diarahkan kepada kemerdekaan dalam pengelolaan perguruan tinggi untuk berdaptasi, tidak sekadar perlakuan untuk kebebasan mahasiswa memilih banyak opsi praktik di lapangan.
Tapi institusi dan dosen juga harus diberikan kemerdekaan memilih opsi. Jangan mereka selalu diterungku dengan dalih standarisasi yang kurang elok.
Salam Kemerdekan ke 76.
Editor: Yahya FR